Waspada HTI Bubar, Bibit Radikalisme Masih Ada

Kupang. Menko Polhukam Wirantomemberikan sikap, atas tugas yang diberikan presiden Joko Widodo, untuk menuntaskan persoalan organisasi radikal yang terus mengkhawatirkan masyarakat Indonesia. Dengan didampingin kementerian terkait, Wiranto dengan tegas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia terbukti telah menimbulkan benturan di masyarakat, yang dapat mengancam ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. “Mencermati berbagai pertimbangan diatas, serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI,” kata Wiranto.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini, patut diberikan apresiasi. Bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam. Namun hal ini semata-mata untuk menjaga keutuhan NKRI, yang berlandaskan Pancasila. Seperti kita tahu, HTI selama ini bergerak di tataran ideology dan pemikiran. HTI terus menyebarkan kekhilafahan di lembaga pendidikan. Mulai dari level SD, hingga perguruan tinggi. Banyak temuan di berbagai daerah, sekolah-sekolah mengajarkan radikalisme dan khilafah ke siswanya. Ironisnya, oknum guru yang menyebarkan paham ini, rata-rata merupakan anggota dari HTI.

Benar, HTI tidak pernah melakukan kekerasan di masyarakat. Benar, HTI juga tidak pernah paham melakukan pengeboman. Namun paham yang diajarkan tersebut, bisa menjadi bibit dari intoleransi, radikalisme dan terorisme. Paham yang diajarkan tersebut, terbukti telah membuat masyarakat merasa paling benar sendiri dan mudah menyebarkan ujaran kebencian. Pada titik tertentu, ujaran kebencian itu akan terus berkembang menjadi perilaku radikal. Banyak pelaku terorisme, mengenal paham radikalisme dari lingkungan kampus. Bahrun Naim ketika masih kuliah di Solo, dikabarkan juga sempat menjadi anggota HTI. Kini, Bahrun Naim terlibat dengan sejumlah bom yang terjadi di Indonesia.

Tidak hanya HTI yang menyebarkan bibit radikalisme. Masih banyak organisasi yang mengatasnamakan agama, seringkali menebarkan bibit radikalisme di media social. Atas nama membela Islam, mereka menebar kebencian. Atas nama agama, mereka melakukan pelarangan beribadah bagi kelompok minoritas. Dan kelompok ini masih aktif hingga saat ini. Publik tentu menunggu sikap tegas dari pemerintah. Apakah mereka juga berani membuarkan ormasi berjubah ini?

Meski demikian, pembubaran ormas bukanlah sebuah solusi yang sebenarnya. Sepanjang bibit radikalisme itu masih ada, bias jadi mereka akan membuat organisasi dengan nama yang baru. Atas nama kebebasan berserikat, akan ada organisasi baru meski paham yang diusung tetap sama. Karena itulah, masih banyak tugas yang harus dilakukan paska pembubaran HTI ini. Karena faktanya, anggota HTI telah menyebar kemana-mana. Bisa jadi mereka tidak akan bersatu dalam sebuah organisasi, tapi aktifitas penyebaran kekhilafahan masih terus mereka lakukan.

Saat ini, propaganda radikalisme terus menjamur di media sosial. Tidak hanya atas nama organisasi yang menyebarkan paham tersebut, tapi juga pribadi yang menyebarkannya. Karena itulah, kontra propaganda juga harus kita lakukan bersama. Meski membutuhkan proses panjang, hal ini bisa menjadi pembelajaran kita bersama. Karena kita tinggal di negeri yang beragama, maka kita harus tumbuh menjadi generasi yang toleran. Karena kita tinggal di Negara yang berbudaya, maka saling sapa dan menghilangkan ujaran kebencian merupakan keharusan. Ingat, mari terus tingkatkan kewaspadaan, untuk melawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme.