wartantt.com -
Presiden Joko Widodo meminta organisasi Islam berada di barisan terdepan dalam
menjaga persatuan bangsa. Organisasi Islam harus menjadi sumber optimisme sebagai
modal membangun perekonomian yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Presiden Jokowi menyampaikan hal itu saat menghadiri Silaturahmi Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) bertajuk ”Indonesia Martangiang (Berdoa)”, di Pondok Pesantren Musthafawiyah, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Sabtu (25/3).
Dalam kesempatan itu, hadir Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, Ketua Panitia Silaturahmi Nasional JBMI Albiner Gultom, Pemimpin Pondok Pesantren Musthafawiyah Bakri bin Abdullah, dan sejumlah menteri Kabinet Kerja.
Di pondok pesantren itu, Presiden disambut sekitar 12.000 santri dan santriwati. Bersama warga setempat, mereka berdiri di pinggir jalan sambil melantunkan shalawat. Ratusan santri juga tampak memanjat bukit di dekat jalan demi melihat Presiden secara langsung. Presiden meresmikan pembangunan Rumah Susun Pondok Pesantren Musthafawiyah.
Presiden mengharapkan organisasi Islam di seluruh Nusantara berperan penting dalam membangun budaya dialog, sikap toleran, dan memperkuat kesepakatan terhadap kemajemukan dan perbedaan itu.
”Kita punya 714 suku, lebih dari 1.100 bahasa daerah, dan 17.000 pulau. Ini adalah kekayaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita harus merawatnya agar menjadi kekuatan bangsa,” katanya.
Menurut Presiden, tantangan kemajemukan yang dihadapi bangsa Indonesia dari waktu ke waktu kian berat. Melalui media sosial, ujaran kebencian, umpatan, saling mencela, dan fitnah menyebar dengan sangat cepat. Media sosial juga menjadi ladang subur tempat bersemainya radikalisme dan terorisme. ”Saya kadang berpikir apakah ini didorong oleh infiltrasi asing yang ingin memecah belah kita lewat media sosial?” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Albiner mengatakan, dialog antarumat beragama harus dibangun agar tumbuh sikap persaudaraan. Dalam rangkaian Silaturahmi Nasional JBMI, misalnya, pihaknya mengadakan seminar yang menghadirkan pembicara dari pemimpin umat lintas agama.
Albiner mengatakan, para pemimpin umat lintas agama, dalam seminar, membedah konsep falsafah Batak, yakni Dalihan Na Tolu, yang selama ini menjadi pilar keharmonisan kehidupan masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu adalah kerangka hubungan kekerabatan masyarakat Batak.
Pesantren tertua
Gubernur Sumut Tengku Erry mengatakan, Pondok Pesantren Musthafawiyah yang berdiri tahun 1912 telah melahirkan banyak santri dan santriwati yang menjadi penjaga keberagaman Indonesia. Pondok pesantren ini merupakan yang tertua di Sumut dengan jumlah santri sekitar 12.000 orang.
Pemondokan santri berada di pinggir jalan lintas barat Sumatera. Sistem pemondokan itu diyakini telah membentuk karakter kemandirian dan kepemimpinan para santri.
Narasi kebinekaan
Terkait dengan kemajemukan, kemarin, di Medan, Sumut, berlangsung Seminar Revitalisasi Peradaban Pancasila menuju Seabad Pancasila. Acara ini serangkai dengan Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) 2017.
Forum tersebut mengingatkan agar kebinekaan terus dijaga jika negeri ini ingin terus berdiri. Pancasila sebagai pandangan hidup harus selalu dibumikan, dijadikan laku hidup sehari-hari, dan terus diperkenalkan kepada generasi milenial, di antaranya dalam narasi di media sosial. Lembaga pendidikan harus diselamatkan dan narasi kebinekaan harus terus diviralkan.
Cendekiawan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif, mengatakan, dalam pidatonya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pendiri bangsa, Soekarno, mengucapkan Pancasila sebagai filosofi negara sebanyak lima kali, tetapi ia mengatakan 31 kali untuk Pancasila sebagai pandangan hidup, laku hidup yang mendarah daging. ”Soekarno menunjukkan bahwa Pancasila dengan lima silanya adalah laku hidup warga Indonesia sekaligus filsafat negara,” kata Yudi di depan forum.
