Kupang. Pada setiap tanggal 20 Mei, bangsa kita memeringati Hari Kebangkitan
Nasional (Harkitnas). Pada tahun ini, kita merayakan Harkitnas yang ke
109 tahun. Harkitnas merupakan hari yang menjadi momentum perjuangan
seluruh rakyat Indonesia yang ditandai dengan kelahiran organisasi Budi
Oetomo pada tahun 1908.
Kebangkitan nasional merupakan bangkitnya semangat nasionalisme,
persatuan dan kesatuan serta kesadaran sebagai sebuah bangsa untuk
memajukan diri melalui gerakan organisasi yang sebelumnya tidak pernah
muncul selama penjajahan. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang
sosial dan menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Momentum Harkitnas harus menjadi saat kebangkitan
seluruh warga Indonesia, termasuk dunia kampus
untuk merefleksikan kembali upaya atau perjuangan mempertahankan
kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apakah kita sudah bergerak pada jalur yang benar? Ataukah pergerakan
kita lebih banyak diwarnai oleh upaya disintegrasi dalam bentuk
radikalisme dan anarkisme. Oleh karena itu, pada momentum Harkitnas ini
kita semua, teristimewa kampus
perlu membangun komitmen supaya membebaskan diri dari radikalisme,
anarkisme dan pelbagi bentuk kekerasan lainnya. Kampus harus menjadi
taman pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Kampus harus menjadi
sumur inspirasi bagi para dosen dan mahasiswa untuk menimba ilmu dan
pengetahuan, tempat yang ramah dan kondusif untuk belajar bersaing
secara sehat dan berinteraksi sosial secara konstruktif. Kampus harus
menjadi tempat berlangsungnya General Education.
Kampus sebagai Locus General Education
Semua komponen masyarakat terus berupaya untuk membebaskan kampus dari pelbagai bentuk tindakan radikal. Pada hari Sabtu, 5 Mei 2017, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Suhardi Alius, memberikan kuliah umum dengan tema 'Penguatan Karakter dan Prestasi Mahasiswa Bidikmisi untuk Meraih Reputasi' di Universitas Negeri Semarang. Pada kesempatan tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa kampus harus bebas dari radikalisme, narkoba, dan kekerasan
Semua komponen masyarakat terus berupaya untuk membebaskan kampus dari pelbagai bentuk tindakan radikal. Pada hari Sabtu, 5 Mei 2017, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Suhardi Alius, memberikan kuliah umum dengan tema 'Penguatan Karakter dan Prestasi Mahasiswa Bidikmisi untuk Meraih Reputasi' di Universitas Negeri Semarang. Pada kesempatan tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa kampus harus bebas dari radikalisme, narkoba, dan kekerasan
Penegasan menteri ini menjadi sangat urgen karena jika perilaku
tersebut dipelihara, maka dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Kampus harus menyatakan tekad untuk mempertahankan Pancasila, Bhineka
Tunggal Ika, UUD 1954, NKRI.
Ketika kita berpegang teguh pada keempat pilar kebangsaan ini, maka
tidak ada ruang dan tempat untuk bertumbuhnya radikalisme, intoleransi,
anarkisme, antipluralisme, dan diskriminasi. Jiwa nasionalisme kita
tidak boleh tergerus oleh pelbagai ancaman yang merongrong persatuan dan
kesatuan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Semua perguruan
tinggi didorong supaya berperang melawan segala bentuk radikalisme, dll.
Kampus harus menjadi tempat pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Kita sebagai suatu bangsa yang merdeka patut bersyukur karena para
pahlawan telah berjuang dengan meneteskan keringat darah untuk
kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa ini
perlu mengisi kemerdekaan dengan memperkuat toleransi dan kerja sama
yang konstruktif. Negara memberi tempat bagi mahasiswa mengekspresikan
kebebasan berpendapat melalui aksi demonstrasi, tetapi dengan syarat
bahwa aksi tersebut tidak boleh anarkis dan destruktif.
