Jakarta. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA) menilai, sejak 10 tahun terakhir ini penanaman paham radikalisme di
lingkungan sekolah melalui ruang kelas telah berkembang dan sangat
memprihatinkan serta menakutkan. Lingkungan sekolah yang seharusnya
mengajarkan menanamkan nilai-nilai kebaikan telah berubah makna menjadi
lingkungan yang penuh dengan kekeradan alias bulying.
"Lingkungan sekolah bukanlah tempat menabur dan belajar paham kebencian, tetapi justru anti terhadap kekerasan dan intoleransi," kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait di Jakarta, Jumat (12/5/2017).
Menurut Arist, saat ini pihaknya banyak menemukan fakta bahwa anak sejak usia dini, sekolah dasar, menengah dan menengah atas di berbagai tempat di Indonesia saat ini telah terjadi krisis solidaritas dan toleransi antar sesama anak yang sering kali dibungkus dengan identitas agama. Yang sangat memprihatinkan, saat ini juga banyak anak-anak di ruang kelas maupun di luar ruang kelas dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan politik orang dewasa.
"Tidan jarang anak-anak diajak dan dilibatkan diberbagai aksi demonstrasi tanpa anak mengerti apa yang terjadinshwa dapat mengancam keselamatan anak," jelasnya.
Diluar kesadaran, sambung Arist, seringkali mengajarkan anak untuk tidak menyukai dan bahkan tidak peduli terhadap simbol-simbol keberagaman untuk mempersatukan Indonesia, akibatnya dirasakan berdampak terhadap tumbuh kembang prilaku intoleransi diantara sesama anak. Bahkan banyak anak-anak dilibatkan juga dalam kegiatan-kegiatan politik dan aksi-aksi intoleransi yang dikendalikan oleh kepentingan kelompok tertentu yang pada gilirannya anaklah yang menjadi korban.
Oleh sebab itu, lanjut Arist, demi kepentingan terbaik dan masa depan anak dan gerakan nasional perlindungan anak di Indonesia, pihaknya menyeruhkan dan mengajak semua pihak khususnya keluarga dan masyarakat untuk tidak melibatkan anak-anak dalam segala bentuk aksi-aksi untuk kepentingan orang dewasa.Tenaga pengajar,tokoh masyarakat dan tokoh agama agar bersama-sama membantu gerakan menghentikan paham yang sengaja menanamkan radikalisme yang mengandung unsur kekerasan, kebencian dan intoleransi.
"Kami juga minta semua pemangku kepentingan perlindungan anak di Indonesia maupun aparatus pemerintah dan aparatur penegak hukum untuk memberikan perlindungan Anak dari paham radikalisme.Membiasakan mengajar dan menanamkan nilai keberagaman, toleransi dan perbedaan pendapat dalam keluarga dan lingkungan sekolah, adalah salah satu cara menangkal paham radikalisme dan memutus mata rantai kekerasan," pungkasnya.
"Lingkungan sekolah bukanlah tempat menabur dan belajar paham kebencian, tetapi justru anti terhadap kekerasan dan intoleransi," kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait di Jakarta, Jumat (12/5/2017).
Menurut Arist, saat ini pihaknya banyak menemukan fakta bahwa anak sejak usia dini, sekolah dasar, menengah dan menengah atas di berbagai tempat di Indonesia saat ini telah terjadi krisis solidaritas dan toleransi antar sesama anak yang sering kali dibungkus dengan identitas agama. Yang sangat memprihatinkan, saat ini juga banyak anak-anak di ruang kelas maupun di luar ruang kelas dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan politik orang dewasa.
"Tidan jarang anak-anak diajak dan dilibatkan diberbagai aksi demonstrasi tanpa anak mengerti apa yang terjadinshwa dapat mengancam keselamatan anak," jelasnya.
Diluar kesadaran, sambung Arist, seringkali mengajarkan anak untuk tidak menyukai dan bahkan tidak peduli terhadap simbol-simbol keberagaman untuk mempersatukan Indonesia, akibatnya dirasakan berdampak terhadap tumbuh kembang prilaku intoleransi diantara sesama anak. Bahkan banyak anak-anak dilibatkan juga dalam kegiatan-kegiatan politik dan aksi-aksi intoleransi yang dikendalikan oleh kepentingan kelompok tertentu yang pada gilirannya anaklah yang menjadi korban.
Oleh sebab itu, lanjut Arist, demi kepentingan terbaik dan masa depan anak dan gerakan nasional perlindungan anak di Indonesia, pihaknya menyeruhkan dan mengajak semua pihak khususnya keluarga dan masyarakat untuk tidak melibatkan anak-anak dalam segala bentuk aksi-aksi untuk kepentingan orang dewasa.Tenaga pengajar,tokoh masyarakat dan tokoh agama agar bersama-sama membantu gerakan menghentikan paham yang sengaja menanamkan radikalisme yang mengandung unsur kekerasan, kebencian dan intoleransi.
"Kami juga minta semua pemangku kepentingan perlindungan anak di Indonesia maupun aparatus pemerintah dan aparatur penegak hukum untuk memberikan perlindungan Anak dari paham radikalisme.Membiasakan mengajar dan menanamkan nilai keberagaman, toleransi dan perbedaan pendapat dalam keluarga dan lingkungan sekolah, adalah salah satu cara menangkal paham radikalisme dan memutus mata rantai kekerasan," pungkasnya.
KOMENTAR