wartantt.com, OPINI - Republik kita yang majemuk ini, dengan berbagai kultur lokal agama
dan budayanya, selalu ikut serta dalam perhelatan di setiap tahun
politiknya. Berbagai unsur dalam ke-bhinekaan bangsa Indonesia tak mudah
ditepiskan atau dihilangkan begitu saja dalam proses pendewasaan
perpolitikan kita.
Sadar atau tidak, dunia perpolitikan di republik ini masih berkutat pada pengotak-atikan yang berakar pada “ideologi” masing-masing. Seperti antara “yang Nasionalis” dan “yang Religius”. Di panggung politik nasional, kedua sebutan ini muncul bagai dua kutub yang berseberangan. “Yang nasionalis” seolah diidentifikasikan dengan kecintaan kepada bangsa dan keutuhan negara, sedangkan “yang religius” lebih dikonotasikan pada cita-cita dan perjuangan untuk mewujudkan negara agama dengan doktrin-doktrin keislaman.
Akan tetapi menurut saya, dikotomi “Nasionalis” dan “Religius” sudah tidak berlaku lagi pada lingkungan masyarakat kita, bahkan sudah cair dan tidak menjadi persoalan yang krusial bagi keretakan sosial. Kalau melihat dinamika di Republik ini, jelas terlihat bahwa bukan unsur nasionalis ataupun religius yang menjadi penyebabnya, melainkan karena unsur-unsur lain, seperti adanya kepentingan politik dan masalah sosial-ekonomi. Oleh karena itu, konflik-konflik yang permukaannya tampak bertendensi agama, tetapi sebetulnya agama bukanlah pemicunya. Agama hanya penampakan luarnya, yang di pakai pada konflik.
Dengan demikian, masyarakat tidak lagi dikotak-kotakan dalam berbagai jenis paham dan ideologi. Kesepakatan hidup bersama dalam wilayah Indonesia sudah jadi alasan pokok untuk hidup berdampingan, damai, rukun, dan saling menghargai antar anak bangsa, karena politik dibangun untuk memberikan basis yang kokoh sehingga perjalanan bangsa dalam menggapai cita-cita kebangsaannya dapat terwujud, reformasi harus terus-menerus digelorakan dan dilaksanakan secara konsekuen melalui pengukuhan wawasan kebangsaan yang utuh, agar tidak tercabik-cabik oleh kepentingan insan demi kekuasaan.
Sadar atau tidak, dunia perpolitikan di republik ini masih berkutat pada pengotak-atikan yang berakar pada “ideologi” masing-masing. Seperti antara “yang Nasionalis” dan “yang Religius”. Di panggung politik nasional, kedua sebutan ini muncul bagai dua kutub yang berseberangan. “Yang nasionalis” seolah diidentifikasikan dengan kecintaan kepada bangsa dan keutuhan negara, sedangkan “yang religius” lebih dikonotasikan pada cita-cita dan perjuangan untuk mewujudkan negara agama dengan doktrin-doktrin keislaman.
Akan tetapi menurut saya, dikotomi “Nasionalis” dan “Religius” sudah tidak berlaku lagi pada lingkungan masyarakat kita, bahkan sudah cair dan tidak menjadi persoalan yang krusial bagi keretakan sosial. Kalau melihat dinamika di Republik ini, jelas terlihat bahwa bukan unsur nasionalis ataupun religius yang menjadi penyebabnya, melainkan karena unsur-unsur lain, seperti adanya kepentingan politik dan masalah sosial-ekonomi. Oleh karena itu, konflik-konflik yang permukaannya tampak bertendensi agama, tetapi sebetulnya agama bukanlah pemicunya. Agama hanya penampakan luarnya, yang di pakai pada konflik.
Dengan demikian, masyarakat tidak lagi dikotak-kotakan dalam berbagai jenis paham dan ideologi. Kesepakatan hidup bersama dalam wilayah Indonesia sudah jadi alasan pokok untuk hidup berdampingan, damai, rukun, dan saling menghargai antar anak bangsa, karena politik dibangun untuk memberikan basis yang kokoh sehingga perjalanan bangsa dalam menggapai cita-cita kebangsaannya dapat terwujud, reformasi harus terus-menerus digelorakan dan dilaksanakan secara konsekuen melalui pengukuhan wawasan kebangsaan yang utuh, agar tidak tercabik-cabik oleh kepentingan insan demi kekuasaan.
Oleh : Teguh Eko Prastyono (TEP), DPN Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH)
KOMENTAR