Jakarta, WartaNTT.com - Kritik pedas dalam salah satu artikel di kolom Bentara – nama untuk tajuk atau editorial – Harian Flores Pos terhadap proyek bermasalah di Kabupaten Ende berujung pada pengaduan terhadap media tersebut ke Dewan Pers di Jakarta.
Namun, pihak Flores Pos merasa aneh, ganjil dan geli karena pengaduan itu dibuat oleh organisasi Himpunan Mahasiswa Ende (HME) yang tidak ada di Ende, dengan Ketua Yohanes Laka dan Sekretaris Abdurahman Langga.
Pemimpin Redaksi Flores Pos, Pastor Steph Tupeng Witin SVD pun menyebut laporan itu berasal dari para arwah.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, belum lama ini.
Pengaduan itu disampaikan lewat surat pada 2 Juni 2016 ke Dewan Pers.
Surat aduan itu merujuk pada artikel Bentara yang ditulis Pater Steph sendiri dengan judul “Novita Karya Taga” pada 30 Mei 2016, dimana ia mengkritisi proyek yang dikerjakan PT Novita Karya Taga di ruas jalan Nangaba-Pemo.
Dalam artikel itu, Pater Steph menulis, proyek dengan nilai Rp12,5 miliar itu dikerjakan asal jadi dan terlampau jauh dari kualifikasi berkualitas.
Pater Steph juga menyinggung nama Bupati Ende Marsel Petu, yang dia sebut mestinya “menjadi orang pertama yang marah besar karena ruas jalan itu menuju kampung halamnnya.”
Pastor Steph menyatakan, publik Ende menduga, ada kerja sama yang rapih antara pemerintah dan DPRD untuk merawat proyek dan kontraktor bermasalah.
Pasalnya, PT Novita sebenarnya sudah terlibat kasus korupsi bencana alam tahun 2010, di mana Direkturnya Baba Kung masuk penjara.
Namun, belakangan, nama perusahaan tetap sama, namun direkturnya diganti dengan nama istrinya.
Pater Steph pun mempertanyakan kinerja Kepala Dinas Pekerjaan Umum Ende, Frans Lewang, karena menurutnya, PT Novita sudah harus masuk kotak hitam, dengan rekam jejaknya yang cacat.
“Ataukah rakyat Ende bisa menduga bahwa Kadis Frans Lewang hanya sebuah bidak kecil yang ‘dimainkan’ oleh si raja main catur ‘di atasnya’?” tulisnya.
Pastor Steph, mengingatkan bahwa kongkalikong antara pengusaha, Pemda dan DPRD mengorbankan kepentingan rakyat.
Ia pun menyatakan, ruas jalan yang buruk itu membuktikan hilangnya komitmen Bupati Marsel dan Wakil Bupati Ahmad Djafar dalam membangun Ende dengan baik dan benar.
Adukan Tajuk
Dalam aduan kepada Dewan Pers terhadap artikel itu, pengadu menilai, Flores Pos melanggar Undang-undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Seluruh tulisan itu menceritakan kepada pembaca seolah-olah hasil pekerjaan proyek ruas jalan Nagaba-Pemo bermasalah besar,” klaim mereka.
Namun demikian, dalam surat itu, pengadu sama sekali tidak menyinggung bagian lain dari artikel itu, termasuk tudingan terkait dugaan adanya kongkalikong antara Pemda dan PT Novita dan peran orang kuat di balik penunjukkan PT Novita untuk mengerjakan proyek itu.
Terkait pengaduan itu, Dewan Pers sudah melayangkan surat penggilan kepada Redaksi Flores Pos pada 9 November 2016.
Pater Steph, yang kebetulan ada di Jakarta saat surat itu diterima Redaksi Flores Pos, sudah menemui Dewan Pers pada Kamis, 17 November 2016.
Ia menjelaskan, dalam pertemuan itu, ia meminta agar Dewan Pers menunjukkan identitas jelas dari pengadu.
“Dewan Pers juga bingung karena mereka sebelumnya tidak mengklarifikasi ke pihak pengadu terkait identitas mereka serta profil organisasi mereka. Identitasnya tidak jelas, alamat juga tidak bisa diverifikasi,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, Dewan Pers baru tahu bahwa yang diadukan adalah tajuk.
