wartantt.com -- Guru
besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Romli Atmasasmita
menilai perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 17 tahun telah
diwarnai penyimpangan. Karena itu, Romli setuju dengan ide merevisi
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Salah
satu perumus UU KPK itu mengatakan, UU Nomor 30 Tahun 2002 dibuat dengan
melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis dan alasan
komparatif. "Pertimbangan filosofis, perjalanan KPK selama 17 tahun, sejak
KPK jilid III telah menyimpang dari tujuan awal," kata Prof Romli, Senin
melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Lebih
lanjut Romli mengatakan, tujuan awal pembentukan KPK adalah memelihara dan
menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan. Selain itu, tujuan
pembentukan KPK adalah mengembalikan kerigian negara secara maksimal, sekaligus
melaksanakan fungsi 'trigger mechanism' melalui koordinasi dan supervisi
terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Romli
menjelaskan, pro dan kontra soal revisi atas UU KPK belakangan ini justru
menunjukkan dukungan terhadap lembaga antirasuah itu tak bulat lagi. Secara
sosiologis, kata Romli, KPK tidak lagi memperoleh legitimasi yang kukuh dan
total dari seluruh masyarakat.
Mantan
pejabat eselon I di Kementerian Hukum dan HAM itu lantas menyoroti keberadaan
Wadah Pegawai (WP) KPK. Menurutnya, WP KPK telah menyimpang dari tujuan
pembentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia.
Sebenarnya,
kata dia, PP tersebut memberikan kewenangan kepada WP untuk menyampaikan
aspirasi kepada pimpinan KPK melalui Dewan Pertimbangan Pegawai KPK. Namun, WP
KPK dalam kenyataannya justru berfungsi sebagai kelompok penekan terhadap
kebijakan pimpinan untuk memaksakan tuntutannya yang justru melanggar disiplin
dan UU Kepegawaian.
Romli
lantas merujuk keterangan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata perihal adanya
penyitik yang menolak memberikan berita acara penyidikan kepada pimpinan komisi
yang kini berada di bawah komando Agus Rahardja tersebut. “Itu menunjukkan
telah terjadi pelanggaran disiplin di kalangan pegawai penyidik KPK,"
ulasnya.
Romli
menyebut tindakan pelanggaran disiplin itu mencerminkan pimpinan KPK tidak
memiliki wibawa di hadapan pegawainya. Selain itu, hal tersebur membuktikan
sistem manajemen kepegawaian, disiplin, profesionalitas dan akuntabilitas KPK
patut diragukan.
Romli
juga mencermati dugaan pelanggaran dalam praktik penyadapan oleh KPK. Dalam
kegiatan penyadapan, kata dia, KPK belum didukung standar operasional prosedur
(SOP) eksaminasi.
Persoalan
lain yang diduga terjadi di KPK adalah pelanggaran prosedur hukum yang diatur
KUHAP. Karena itu Romli menilai revisi UU KPK telah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Mengenai
munculnya penolakan sekelompok masyarakat terhadap revisi UU KPK, Romli
menyebutnya sebatas opini. Menurutnya, penolakan itu tidak dilengkapi data dan
fakta hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Karena
itu, setiap aspirasi masyarakat terhadap perubahan UU KPK agar disampaikan di
dalam rapat DPR RI terkait pembahasan RUU perubahan UU KPK," kata Romli.
Yang tak
luput dari perhatian Romli adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Merujuk kajian Transparency International, IPK Indonesia saat ini belum
menembus 50 besar negara paling bersih dari praktik korupsi.
“Laporan
itu menunjukkan bahwa keberadaan KPK selama 17 tahun tidak berhasil
meningkatkan Indonesia sebagai negara yang patut dibanggakan,” tegasnya.(ant/jpnn)
KOMENTAR