Jakarta -- Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Berbeda-beda tetapi tetap satu, di dalam kebenaran tidak ada kerancuan.
Semboyan bangsa Indonesia ini menggambarkan kekayaan perbedaan, tetapi tetap bisa bersatu.
Ancaman terhadap persatuan terjadi di sejumlah daerah dalam bentuk tindakan intoleran. Peraturan daerah diharapkan menjadi tumpuan pencegahan.
Setelah reformasi, pemerintah daerah (pemda) memiliki wewenang yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya atau yang dikenal sebagai otonomi daerah.
Salah satu bentuknya adalah dengan menerbitkan peraturan daerah (perda). Besarnya wewenang yang dimiliki pemda tidak jarang disalahgunakan sehingga menghasilkan sejumlah kebijakan yang justru mengancam persatuan dan kesatuan.
Sejak awal Desember 2015, Komnas HAM melakukan kajian terhadap kebijakan daerah yang diskriminatif di enam daerah, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Kuningan.
Kajian Komnas HAM dilakukan untuk memetakan perda-perda intoleran di wilayah tertentu.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu memperlihatkan bahwa publik menolak kehadiran perda yang mengancam harmonisasi kehidupan bangsa dan bernegara.
Hanya sejumlah kecil responden yang menyetujui keberadaan perda yang mendukung intoleransi.
Jajak Pendapat Kompas soal Toleransi
Perda intoleran
Sorotan publik ditujukan kepada sejumlah perda yang menurut mereka secara substansi bisa memicu tindakan intoleran.
Mayoritas responden menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keberadaan sejumlah perda tersebut.
Bentuk-bentuk obyek pengaturan yang ditolak adalah hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan.
Misalnya, perda-perda yang membatasi kegiatan ibadah ataupun mempersulit pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas.
Pemda memiliki wewenang membuat perda dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan kondisi khusus daerahnya.
Akan tetapi, tidak jarang kebijakan yang dikeluarkan pemda justru mempertajam perbedaan dan intoleran. Hal ini tentu mengundang sorotan dan penolakan oleh pegiat HAM.
Padahal, konstitusi menjamin setiap penduduk memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Sayangnya, pengamalan pasal ini masih terasa jauh.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur berbagai asas dalam setiap materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan.
Asas-asas tersebut antara lain Bhinneka Tunggal Ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta kemanusiaan.
Asas-asas tersebut berarti peraturan perundang-undangan, termasuk perda, harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan serta melindungi HAM.
Meskipun demikian, masih terdapat sebagian kecil responden yang menyatakan setuju terhadap perda intoleran.
Aturan-aturan hukum kadang memfasilitasi pelanggaran terhadap kebebasan berkeyakinan.
Bentuk pelanggaran tidak hanya berupa intimidasi, tetapi juga bisa sampai berujung kekerasan. Perda bukannya mengantisipasi pelanggaran HAM, tetapi justru memperkeruh suasana.
Pemerintah seharusnya mengayomi dan melindungi warganya tanpa memandang suku, agama, atau ras.
Pemerintah pusat sendiri memiliki wewenang membatalkan atau merevisi perda jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pada Juni tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 perda (Kompas, 14/6/2016).
Sayangnya, pemerintah pusat belum menaruh perhatian besar terhadap perda intoleran. Mayoritas perda yang dibatalkan mengenai perizinan dan investasi.
Tindakan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mengartikan tindakan intoleransebagai tindakan yang menghalangi orang dalam menikmati kebebasan dasar yang tertuang dalam DUHAM.
Wahid Institute menyatakan, intoleransi keagamaan mencakup prasangka negatif yang sewaktu-waktu dapat menjelma dalam aksi intimidasi atau kekerasan.
Hasil Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada 2015 menunjukkan nilai rata-rata kerukunan umat beragama adalah 75,36.
Nilai ini sebenarnya masuk ke dalam kategori tinggi. Sayangnya, nilai secara nasional ini tidak mencerminkan apa yang terjadi di daerah.
Konflik pendirian rumah ibadah banyak terjadi di sejumlah daerah. Konflik ini terjadi di daerah yang memiliki tingkat kerukunan di bawah rerata nasional (Kompas, 6/1).
Setara Institute mencatat pada 2016 terdapat 208 peristiwa intoleran dan 270 tindakan intoleran.
Skor kebebasan beragama/berkeyakinan dalam Indeks Kinerja HAM 2016 adalah nomor dua terendah, yakni hanya 2,47. Itu pun turun dari 2,57 pada 2015.
Penilaian publik terhadap kondisi keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini cenderung berimbang meski lebih banyak proporsi responden yang mengatakan belum harmonis.
Sebanyak 48,3 persen responden menyatakan sudah harmonis, sedangkan 51 persen menyatakan belum.
Situasi politik yang terjadi akhir-akhir ini juga turut andil memperkeruh keharmonisan di Indonesia. Politisasi agama dalam pilkada cukup berpengaruh mempertajam perbedaan.
Namun, hasil jajak pendapat pada pertengahan Januari lalu menyatakan separuh responden mendukung pluralisme di negara ini.
Publik yakin bahwa kemelut politik tidak berbahaya bagi kelangsungan negara ini.
Peran negara
Mayoritas responden (85 persen) menyatakan khawatir terhadap kasus-kasus intoleran yang terjadi selama ini.
Publik menganggap peristiwa ini bisa merusak keharmonisan di masyarakat. Peran negara sangat dibutuhkan di tengah kondisi seperti saat ini.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengeluarkan Nawacita, sembilan agenda prioritas. Salah satunya adalah memperteguh kebinekaan.
Sebanyak 67,2 persen responden menyatakan, kinerja pemerintah belum memadai dalam menangani kasus-kasus intoleran di masyarakat.
Harapan besar disematkan ke pemerintah agar bertindak tegas terhadap praktik intoleran.
Senada dengan hasil ini, hasil jajak pendapat pada minggu lalu juga menyatakan separuh responden menilai pemerintah belum memadai dalam meredam ketegangan hubungan antar-pemeluk agama.
Peran pemuka agama juga dinilai sangat penting oleh publik. Namun, saat ini peran mereka masih belum maksimal.
Alih-alih menyejukkan suasana, beberapa pemuka agama larut dalam politisasi agama demi kepentingan sesaat.
Lebih dari separuh responden menyatakan peran pemuka agama belum memadai dalam merajut tenun kebangsaan.
Di sisi lain, masyarakat juga harus memiliki nilai toleransi yang tertanam di diri masing-masing.
Implementasi Bhinneka Tunggal Ika seyogianya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Negara ini akan menginjak usia 72 tahun, tentunya perbedaan yang sudah ada sejak awal tak bisa memecah belah sampai kapan pun.
KOMENTAR