“Itu bukan berita, di mana media diwajibkan untuk mengkonfirmasi atau mengklarifikasi sebelum diterbitkan,” katanya.
Menurut Pater Steph, Dewan Pers sangat mendukung komitmen Flores Pos untuk tetap kritis dan berkomitmen teguh menjadi suara rakyat kecil dan bersikap kritis terhadap kekuasaan Bupati Marsel Petu di Ende.
Terkait substansi artikel itu, Pastor Steph mengatakan, itu tidak mengada-ada, tetapi berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.
“Kami tidak asal tulis, tetapi basis datanya ada, ada foto-fotonya. Kami sangat terbuka dengan masukan tapi selama ini pihak-pihak yang merasa dirugikan itu tidak pernah menggunakan hak jawabnya,” jelasnya.
Terkait pengerjaan jalan itu, kata dia, memang amburadul. “Pihak kontraktor menggunakan pasir laut, namun diganti setelah ada protes keras masyarakat,” katanya.
Sebagai pengontrol sosial, kata dia, media memiliki hak untuk mengkritisi kejanggalan-kejalanggalan dalam proses pembangunan.
“Flores Pos sesungguhnya sedang memainkan peran profetis, membela kepentingan masyarakat yang menjadi korban dari konspirasi yang diduga kuat sedang terjadi antara pemerintah, DPRD dan kontraktor,” katanya.
“Bukankah rekam jejak PT Novita harusnya menjadi pertimbangan penting bagi pengambil kebijakan untuk menyerahkan proyek dengan anggaran besar itu?” katanya.
Ia menegaskan, sangatlah pantas untuk menduga adanya kongkalikong antara pemerintah dan kontraktor, yang masih saja mendapat kepercayaan, meski kontraktor tersebut memiliki catatan hitam.
Bentuk Intimidasi
Pater Steph menilai, pengaduan itu merupakan bentuk intimidasi terhadap sikap kritis Flores Pos, yang selama ini berani memberitakan kasus-kasus kejanggalan dalam pembangunan di Flores.
“Misi ini sudah lama kami lakukan. Dan, memang, banyak yang merasa gerah, karena sikap kritis kami tersebut,” katanya.
“Kami memang merasa seolah-olah berjalan sendiri, karena tidak banyak media yang mengambil sikap serupa dengan Flores Pos, tapi kami yakin bahwa kebenaran bukan soal suara terbanyak tapi kesetiaan dan keteguhan komitmen untuk berjuang hingga akhir,” katanya.
Pastor Steph mengatakan, beberapa kali pula, ada yang berupaya mendekati mereka, dengan modus memberi uang oleh orang-orang yang bermasalah dan menjadi sasaran kritik dalam pemberitaan.
“Namun, sikap kami sudah tegas, menolak hal-hal demikian,” katanya.
Bungkam Flores Pos
Petrus Selestinus, advokat dan juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menegaskan, sebagai koran yang selalu mengedepankan idealisme dalam mempertahankan nilai-nilai perjuangan, maka tidak heran kalau banyak pihak selalu berupaya untuk membungkam Harian Flores Pos.
Hal itu, kata dia, untuk melanggengkan praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) akut di antara pejabat dan pengusaha yang selama ini mencari rezeki dengan memperdagangkan pengaruh, jabatan dan hukum di Flores.
“Bagi koran Flores Pos dan pimpinannya, pengalaman menghadapi upaya pembungkaman dengan berbagai cara sudah sering dihadapi,” katanya.
Ia juga menegaskan, upaya melaporkan Flores Pos ke Dewan Pers hanya untuk membungkam media tersebut agar menutup mata terhadap praktik mafia hukum di instansi penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan Negeri di Ende dan di Flores pada umumnya.
Namun, kata dia, membungkan koran dan pimpinan Flores Pos bagi kalangan mafia peradilan, bukanlah pekerjaan yang mudah karena Flores Pos tidak akan mau menggadaikan idealisme dan misi sebagai koran dengan semboyan dari Nusa Bunga ke Nusantara ini.
