Oleh: Guntur Pribadi
Di tengah maraknya ujaran kebencian yang liar bertebaran di media sosial, menjadi pengguna internet yang kritis dan teliti dalam menyerap informasi saat ini menjadi penting.
Dalam menyikapi kecangihan informasi teknologi, kemampuan membedakan: mana fakta dan mana hoax di tengah arus globalisasi informasi seperti saat ini adalah hal yang mendesak agar umat tidak mudah terjebak pada kabar tak benar.
Belakangan ini geliat propaganda melalui jaringan internet seperti media sosial, situs, blog, tampaknya bukan persoalan yang dianggap remeh. Sebaran seperti kabar dan isu kebencian sangat cepat bergeraknya. Bahkan hampir setiap detik, masyarakat di era digital dengan mudah membaca dan menyaksikannya.
Pembentukan opini melalui dunia maya bahkan boleh dikatakan sedang mendapatkan tempatnya yang efektif dan strategis. Seperti dalam arena pertentangan, silang pendapat dan pandangan di dunia maya menjadi "tradisi" baru masyarakat digital.
Jawab-menjawab, bahkan serang menyerang dalam kata-kata yang bernada hasut tak mudah terbendung begitu saja di dunia maya. Tak jarang antara fakta dan hoax pun membaur hingga sukar dipilah.
Arus menyebarnya paham-paham asing yang tak ramah terhadap tradisi dan lokalitas seolah sedang mendapatkan ruangnya. Yang tak peka tentu akan mudah terbawa arus. Sedangkan yang kritis tentu tahu bagaimana menyikapi semakin terbukanya dunia melalui jaringan internet saat ini.
Kalimat Kebencian
Dengan semakin "ditelanjanginya" dunia melalui berbagai jejaring media sosial dan online, paham-paham terutamanya dengan ideologi beraliran keras, intoleransi, dan radikal pun mudah menyusup.
Propaganda dengan penyebaran berita hoax (bohong), fitnah, hasutan SARA dan ujaran permusuhan menjadi tampilan yang sangat mudah diakses di tengah kebebasan berkomunikasi melalui internet saat ini.
Tampak belakangan ini yang menjadi keprihatinan bersama tentunya adalah liarnya ujaran kebencian di tengah-tengah masyarakat melalui dunia maya. Sebaran kalimat-kalimat permusuhan yang rentan menyulut perpecahan umat bahkan begitu mudah ditemukan melalui media-media sosial.
Adalah tidak mengherankan kemudian di tengah kehidupan ruang publik dunia maya yang terbuka, bahkan boleh dikatakan bebas dan serba cepat arus interaksinya, pengaruh paham-paham radikal dan intoleransi pun ikut dengan mudahnya menyebar.
Di tengah kemudahaan mengakses informasi seperti saat ini, sasaran paling rentan terpengaruh propaganda paham-paham intoleransi dan kekerasan tentu saja adalah para pengguna internet, terlebih lagi penetrasinya di kalangan generasi muda.
Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mensurvei, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016 adalah 132,7 juta pengguna atau 51 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta.
Dari jumlah tersebut, pengguna terbanyak adalah kalangan generasi muda pada usia 17-34 tahun atau sekitar 56,7 juta atau 42,8 persen. Sedangkan pengguna usia 35-44 tahun sebesar 29,2 persen. Dan yang paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas atau hanya sebesar 10 persen.
Bila diperhatikan dari angka-angka survey tersebut, generasi muda adalah pengguna yang paling banyak mengakses internet. Satu sisi dapat dipandang positif dengan memperhatikan respon kalangan generasi muda terhadap kecangihan teknologi mutakhir.
Namun disisi lain, tanpa filter yang baik terhadap meleknya generasi muda terhadap internet, bukan tidak mungkin dapat menjadi sasaran paling empuk bagi kelompok-kelompok radikalis menanamkan benih-benih ideologinya.
Karena itu, ikhtiar menekan penetrasi radikalisme di kalangan generasi muda perlu dilakukan di segala lini, baik itu melalui pendidikan informal, formal, hingga pemahaman yang bajik dan bijak terhadap agama.
Deradikalisasi
Penyebaran radikalisme belakangan ini cenderung meningkat. Pola penyebarannya yang memanfaatkan kecanggihan teknologi berbasis jaringan internet tampaknya telah menjadi strategi baru bagi kelompok-kelompok radikal melebarkan sayapnya.
Tidak saja sebagai sarana menebarkan propaganda ideologinya, seperti banyak diberitakan pula, kelompok-kelompok ekstremis juga memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sarana komunikasi, berinteraksi, hingga kabarnya melakukan rekrutmen.
Membendung arus radikalisme yang rentan menyusup melalui saluran informasi teknologi, seperti sosial media, situs, hingga video online, akan tidak mudah ketika upaya pencegahan tidak dilakukan secara bersama-sama. Peran seluruh komponen bangsa tentu sangat dibutuhkan melawan radikalisasi di dunia maya.
Sosialisasi akan bahaya aktivitas kelompok-kelompok ekstremis yang dapat mengganggu keutuhan kehidupan berbangsa-bernegara dapat dilakukan sedini mungkin melalui penyebaran berita-berita yang memberikan kedamaian, baik itu melalui media massa mainstream maupun sosial media.
Peran jurnalisme dalam menekan sebaran ujaran kebencian dan hasut melalui sosial media akan menjadi strategis, terutama dalam menyajikan pesan-pesan kedamaian. Dalam konteks ini, pemberitaan yang mencerdaskan tidak saja akan menjadi lawan terhadap propaganda-propaganda kelompok radikal, terlebih itu juga akan menjadi bagian penting dalam memproteksi bangsa dari pelemahan nilai-nilai kebangsan.
Belakangan ini selera kebangsaan kita, diakui atau tidak, tampaknya sedang terganggu dengan perseteruan isu-isu SARA di media sosial. Ucapan kebencian dan merasa paling benar dianggap sebagai pemicunya.
Karena itu, penyegaran kembali nilai-nilai kebangsaan melalui berbagai aktivitas informal (keluarga-masyarakat) dan formal (pendidikan) adalah upaya yang kiranya mendesak untuk dilakukan.
Seperti, penyajian narasi-narasi dengan mengedepankan kecintaan terhadap tanah air (hubbul wathon). Ikhtiar itu, tidak saja akan meneguhkan semangat bangsa terhadap nilai-nilai nasionalisme. Namun juga akan menjadi penguat bagi persatuan bangsa dalam membendung arus radikalisme.
Selain itu, memberdayakan peran kehidupan keluarga dalam counter propaganda penyebaran paham-paham radikal dapat menjadi bagian yang juga tak boleh dipandang sebelah mata.
Sebagai sistem unit terkecil dalam masyarakat, pendidikan informal keluarga dapat menjadi ruang tersendiri yang efektif, terutama sebagai garda terdepan dalam hal memfilter menyusupnya paham radikalisme dalam keluarga.
Peran keluarga tidak saja strategis dalam artian sebagai ruang edukasi informal mengenalkan bahaya radikalisme. Setidaknya, model pendekatan dan pendidikan informal keluarga dapat diharapkan pula menjadi sarana mendeteksi lebih dini menyusupnya arus paham-paham kebencian, intoleransi, kekerasan dalam keluarga, terutama bahayanya dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. (*)
KOMENTAR