Setidaknya ada lima rapor pemerintah yang akan menjadi evaluasi dalam usaha mengikis ketimpangan, yakni pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, dan inflasi. Kelima rapor itu akan diukur pada 2019 nanti.
Pernyataan itu disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho yang tampil sebagai penanggap dalam ‘Diskusi Publik dan Konferensi Pers: Peluncuran Hasil Survei Ketimpangan Sosial Menurut Persepsi Warga’. Survei ini digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan dibedah di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Februari 2018.
Yanuar menekankan, pada tahun-tahun awal pemerintahan Jokowi-JK fokus pada pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah membangun infrastruktur yang merata diseluruh Indonesia untuk membuka kran-kran peluang ekonomi agar tersebar merata,” ungkapnya.
Selanjutnya, pemerintah fokus menekan angka kemiskinan dengan menggalakkan program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dipastikan diterima oleh 20 persen masyarakat Indonesia di garis kemiskinan.
Upaya memangkas kesenjangan juga dilakukan pemerintah lewat perbaikan-perbaikan dari sektor pelayanan pemerintahan itu sendiri. Yanuar menjelaskan tidak dapat dimungkiri otonomi daerah membuat pelayanan pemerintah satu daerah berbeda dengan pelayanan daerah lainnya.
Bahkan, nyatanya selama ini untuk daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan dan Papua justru menjadi daerah yang tingkat kesenjangannya sangat tinggi.
“Bagi kami, kebebasan lewat otonomi daerah harusnya dibarengi dengan penguatan pemerintah daerah,” jelas Yanuar.
Seperti dalam survei INFID, Indonesia bagian timur memang menjadi wilayah yang masyarakatnya lebih memiliki aspek kesenjangan lebih besar ketimbang wilayah lain. Setidaknya tercatat ada 6,57 aspek ketimpangan dari 10 yang masyarakatnya menganggap merasa ada kesenjangan.
Jika indikator-indikator tersebut bisa diperbaiki jelas Yanuar, maka tidak mustahil kesentimenan 70 persen masyarakat bisa teratasi.
“Karena itu bagaimana ini diterjemahkan dalam kebijakan agar yang sentimen tadi dapat kanal rasional dan kebijakan,” urainya.
Efek Jangka Panjang
Selain Yanuar, peluncuran survei mengenai ketimpangan sosial ini juga dihadiri peneliti utama survei dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Bagus Takwin serta Hamong Santono, Senior Program Officer SDGs INFID Survei Ketimpangan Sosial Menurut Persepsi Warga UNFID dilakukan selama Oktober 2017, dengan metode kuesioner. Hasilnya, indeks ketimpangan sosial: 5,6 artinya dari 10 ranah yang ditunjukkan, warga merasa 5-6 ranah yang timpang, ini meningkat dari tahun 2016 yang hanya 3-4 ranah ketimpangan.
Ranah yang dipersepsikan paling tinggi sebagai ketimpangan yakni masalah penghasilan (71.1%), kesempatan mendapatkan pekerjaan (62.6%), rumah/tempat tinggal (61.2%), harta/benda (59.4%). Menyusul lima ranah lainnya: pendidikan 54%, lingkungan tempat tinggal 52%, terlibat dalam politik 45%, dan kesehatan 42.3%.
“Zaman dahulu, gaji jauh lebih kecil daripada sekarang, tapi bisa membeli rumah. Beda dengan sekarang, cicilan rumah sangat tinggi dan menghabiskan porsi penghasilan,” kata Bagus.
Hal-hal yang bisa dilakukan adalah memusatkan perhatian kepada pengembangan dan pelatihan SDM, dari segi tunjangan dan program sosial untuk korban PHK, pelatihan kerja yang komprehensif, dan mengalokasikan serta merelokasi anggaran untuk investasi lebih banyak dalam pengembangan sumber daya manusia, serta memperbaharui kebijakan pajak untuk mengakomodasi potensi pendapatan pajak dari kekayaan kelompok super kaya.
Yanuar menegaskan, berbagai pembangunan mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pembangunan kesejahteraan manusia sudah dijalankan pemerintah.
Meski demikian hasil yang bisa dirasakan dari pembangunan-pembangunan tersebut memang tidak bisa instan. Karena saat ini yang dibangun pemerintah selain jangka menengah juga jangka panjang.
“Yang jelas, dasar dari sebuah pembangunan berkelanjutan sudah disiapkan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan untuk pembangunan infrastruktur setidaknya butuh 5 hingga 8 tahun untuk masyarakat bisa menikmati dari hasil pembangunan tersebut.
“Kita tahu, dampak pembangunan infrastruktur itu tidak bisa hari ini dibangun lalu besok ketimpangan langsung turun. Tidak bisa begitu, butuh waktu biasanya 5 sampai 8 tahun, baru kelihatan dampaknya,” jelas Yanuar.
Meski demikian, pemerintah saat ini sudah membuka keterisolasian pembangunan yang tidak pernah terselesaikan sejak pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Pembangunan Kesejahteraan
Selain infrastruktur, pembangunan kesejahteraan masyarakat yang kini sedang giat dilakukan pemerintah misalnya melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tidak dapat dirasakan saat ini juga.
Diuraikannya, dalam masalah kesehatan, saat ini 1 dari 3 anak di Indonesia lahir dengan stunting atau kekurangan gizi. Masalah ini terjadi karena minimnya kebutuhan sarana dan prasarana kesehatan sehingga para ibu hamil harus kekurangan gizi.
Sebelum pemerintahan Jokowi jumlah anak terlahir stunting ialah 30 persen, namun 3 tahun setelah pemerintahan berjalan angka stunting berada di kisaran 27 persen. “Tentu angka itu saat ini masih terus ditekan pemerintah,” jelasnya.
Tentunya jelas Yanuar, saat ini tidak terlalu berdampak pada Indonesia. Namun 20 hingga 30 tahun kemudian jika masalah ini tidak mulai teratasi maka Indonesia akan terus mengalami kemunduran karena tidak memiliki generasi yang sehat.
Hal yang sama dengan masalah pendidikan. Melalui pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP), pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing di ekonomi global.
Melalui KIP sudah tidak akan ada lagi masyarakat yang di belasan tahun kemudian mengaku tidak memiliki keterampilan karena harus putus sekolah.
“Hal-hal seperti ini tidak akan selesai dalam waktu 5 hingga 15 tahun lagi. Saya tidak menjamin yang 20 persen termiskin itu jadi 2 persen, butuh waktu. Tapi kita mengarah ke sana,” jelas Yanuar.
KOMENTAR