Saat ini mudah sekali sebagian
pihak memberi label kafir kepada mereka yang tidak sependapat, beda penafsiran
dan juga beda pilihan politik.
Ini seperti pengulangan sejarah kelam umat Islam
yang gara-gara persoalan kepemimpinan selepas terbunuhnya Khalifah Utsman bin
Affan kemudian terjadi perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah.
Keduanya adalah sahabat Nabi yang harus kita hormati, namun gara-gara perbedaan
politik ada sebagian pihak yang mengkafirkan salah satu atau keduanya. Muncul
pula sejumlah hadits palsu hanya sekedar untuk mencaci atau mendukung salah
satunya. Ayat suci direduksi menjadi alat politik.
Sepanjang sejarah kita saksikan betapa mudahnya sebagian pihak mengkafirkan Muslim lainnya. Seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi ini:
Sepanjang sejarah kita saksikan betapa mudahnya sebagian pihak mengkafirkan Muslim lainnya. Seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi ini:
“Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang
bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh"
(HR Bukhari-Muslim)
Berdasarkan prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits di atas, maka para ulama berhati-hati untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama Muslim.
Berdasarkan prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits di atas, maka para ulama berhati-hati untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama Muslim.
Meskipun ada sekian banyak bukti
yang mengarah pada kekafiran saudara kita, namun jikalau masih terlihat satu
saja alasan untuk menetapkan keislamannya, para ulama memilih satu alasan
tersebut dan menahan diri untuk mengkafirkan orang tersebut. Lebih baik kita
keliru menyatakan dia tetap Islam ketimbang kita keliru mengatakan dia kafir.
Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang
tak bersalah.
Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu kita carikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti dibunuh jika tidak mau taubat, hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akhirat.
Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni?
Saya tidak tahu nasib saya kelak, bagaimana saya bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Anda pun juga demikian. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu kita carikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti dibunuh jika tidak mau taubat, hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akhirat.
Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni?
Saya tidak tahu nasib saya kelak, bagaimana saya bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Anda pun juga demikian. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
KOMENTAR