“Jati diri koran Flores Pos yang menempatkan idealisme sebagai benteng pertahanan, membuat Flores Pos menjadi media lokal yang secara efektif melakukan kontrol sosial terhadap perilaku bejat aparat penegak hukum dan aparat pemda bidang lainnya di seluruh Flores,” katanya.
Kaena itu, kata dia, menjadi tugas kita semua untuk menjaga dan merawat Flores Pos sebagai koran lokal yang berjasa besar dalam mengawal jalannya penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah pusat di daerah dan pemerintah daerah di kabupaten masing-masing di Flores.
Perlu Kontrol Publik
Sementara itu, mengomentari pengerjaan proyek bermasalah yang menjadi pokok soal dalam kasus ini, Armand Suparman, peneliti pada Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengatakan, kasus Ende ini menunjukkan anggaran atau alokasi dana yang besar tidak menjamin proses pengerjaan jalan yang berkualitas.
“Masalahnya dimana? KPPOD pada tahun 2012 pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Hasilnya, peningkatan anggaran daerah tidak mampu meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah,” katanya.
Armand menjelaskan, penyebabnya adalah korupsi, yang biasa dilakukan oleh pelaksana proyek yang menyuap pejabat publik dengan adanya komisi balas jasa dari pemenangan tender proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrastruktur yang dibangun.
“Dalam kasus di Ende, modus serupa bisa saja terjadi. Dalam situasi seperti ini, cukup sulit mengharapkan pemerintah atau anggota DPRD untuk mengatasinya, termasuk penegak hukum seperti polisi,” katanya.
Karena, kata dia, bisa saja semuanya sudah masuk dalam lingkaran koruptif tersebut.
“Karena itu, bagi saya peran aktif organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk terus melakukan pengawasan mulai perencanaan sampai pada pelaksanaan proyek infrastruktur,” lanjutnya.
Armand menambahkan, Gereja dan organisasi kemahasiswaan seperti PMKRI bisa menjadi kelompok civil society yang aktif mengawasi Pemda.
Ia mengajurkan agar dalam proses penawaran proyek, Pemda perlu melibatkan pihak ahli di luar struktur birokrasi pemerintah.
“Ketika proses penawaran terjadi dalam ruang gelap, selayaknya publik menduga ada yang tidak beres dalam pengerjaan proyek tersebut,” tegas Armand. (arl/rm/Floresa)
Namun, pihak Flores Pos merasa aneh, ganjil dan geli karena pengaduan itu dibuat oleh organisasi Himpunan Mahasiswa Ende (HME) yang tidak ada di Ende, dengan Ketua Yohanes Laka dan Sekretaris Abdurahman Langga.
Pemimpin Redaksi Flores Pos, Pastor Steph Tupeng Witin SVD pun menyebut laporan itu berasal dari para arwah.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, belum lama ini.
Pengaduan itu disampaikan lewat surat pada 2 Juni 2016 ke Dewan Pers.
Surat aduan itu merujuk pada artikel Bentara yang ditulis Pater Steph sendiri dengan judul “Novita Karya Taga” pada 30 Mei 2016, dimana ia mengkritisi proyek yang dikerjakan PT Novita Karya Taga di ruas jalan Nangaba-Pemo.
Dalam artikel itu, Pater Steph menulis, proyek dengan nilai Rp12,5 miliar itu dikerjakan asal jadi dan terlampau jauh dari kualifikasi berkualitas.
Pater Steph juga menyinggung nama Bupati Ende Marsel Petu, yang dia sebut mestinya “menjadi orang pertama yang marah besar karena ruas jalan itu menuju kampung halamnnya.”
Pastor Steph menyatakan, publik Ende menduga, ada kerja sama yang rapih antara pemerintah dan DPRD untuk merawat proyek dan kontraktor bermasalah.
Pasalnya, PT Novita sebenarnya sudah terlibat kasus korupsi bencana alam tahun 2010, di mana Direkturnya Baba Kung masuk penjara.
Namun, belakangan, nama perusahaan tetap sama, namun direkturnya diganti dengan nama istrinya.
Pater Steph pun mempertanyakan kinerja Kepala Dinas Pekerjaan Umum Ende, Frans Lewang, karena menurutnya, PT Novita sudah harus masuk kotak hitam, dengan rekam jejaknya yang cacat.