Oleh karena itu, para rektor dan dosen perguruan tinggi harus secara
kontinu meningkatkan kesadaran para mahasiswa akan tantangan global yang
harus dihadapi. Pimpinan perguruan tinggi harus bertanggung jawab
terhadap kampus dengan membentuk perilaku yang positif dan konstruktif dalam diri para mahasiswa. Jangan sampai kehidupan heterogenitas kampus tercederai ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.
Ada begitu banyak fakta yang memperlihatkan bahwa tantangan
radikalisme global saat ini juga mengancam Indonesia. Kampus di
Indonesia dinilai rentan disusupi paham-paham baru. Pelaku tindakan
radikal paling banyak berasal dari kalangan muda yang berusia 20-30
tahun.
Institusi perguruan tinggi, baik yang umum maupun agama, kerap
menjadi sasaran gerakan radikalisme. Paham radikal merupakan ancaman
bagi tegaknya NKRI. Kasus kasus kekerasan atas nama agama, intoleransi,
antipluralisme, diskriminasi, penyebaran paham radikal merambah masuk
dalam institusi kampus.
Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia
berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun
terhadap pengaruh ideologi radikal. Radikalisme menyeruak menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus,
sehingga muncul kelompok ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Berhadapan
dengan maraknya gerakan radikal ini, maka perlu ada suatu gerakan cerdas
membendung radikalisme ini.
Gerakan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus ada kerja sama semua civitas akademik kampus. Setiap kampus
harus menjadikan radikalisme sebagai musuh bersama. Dengan cara-cara
seperti ini, kita berharap radikalisme betul-betul tidak ada di kampus
manapun. Dengan itu, kita hidup di Indonesia dengan nilai-nilai
keragaman yang harus dipertahankan melalui sikap saling menghormati dan
terus menyuburkan semangat gotong-royong.
Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam
mencegah radikalisme. Hal itu dapat dilakukan dengan cara merevitalisasi
lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Organisasi-organisasi yang ada di kampus
memegang peranan penting untuk mencegah berkembangnya paham radikal
melalui pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang komprehensif dan kaya
makna. Karena itulah, konteks Nota Kesepahaman antara Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Kemenristekdikti yang diwakilkan
oleh Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan menjadi sangat
strategis dalam upaya membendung radikalisme di kalangan mahasiswa (bdk.
Kompas.com. 10 Mei 2017).
Ada beberapa hal yang perlu dirumuskan secara sistematis dari kerjasama ini, yaitu : (1) kita tidak perlu mendesain ulang kurikulum menyeluruh karena hal itu mengganggu stabilitas akademis-keilmuan.
Hal mendesak yang dilakukan adalah revitalisasi mata kuliah yang
bersifat "ideologis" yakni berupa pembekalan terhadap 4 (empat) pilar
kebangsaan yakni Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945
sebagai Konstitusi Negara dan Ketetapan MPR, Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai Bentuk Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika untuk membendung potensi munculnya ajaran radikal;
(2) penguatan peran dan tanggungjawab orang tua dalam menentukan
keberhasilan pencegahan radikalisme. Orang tua berperan dalam
menciptakan suasana harmonis dan komunikatif, menjauhi pola konsumtif
dan memberikan keteladanan yang baik sesuai dengan norma agama dan
sosial yang baik; (3) penerapan kualifikasi dosen pengajar agama yang
tidak berafiliasi dengan organisasi radikal dan tidak berideologi
radikal. Hal ini menjadi sangat penting mengingat infiltrasi ajaran
radikal tidak hanya muncul dari buku ajar, tetapi dari pengajar yang
memiliki perspektif radikal;
(4) penataan ulang organisasi mahasiswa dan aktivitas keagamaan yang ekslusif di kampus dengan cara menyertakan dosen pendamping yang juga tidak berafiliasi; (5) penguatan nilai-nilai kebangsaan di lingkungan kampus sebagai bahan matrikulasi sebelum mahasiswa memasuki jenjang perkuliahan.
