Indonesia layak optimistis menyongsong 2017 di
tengah kondisi global yang sulit saat ini. Indonesia diprediksi oleh para ahli
ekonomi akan menjadi salah satu negara yang dapat bertahan dari tekanan
eksternal karena skala ekonomi domestik yang besar dan ditopang oleh prospek
peningkatan harga komoditas secara bertahap.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah
menetapkan target pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada 2017, tetapi prediksi
badan ekonomi dan moneter dunia lebih optimistis. Dana Moneter Internasional
(IMF), Consensus Economics dan Bank Dunia meyakini pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2017 mencapai 5,3 persen. Adapun Bank Pembangunan Asia (ADB)
memprediksikan 5,5 persen. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi daripada 2016
yang 5,0 persen.
Faktor positif
Setidaknya ada beberapa hal positif yang membuat
kita layak optimis menyambut tahun 2017. Pertama, angka neraca perdagangan
Indonesia mencatat surplus 650 juta dollar AS per bulan pada 2015 dan 2016,
jauh lebih baik daripada rata-rata 2012-2014 yang mengalami defisit 220 juta
dollar AS. Secara kumulatif, sepanjang 2016, surplus neraca perdagangan
Indonesia 8,8 miliar dollar AS. Angka ini meningkat 14,5 persen dari 7,7 miliar
dollar AS tahun 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
kondisi surplus neraca perdagangan Indonesia berdampak positif terhadap nilai
tukar rupiah yang relatif stabil tahun 2016, di mana nilai tukar spot
rupiah terhadap dollar AS menguat sekitar 1 persen dibandingkan dengan 2015
yang melemah sekitar 0,50 persen. Berarti selama dua tahun terakhir
Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan. Ini merupakan sinyalemen positif
bahwa kebijakan ekonomi, terutama 13 paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk
meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, telah berjalan dengan baik.
Kedua, meningkatnya kepercayaan dan optimisme
pelaku ekonomi untuk tahun 2017. Harian Kompas (16/1/2017) mencatat,
para eksekutif BUMN dan perusahaan seperti Garuda Indonesia, Bank BRI,
Adaro, Jababeka, dan Waskita Karya, menyampaikan semangat optimistis dalam
menyongsong 2017. Kepercayaan dan optimisme seperti ini tentu sangat
diperlukan—di samping asumsi pertumbuhan ekonomi dari badan dunia seperti Bank
Dunia dan IMF—untuk meningkatkan kepercayaan bagi para investor dan pelaku
ekonomi. Hal ini harus terus didukung peran pemerintah dalam menciptakan iklim
usaha dan investasi yang kondusif demi kemajuan ekonomi Indonesia.
Tantangan
Namun, tantangan ekonomi dan politik yang
dihadapi pemerintah di 2017 tak kalah berat. Setidaknya, penulis berharap
pemerintah memfokuskan diri pada beberapa hal yang menjadi perhatian serius di
2017.
Pertama, pertumbuhan kredit dan sektor riil.
Pertumbuhan kredit perbankan harus mendapat perhatian utama, khususnya kredit
sektor komersial dan korporasi. Penurunan suku bunga kredit memang perlu,
tetapi bukan hal utama. Penciptaan iklim usaha yang baik melalui regulasi
peraturan dan kebijakan yang mendukung serta diimbangi dengan peningkatan daya
beli masyarakat—dengan menjaga inflasi tetap rendah dan nilai tukar relatif
stabil— adalah hal yang paling kritikal untuk mendorong permintaan kredit.
Rasanya agak sulit berharap kalangan pengusaha ekspansi usaha saat ini dengan
menggunakan dana kredit perbankan di tengah ketidakpastian ekonomi, terutama
permintaan pasar dan regulasi pemerintah yang kurang mendukung terciptanya
iklim usaha serta investasi yang kompetitif.
Pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK),
terutama dana murah bank, seperti giro dan tabungan (current account
dan saving account/CASA) juga harus lebih ditingkatkan. Peningkatan
penghimpunan CASA memang terus menunjukkan peningkatan menjadi Rp 2.510 triliun
(rasio CASA 53,59 persen) per Oktober 2016 dari Rp 2.302 triliun (rasio CASA
52,68 persen) per Oktober 2015. Artinya, telah meningkat sekitar Rp 208 triliun
(9 persen). Namun, kredit per Oktober 2016 hanya tumbuh 7,4 persen (Rp 4.246,6
triliun) meski masih lebih baik dibandingkan dengan September 2016 yang tumbuh
6,4 persen year-on-year (yoy).
Optimisme pertumbuhan DPK diyakini seiring dengan
masuknya aliran dana repatriasi dari kebijakan pengampunan pajak (tax
amnesty) dan tumbuhnya investasi. Tahun 2017, Bank Indonesia (BI)
memperkirakan penyaluran kredit akan tumbuh 11-12 persen. Pertumbuhan DPK harus
dilakukan seiring dengan peningkatan target pertumbuhan kredit bank pada 2017.
Saat ini secara total pertumbuhan DPK per Oktober 2016 sebesar 6,5 persen.
Untuk memacu pertumbuhan kredit tersebut, setidaknya harus dicapai pertumbuhan
DPK 12-13 persen pada 2017.
Sebagai imbal balik dari pertumbuhan kredit
perbankan, diharapkan sektor riil dapat bertumbuh untuk mengurangi
pengangguran. Esensi penyaluran kredit perbankan tentu untuk memacu ekspansi
dan perkembangan usaha agar tercipta permintaan angkatan kerja. Pemerintah
bersama perbankan harus berusaha menyalurkan kredit kepada sektor yang
produktif dan bisa menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Sektor industri pariwisata, pertanian,
perdagangan, konstruksi, serta komunikasi dan informasi bisa menjadi pionir
dalam pengurangan angka pengangguran pada 2017 karena sektor industri ini yang
paling diharapkan untuk menyerap tenaga kerja. Tahun 2017 pemerintah telah
menargetkan tingkat pengangguran terbuka 5,3-5,6 persen dan tingkat kemiskinan
9,5-10,5 persen karena per akhir 2016 diyakini angka pengangguran terbuka
mencapai 5,7 persen dan kemiskinan 10,6 persen.