“Ataukah rakyat Ende bisa menduga bahwa Kadis Frans Lewang hanya sebuah bidak kecil yang ‘dimainkan’ oleh si raja main catur ‘di atasnya’?” tulisnya.
Pastor Steph, mengingatkan bahwa kongkalikong antara pengusaha, Pemda dan DPRD mengorbankan kepentingan rakyat.
Ia pun menyatakan, ruas jalan yang buruk itu membuktikan hilangnya komitmen Bupati Marsel dan Wakil Bupati Ahmad Djafar dalam membangun Ende dengan baik dan benar.
Adukan Tajuk
Dalam aduan kepada Dewan Pers terhadap artikel itu, pengadu menilai, Flores Pos melanggar Undang-undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Seluruh tulisan itu menceritakan kepada pembaca seolah-olah hasil pekerjaan proyek ruas jalan Nagaba-Pemo bermasalah besar,” klaim mereka.
Namun demikian, dalam surat itu, pengadu sama sekali tidak menyinggung bagian lain dari artikel itu, termasuk tudingan terkait dugaan adanya kongkalikong antara Pemda dan PT Novita dan peran orang kuat di balik penunjukkan PT Novita untuk mengerjakan proyek itu.
Terkait pengaduan itu, Dewan Pers sudah melayangkan surat penggilan kepada Redaksi Flores Pos pada 9 November 2016.
Pater Steph, yang kebetulan ada di Jakarta saat surat itu diterima Redaksi Flores Pos, sudah menemui Dewan Pers pada Kamis, 17 November 2016.
Ia menjelaskan, dalam pertemuan itu, ia meminta agar Dewan Pers menunjukkan identitas jelas dari pengadu.
“Dewan Pers juga bingung karena mereka sebelumnya tidak mengklarifikasi ke pihak pengadu terkait identitas mereka serta profil organisasi mereka. Identitasnya tidak jelas, alamat juga tidak bisa diverifikasi,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, Dewan Pers baru tahu bahwa yang diadukan adalah tajuk.
“Itu bukan berita, di mana media diwajibkan untuk mengkonfirmasi atau mengklarifikasi sebelum diterbitkan,” katanya.
Menurut Pater Steph, Dewan Pers sangat mendukung komitmen Flores Pos untuk tetap kritis dan berkomitmen teguh menjadi suara rakyat kecil dan bersikap kritis terhadap kekuasaan Bupati Marsel Petu di Ende.
Terkait substansi artikel itu, Pastor Steph mengatakan, itu tidak mengada-ada, tetapi berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.
“Kami tidak asal tulis, tetapi basis datanya ada, ada foto-fotonya. Kami sangat terbuka dengan masukan tapi selama ini pihak-pihak yang merasa dirugikan itu tidak pernah menggunakan hak jawabnya,” jelasnya.
Terkait pengerjaan jalan itu, kata dia, memang amburadul. “Pihak kontraktor menggunakan pasir laut, namun diganti setelah ada protes keras masyarakat,” katanya.
Sebagai pengontrol sosial, kata dia, media memiliki hak untuk mengkritisi kejanggalan-kejalanggalan dalam proses pembangunan.
“Flores Pos sesungguhnya sedang memainkan peran profetis, membela kepentingan masyarakat yang menjadi korban dari konspirasi yang diduga kuat sedang terjadi antara pemerintah, DPRD dan kontraktor,” katanya.
“Bukankah rekam jejak PT Novita harusnya menjadi pertimbangan penting bagi pengambil kebijakan untuk menyerahkan proyek dengan anggaran besar itu?” katanya.
Ia menegaskan, sangatlah pantas untuk menduga adanya kongkalikong antara pemerintah dan kontraktor, yang masih saja mendapat kepercayaan, meski kontraktor tersebut memiliki catatan hitam.
Bentuk Intimidasi
Pater Steph menilai, pengaduan itu merupakan bentuk intimidasi terhadap sikap kritis Flores Pos, yang selama ini berani memberitakan kasus-kasus kejanggalan dalam pembangunan di Flores.
“Misi ini sudah lama kami lakukan. Dan, memang, banyak yang merasa gerah, karena sikap kritis kami tersebut,” katanya.