Yudi memandang keprihatinan terjadi karena gerakan fundamentalis dan radikal justru muncul dari ruang-ruang ibadah di lembaga-lembaga pendidikan yang kemudian menyebar dengan memanfaatkan ruang publik. Ironisnya, tingkat melek baca Indonesia masuk di urutan terbawah, berkebalikan dengan pengguna media sosial yang berada di urutan tiga teratas.
Sebastianus Sumarsono dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI yang hadir mewakili dan membacakan makalah Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, trauma generasi muda pada sikap politik pemerintahan Orde Baru telah melahirkan generasi muda era Reformasi yang cenderung apatis dan tidak peduli pada nilai luhur Pancasila. Sementara Pancasila dihadapkan pada fenomena radikalisme.
Ketahanan ideologi
Berdasarkan pengukuran Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional, ketahanan ideologi yang mencakup aspek religiusitas dan ketakwaan, toleransi, kesamaan hak, kewajiban sosial, solidaritas, kesatuan wilayah, persatuan, kesetaraan, serta keluarga, kini berada dalam kondisi kurang tangguh.
Pada 2014, nilai indeks 2,30. Pada 2015 menjadi 2,23 dan pada 2016 menjadi 2,06. ”Maka, perlu perhatian bersama untuk memperkuat kembali ketahanan ideologi,” kata Sebastianus.
Ketua Presidium ISKA Muliawan Margadana mengatakan, Uskup Agung Soegijapranata menyatakan, kehidupan orang Katolik adalah 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik.
Namun, saat ini, banyak warga yang menyatakan 100 persen Indonesia, tetapi agama bisa 120 persen. Kelompok ini tidak terima jika disebut tidak Indonesia.
Sebagai bagian dari NKRI, ISKA berposisi sebagai Front Pancasila.
”Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 adalah bagian yang tidak bisa ditawar oleh ISKA,” kata Muliawan.
Presiden Jokowi menyampaikan hal itu saat menghadiri Silaturahmi Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) bertajuk ”Indonesia Martangiang (Berdoa)”, di Pondok Pesantren Musthafawiyah, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Sabtu (25/3).
Dalam kesempatan itu, hadir Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, Ketua Panitia Silaturahmi Nasional JBMI Albiner Gultom, Pemimpin Pondok Pesantren Musthafawiyah Bakri bin Abdullah, dan sejumlah menteri Kabinet Kerja.
Di pondok pesantren itu, Presiden disambut sekitar 12.000 santri dan santriwati. Bersama warga setempat, mereka berdiri di pinggir jalan sambil melantunkan shalawat. Ratusan santri juga tampak memanjat bukit di dekat jalan demi melihat Presiden secara langsung. Presiden meresmikan pembangunan Rumah Susun Pondok Pesantren Musthafawiyah.
Presiden mengharapkan organisasi Islam di seluruh Nusantara berperan penting dalam membangun budaya dialog, sikap toleran, dan memperkuat kesepakatan terhadap kemajemukan dan perbedaan itu.
”Kita punya 714 suku, lebih dari 1.100 bahasa daerah, dan 17.000 pulau. Ini adalah kekayaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita harus merawatnya agar menjadi kekuatan bangsa,” katanya.
Menurut Presiden, tantangan kemajemukan yang dihadapi bangsa Indonesia dari waktu ke waktu kian berat. Melalui media sosial, ujaran kebencian, umpatan, saling mencela, dan fitnah menyebar dengan sangat cepat. Media sosial juga menjadi ladang subur tempat bersemainya radikalisme dan terorisme. ”Saya kadang berpikir apakah ini didorong oleh infiltrasi asing yang ingin memecah belah kita lewat media sosial?” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Albiner mengatakan, dialog antarumat beragama harus dibangun agar tumbuh sikap persaudaraan. Dalam rangkaian Silaturahmi Nasional JBMI, misalnya, pihaknya mengadakan seminar yang menghadirkan pembicara dari pemimpin umat lintas agama.