Kedua, soal transparansi, kualitas, dan tanggung
jawab alokasi anggaran terhadap target pertumbuhan ekonomi, terutama anggaran
dana transfer ke daerah dan pembangunan infrastruktur. Harian Kompas
(16/1/2017) mencatat hal menarik bahwa selama ini tidak pernah ada
pertanggungjawaban publik terhadap capaian target dari alokasi anggaran,
terutama dampaknya terhadap ekonomi Indonesia.
Alokasi belanja negara dalam pagu APBN 2017 telah
ditetapkan Rp 2.080,5 triliun, yang akan dibiayai dari (target) pendapatan Rp
1.750,3 triliun dan utang negara Rp 330,2 triliun. Dari alokasi belanja ini,
anggaran infrastruktur Rp 317 triliun dan transfer ke daerah Rp 764,9 triliun,
merupakan angka superfantastis. Ke depan, pemerintah harus mengedepankan
transparansi anggaran dan kajian untuk memastikan penggunaan anggaran berdampak
positif terhadap kemajuan kehidupan dan kesejahteraan bangsa. Artinya, besarnya
anggaran yang dialokasikan tak hanya tecermin dari pembangunan secara kuantitas
dan fisik semata, tetapi juga harus lebih berkualitas dalam hal memperbaiki
kesejahteraan bangsa.
Penulis sangat yakin bahwa alokasi dan
transparansi dari anggaran infrastruktur serta transfer ke daerah akan sangat
vital dalam menunjang pemerataan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan
kesenjangan sosial selama penggunaan anggaran tersebut dilakukan dengan penuh
tanggung jawab dan rasa memiliki (sense of belonging) serta
terhindar dari praktik korupsi. Selain peningkatan kajian ekonomi, diperlukan
juga peran serta masyarakat untuk mengawasi capaian target dari alokasi
anggaran tersebut. Kontrol dan pengawasan kita bersama diharapkan mampu menjaga
pemerintah berada dalam koridor arah ekonomi yang benar. Pemerintah juga harus
semakin meningkatkan keterbukaan. Saran dan kritik yang membangun dari para
ahli ekonomi dan masyarakat perlu diterima dengan baik untuk memberikan manfaat
mulia bagi kemajuan ekonomi nasional.
Aspek politik
Hal ketiga adalah terkait aspek politik.
Bagaimanapun pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi situasi kondisi politik, baik
dalam maupun luar negeri, terutama dalam negeri. Kondisi politik Indonesia pada
2017 kian memanas, terutama terkait agenda Pilkada Serentak 2017 dan perdebatan
perlu tidaknya ambang batas pilpres (presidential threshold) pada
Pemilu 2019. Energi dan perhatian pemerintah dalam menyukseskan agenda
politik besar Pilkada 2017 menjadi tantangan yang tak ringan. Sukses
penyelenggaraan pilkada serentak 2017 juga menjadi ujian demokrasi Indonesia
serta acuan bagi para pengusaha dan investor untuk mengembangkan bisnis di
Indonesia.
Kita bersyukur kondisi damai dan aman selama
pilkada umumnya dapat terwujud, dalam arti kandidat kepala daerah siap kalah dan
siap menang. Pengajuan protes atas hasil pilkada tak dilarang selama tak
menimbulkan dan tak memancing timbulnya potensi konflik komunal yang bisa
menghambat pertumbuhan ekonomi. Agenda penentuan perlu tidaknya presidential
threshold juga jangan dianggap remeh. Pembahasan perlu tidaknya presidential
threshold harus segera diputuskan dengan baik. Harapannya, tentu saja,
agar fokus dan energi pemerintah tak banyak termakan untuk agenda politik
dibandingkan dengan agenda ekonomi. Mekanisme pemilu serentak 2019, dengan tak
adanya presidential threshold, akan memungkinkan setiap parpol, bahkan
parpol pendukung pemerintah saat ini, dapat mengajukan capres-cawapres
sendiri-sendiri.
Hal ini bisa menjadi alamat buruk bagi pemerintah
karena dipastikan setiap parpol akan mengambil jalan sendiri dan mengganggu
agenda pemerintah karena parpol akan lebih sibuk dengan agenda Pemilu 2019
daripada bekerja bersama pemerintah saat ini. Penulis yakin bahwa tahun 2017
adalah tahun pertaruhan terakhir pemerintah periode 2017-2019 karena tahun
depan hampir dipastikan secara politik, parpol akan lebih sibuk mempersiapkan
diri untuk menghadapi agenda Pemilu 2019.
Di atas segala tantangan yang ada, penulis masih
menaruh harapan untuk tetap optimistis dalam mengarungi 2017. Segala tekanan
dan faktor negatif dari luar negeri tentu dapat diredam dengan memperkuat
ketahanan nasional melalui kerja keras, keterbukaan dan kebersamaan antara
pemerintah, pengusaha, investor, dan seluruh rakyat Indonesia. Sekali lagi,
suasana kondusif, aman, dan damai serta tidak terpengaruh berita
negatif—apalagi hoaks—sangat diperlukan demi terwujudnya Indonesia maju,
sejahtera, dan tangguh, baik secara ekonomi maupun politik.
Santo Rizal Samuelson
Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia
KOMENTAR