“Kami memang merasa seolah-olah berjalan sendiri, karena tidak banyak media yang mengambil sikap serupa dengan Flores Pos, tapi kami yakin bahwa kebenaran bukan soal suara terbanyak tapi kesetiaan dan keteguhan komitmen untuk berjuang hingga akhir,” katanya.
Pastor Steph mengatakan, beberapa kali pula, ada yang berupaya mendekati mereka, dengan modus memberi uang oleh orang-orang yang bermasalah dan menjadi sasaran kritik dalam pemberitaan.
“Namun, sikap kami sudah tegas, menolak hal-hal demikian,” katanya.
Bungkam Flores Pos
Petrus Selestinus, advokat dan juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menegaskan, sebagai koran yang selalu mengedepankan idealisme dalam mempertahankan nilai-nilai perjuangan, maka tidak heran kalau banyak pihak selalu berupaya untuk membungkam Harian Flores Pos.
Hal itu, kata dia, untuk melanggengkan praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) akut di antara pejabat dan pengusaha yang selama ini mencari rezeki dengan memperdagangkan pengaruh, jabatan dan hukum di Flores.
“Bagi koran Flores Pos dan pimpinannya, pengalaman menghadapi upaya pembungkaman dengan berbagai cara sudah sering dihadapi,” katanya.
Ia juga menegaskan, upaya melaporkan Flores Pos ke Dewan Pers hanya untuk membungkam media tersebut agar menutup mata terhadap praktik mafia hukum di instansi penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan Negeri di Ende dan di Flores pada umumnya.
Namun, kata dia, membungkan koran dan pimpinan Flores Pos bagi kalangan mafia peradilan, bukanlah pekerjaan yang mudah karena Flores Pos tidak akan mau menggadaikan idealisme dan misi sebagai koran dengan semboyan dari Nusa Bunga ke Nusantara ini.
“Jati diri koran Flores Pos yang menempatkan idealisme sebagai benteng pertahanan, membuat Flores Pos menjadi media lokal yang secara efektif melakukan kontrol sosial terhadap perilaku bejat aparat penegak hukum dan aparat pemda bidang lainnya di seluruh Flores,” katanya.
Kaena itu, kata dia, menjadi tugas kita semua untuk menjaga dan merawat Flores Pos sebagai koran lokal yang berjasa besar dalam mengawal jalannya penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah pusat di daerah dan pemerintah daerah di kabupaten masing-masing di Flores.
Perlu Kontrol Publik
Sementara itu, mengomentari pengerjaan proyek bermasalah yang menjadi pokok soal dalam kasus ini, Armand Suparman, peneliti pada Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengatakan, kasus Ende ini menunjukkan anggaran atau alokasi dana yang besar tidak menjamin proses pengerjaan jalan yang berkualitas.
“Masalahnya dimana? KPPOD pada tahun 2012 pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Hasilnya, peningkatan anggaran daerah tidak mampu meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah,” katanya.
Armand menjelaskan, penyebabnya adalah korupsi, yang biasa dilakukan oleh pelaksana proyek yang menyuap pejabat publik dengan adanya komisi balas jasa dari pemenangan tender proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrastruktur yang dibangun.
“Dalam kasus di Ende, modus serupa bisa saja terjadi. Dalam situasi seperti ini, cukup sulit mengharapkan pemerintah atau anggota DPRD untuk mengatasinya, termasuk penegak hukum seperti polisi,” katanya.
Karena, kata dia, bisa saja semuanya sudah masuk dalam lingkaran koruptif tersebut.
“Karena itu, bagi saya peran aktif organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk terus melakukan pengawasan mulai perencanaan sampai pada pelaksanaan proyek infrastruktur,” lanjutnya.
Armand menambahkan, Gereja dan organisasi kemahasiswaan seperti PMKRI bisa menjadi kelompok civil society yang aktif mengawasi Pemda.
Ia mengajurkan agar dalam proses penawaran proyek, Pemda perlu melibatkan pihak ahli di luar struktur birokrasi pemerintah.
“Ketika proses penawaran terjadi dalam ruang gelap, selayaknya publik menduga ada yang tidak beres dalam pengerjaan proyek tersebut,” tegas Armand. (arl/rm/Floresa)
KOMENTAR