Albiner mengatakan, para pemimpin umat lintas agama, dalam seminar, membedah konsep falsafah Batak, yakni Dalihan Na Tolu, yang selama ini menjadi pilar keharmonisan kehidupan masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu adalah kerangka hubungan kekerabatan masyarakat Batak.
Pesantren tertua
Gubernur Sumut Tengku Erry mengatakan, Pondok Pesantren Musthafawiyah yang berdiri tahun 1912 telah melahirkan banyak santri dan santriwati yang menjadi penjaga keberagaman Indonesia. Pondok pesantren ini merupakan yang tertua di Sumut dengan jumlah santri sekitar 12.000 orang.
Pemondokan santri berada di pinggir jalan lintas barat Sumatera. Sistem pemondokan itu diyakini telah membentuk karakter kemandirian dan kepemimpinan para santri.
Narasi kebinekaan
Terkait dengan kemajemukan, kemarin, di Medan, Sumut, berlangsung Seminar Revitalisasi Peradaban Pancasila menuju Seabad Pancasila. Acara ini serangkai dengan Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) 2017.
Forum tersebut mengingatkan agar kebinekaan terus dijaga jika negeri ini ingin terus berdiri. Pancasila sebagai pandangan hidup harus selalu dibumikan, dijadikan laku hidup sehari-hari, dan terus diperkenalkan kepada generasi milenial, di antaranya dalam narasi di media sosial. Lembaga pendidikan harus diselamatkan dan narasi kebinekaan harus terus diviralkan.
Cendekiawan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif, mengatakan, dalam pidatonya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pendiri bangsa, Soekarno, mengucapkan Pancasila sebagai filosofi negara sebanyak lima kali, tetapi ia mengatakan 31 kali untuk Pancasila sebagai pandangan hidup, laku hidup yang mendarah daging. ”Soekarno menunjukkan bahwa Pancasila dengan lima silanya adalah laku hidup warga Indonesia sekaligus filsafat negara,” kata Yudi di depan forum.
Yudi memandang keprihatinan terjadi karena gerakan fundamentalis dan radikal justru muncul dari ruang-ruang ibadah di lembaga-lembaga pendidikan yang kemudian menyebar dengan memanfaatkan ruang publik. Ironisnya, tingkat melek baca Indonesia masuk di urutan terbawah, berkebalikan dengan pengguna media sosial yang berada di urutan tiga teratas.
Sebastianus Sumarsono dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI yang hadir mewakili dan membacakan makalah Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, trauma generasi muda pada sikap politik pemerintahan Orde Baru telah melahirkan generasi muda era Reformasi yang cenderung apatis dan tidak peduli pada nilai luhur Pancasila. Sementara Pancasila dihadapkan pada fenomena radikalisme.
Ketahanan ideologi
Berdasarkan pengukuran Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional, ketahanan ideologi yang mencakup aspek religiusitas dan ketakwaan, toleransi, kesamaan hak, kewajiban sosial, solidaritas, kesatuan wilayah, persatuan, kesetaraan, serta keluarga, kini berada dalam kondisi kurang tangguh.
Pada 2014, nilai indeks 2,30. Pada 2015 menjadi 2,23 dan pada 2016 menjadi 2,06. ”Maka, perlu perhatian bersama untuk memperkuat kembali ketahanan ideologi,” kata Sebastianus.
Ketua Presidium ISKA Muliawan Margadana mengatakan, Uskup Agung Soegijapranata menyatakan, kehidupan orang Katolik adalah 100 persen Indonesia dan 100 persen Katolik.
Namun, saat ini, banyak warga yang menyatakan 100 persen Indonesia, tetapi agama bisa 120 persen. Kelompok ini tidak terima jika disebut tidak Indonesia.
Sebagai bagian dari NKRI, ISKA berposisi sebagai Front Pancasila.
”Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 adalah bagian yang tidak bisa ditawar oleh ISKA,” kata Muliawan.
KOMENTAR