Kupang. Di tengah keprihatinan atas
situasi dan kondisi bangsa yang akhir-akhir ini kian memperlihatkan
gejala menurunnya sikap dan semangat kebangsaan di sebagian masyarakat,
beruntung mayoritas warga masih berkomitmen menjaga keutuhan bangsa.
Komitmen dapat dibangun melalui ekspresi seni budaya.
Tidak menutup mata terhadap realitas menurunnya sikap dan
semangat kebangsaan. Itu tampak dalam indikator kian banyaknya regulasi
yang menjauh dari sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila.
Mereka juga menjauh dari sumber utama perundangan, Undang-Undang Dasar
1945. Ini sebagai dampak buruk otonomi daerah.
Polarisasi masyarakat menguat akibat perkembangan sikap
dan tindakan-tindakan intoleran, radikal, serta fanatisme sempit di
kalangan masyarakat. Ini kian diperparah kepentingan politik kekuasaan
yang menggunakan isu-isu SARA. Hal ini melahirkan indikator lain, yakni
belum melembaga dan dewasanya kehidupan berdemokrasi. Ini mengakibatkan
sikap dan tindakan pragmatis dalam mengejar kekuasaan.
Semua sadar ternyata kian banyak kaum intelektual yang
berpandangan sempit dan lembaga-lembaga pendidikan publik yang
dikooptasi pola-pola pikir serta perilaku ekslusif-sektarian. Indikasi
lain, sebagian warga mudah melancarkan dan termakan ujaran-ujaran
kebencian. Bahkan mereka melakukan penghakiman sendiri melalui
persekusi.
Dalam arus aura negatif sosial kemasyarakatan atas dasar
indikator-indikator tersebut, syukurlah, di kalangan akar rumput tetap
gigih memantapkan persatuan bangsa yang multikultural dan multireligius
ini. Lebih banyak masyarakat yang menempuh jalur seni budaya untuk
memperkuat semangat kebangsaan dalam visi kerukunan, persaudaraan, dan
perdamaian.
Strategi seni budaya tersebar secara sporadis di
Nusantara. Fakta interaksi sosial melalui pembauran antarunsur bangsa
yang terwujud melalui berbagai kegiatan masyarakat yang mengakomodasi
keberagaman ditempuh dalam kegembiraan kesenian dan budaya lintas batas.
Gerakan-gerakan yang bersifat lintas agama, budaya, suku, dan komunitas
juga begitu marak melalui jalur kesenian kebudayaan.
Sepuluh tahun terakhir, banyak upaya membangun strategi
seni budaya untuk menjaga dan membangun keutuhan hidup berbangsa. Dalam
kerja sama lintas agama yang penuh kasih dan hormat satu terhadap yang
lain, banyak peristiwa kebangsaan positif untuk masa depan negara.
Mereka mengedepankan semangat kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian.
Mereka tak termakan eforia umpatan kebencian yang
memecah-belah. Kerja sama mereka justru kian mempererat kohesi sosial
kemasyarakatan. Bahkan, pada “tahun panas 2017,” intensitas gerakan
strategi seni budaya kian meningkat.
Contoh, pada tahun 2014, terselenggara “Kongres
Persaudaraan Sejati Lintas Agama” di Muntilan, Jawa Tengah selama tiga
hari. Acara dibingkai kesenian dan kebudayaan lintas agama. Ribuan warga
dari anak-anak, orang muda, dan dewasa terlibat intensif di dalamnya.
Pada bulan Maret dan Mei 2017 lalu, di Kota dan Kabupaten
Semarang, serta Kota Solo, diselenggarakan kegiatan lintas agama dan
budaya bertajuk “Srawung Kaum Muda Lintas Agama,” “Srawung Seniman
Budayawan Lintas Agama” dan “Gelar Budaya Lintas Agama.” Dengan
melibatkan ribuan peserta aktif dalam kegiatan yang bernuansa seni
budaya itu, orang muda, seniman, dan budayawan mengekspresikan
kegembiraan hidup rukun bersaudara. Setiap acara dibingkai dalam rangka
edukasi, selebrasi, dan aksi sosial yang nyata di antara para peserta.
Ekspresi Profetik
Realitas ini mestinya ditangkap sebagai sebuah ekspresi
profetik strategi seni budaya untuk menjaga keutuhan bangsa ditandai
semangat hidup rukun, bersaudara, dan damai. Di sanalah simpul-simpul
nyata peradaban kasih bagi masyarakat bermartabat dan beriman, apa pun
agamanya, terjalin begitu erat. Ini bukan dalam tataran politik
kekuasaan, melainkan sebagai strategi seni budaya.
Yang terlibat dalam aksi lantang menyerukan bahwa bekerja
sama secara nyata melalui jalur kesenian kebudayaan jauh lebih
merukunkan. Mereka mampu membangun keutuhan bangsa. Langkah tersebut
jauh lebih baik daripada sepak terjang politik kekuasaan yang dipenuhi
ujaran kebencian dan kebohongan.
Ekspresi profetik itu tampak dalam deklarasi-deklarasi
yang diserukan kaum muda lintas agama di setiap pengujung acara. Mereka
secara jelas menyebut tetap berkomitmen pada empat pilar kebangsaan:
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan mereka bertekad melawan setiap bentuk
sikap intoleran, radikalisme, fanatisme sempit, dan terorisme.
Tema “NKRI Harga Mati, Kekancan Mukti Tanpa Basa-Basi”
sudah menjadi ekspresi profetik, di tengah maraknya ujaran kebencian dan
upaya-upaya pengingkaran pilar-pilar kebangsaan, mereka tetap
bergembira menjadi warga Indonesia dalam keberagaman. Persahabatan,
tanpa kemunafikan jauh lebih penting untuk menjaga keutuhan bangsa
daripada ujaran-ujaran kebencian yang mengafirkan pihak lain berbeda
agama.
Melihat dan mengalami realitas ini, tak berlebihanlah bila
kita berharap pemerintah pusat dan daerah, hendaknya lebih banyak
memanfaatkan jalur-jalur kesenian kebudayaan sebagai strategi untuk
menjaga keutuhan bangsa. Pentinglah mengoptimalkan peran Dewan Kesenian
Kebudayaan di kota maupun kabupaten. Selain melibatkan semakin banyak
orang dalam keberagaman, strategi ini memberi kegembiraan dalam
kehidupan bersama. Sementara itu, peradaban sosial akar rumput semakin
terjaga.
KOMENTAR