Dengan dasar pemikiran ini, model general education merupakan alasan
rasional sebagai gagasan dasar dan pemikiran solusif untuk pencegahan
paham radikal di lingkungan kampus.
Dalam arti bahwa mahasiswa diberi pemahaman yang bersifat "ideologis"
yakni memberikan penyadaran tentang wawasan kebangsaan seperti pemahaman
terhadap Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa, memahami akan
kesatuan dan persatuan melalui NKRI, memahami makna bhineka tunggal ika
yakni berbeda-beda tetapi tetap satu.
General education merupakan langkah strategis, inovatif, terpadu,
sistematis, serius, dan komprehensif dalam memerangi tumbuhnya paham
radikal di kampus.
Model pendekatan yang dilakukan bukan hanya pendekatan keamanan dan
ideologi, tetapi juga memperhatikan jaringan, modus operandi, dan raison
d'entre (motif lahirnya) gerakan radikal. Program deradikalisasi
melalui gerakan pemanusiaan menjadi salah satu prasyarat mencegah
meluasnya paham radikal. General education dilaksanakan sebelum
mahasiswa memasuki proses perkuliahan dengan menanamkan nilai-nilai
kebhinnekaan dan ideologi Pancasila.
Indonesia adalah negara bangsa yang multikultural dengan segala macam
budaya, nilai, suku, adat istiadat dan agama. Ditengah pluralitas
semacam ini, kita perlu membekali diri dengan semangat persatuan dan
kesatuan, toleransi dan saling menghargai. Komunitas kampus
juga perlu memperkuat persatuan dan kesatuan, sikap toleransi dan
menghargai perbedaan. Hal ini akan memperkuat bangunan intelektual kampus.
Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan cara bahwa mahasiswa tidak hanya
mengembangkan aspek rasional, tetapi juga harus mengasah keimanan dan
spiritual.
Sebagai institusi penghasil generasi penerus bangsa, kampus
harus membentengi diri dari pengaruh-pengaruh yang cenderung
destruktif. Sebab mahasiswa acap kali mudah tersulut emosi dan
terpengaruh oleh pemikiran pemikiran baru. Jangan sampai terjadi
kekerasan di dalam kampus karena dipicu masalah sepele ataupun paham yang berbeda, terutama paham radikal.
Perguruan tinggi perlu membangun kemitraaan yang lebih strategis dan
merancang secara sistematis program bersama untuk menangkal paham
radikal. Selain itu, perlu melakukan kontra ideologi yang utuh dan
secara massif mensosialisasikan 4 Pilar Kebangsaan dengan mengembangkan
konsep general education. Suatu bentuk pendidikan yang menyeluruh dengan
memberikan pembekalan kepada mahasiswa tentang pentingnya Pancasila,
Bhineka Tunggal Ika, UUD 1045, dan NKRI.
Program ini membekali mahasiswa
di kampus
untuk memiliki pengetahuan tentang jati diri sebagai bangsa Indonesia
supaya menjadi imun dan tidak mudah terpengaruhi paham radikal,
intoleransi, antipluralis, dan diskriminasi.
Dalam konteks inilah, maka pada tanggal 11 Mei 2017, forum perguruan
tinggi di NTT mengadakan aksi damai secara serempak untuk menolak
radikalisme masuk kampus.
Semua perguruan tinggi sepakat untuk melawan setiap bentuk radikalisme,
sikap intoleransi, antipluralisme, diskriminasi terjadi di kampus.
Kampus harus menjadi tempat bertumbuh suburnya semangat kesatuan dan
persatuan, toleransi, kerjasama, saling menghargai perbedaan.
Semoga spirit Harkitnas menjadi semangat dan pilihan dasar (optio
fundamentalis) semua anak bangsa untuk menegakkan persatuan dan
kesatuan, tetap setia pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945,
NKRI. Kiranya keempat pilar kebangsaan ini tetap menjadi fundamen utama
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang merdeka dan
berdaulat. Komunitas kampus
hendaknya menjalankan kegiatan tridharma perguruan tinggi dengan
berbasiskan pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.
KOMENTAR