Kupang. Spektrum jangkauan dan kemudahan penggunaan media sosial (medsos)
menjadikan sarana komunikasi massa ini familiar di berbagai lapisan
masyarakat serta masif digunakan untuk berbagai keperluan. Kemudahan
untuk menggunakan akun secara anonim semakin membuat banyak orang merasa
nyaman menggunakan medsos.
Hal inilah yang membuat medsos menjadi sangat strategis untuk berbagai kepentingan penggunanya baik yang bersifat positif maupun negatif. Secara intens individu terpapar beragam informasi melalui medsos. Komunikasi melalui medsos dapat memberikan impresi yang bersifat individual.
Imbas dari transmisi informasi melalui medsos akan sangat tergantung pada kepiawaian sang penyampai pesan dalam mengkonstruksi (encoding) informasi di satu sisi, dan di sisi lain tergantung kerangka pengetahuan dan pengalaman individu atau masyarakat sasaran dalam men-decoding atau mengurai informasi yang diterimanya.
Bagi individu maupun masyarakat dengan struktur pengetahuan dan pengalaman yang terbatas, pesan-pesan dalam medsos yang demikian intens dapat menghegemoni mindset dan mensugesti pada tindakan tertentu secara efektif sesuai kepentingan komunikator. Situasi demikian dianalogikan dengan konsep Jarum Hipodermik layaknya hubungan dokter dan pasien yang bersifat subordinatif; pasien akan menerima dengan totalitasnya atas seluruh diagnosis dan resep yang diberikan sang dokter.
Pola komunikasi satu arah ini menciptakan kesadaran semu bagi penerima pesan. Kelimpahan informasi memicu kegamangan emosional dan psikologis yang dimanfaatkan untuk mensugestikan tindakan tertentu. Pola ini terlihat dari tebaran berbagai informasi dalam medsos yang kerap digunakan baik untuk kepentingan persaingan politik, sebagaimana Pilkada DKI Jakarta yang lalu, maupun propaganda sel-sel kelompok radikal dan teroris merekrut anggota dan menggalang dukungan massa.
Medsos mengambil peranan penting dalam mobilisasi aksi-aksi anti penistaan agama yang disangkakan pada Ahok. Berawal dari tersebarluasnya pidato Ahok melalui medsos, berkembang menjadi gelombang aksi massa secara nasional. Di sisi lain, cara serupa juga dilakukan oleh kelompok pendukung Ahok yang menggunakan medsos untuk meng-counter isu-isu yang dianggap memojokkan Ahok di jejaring maya.
Begitu pula dengan sel-sel organisasi radikal seperti ISIS, HTI, yang kerap menayangkan berbagai materi propaganda politik. Melalui medsos setiap orang dapat mentransmisikan pesan kapan saja dan di mana saja, serta pada siapapun, baik bersifat peer to peer, maupun massal.
Instrumen Hegemoni
Dunia hari ini dihadapkan pada bagaimana medsos dapat berubah menjadi sarana komunikasi massa yang demikian membahayakan jika tidak dikelola dengan tepat. NATO dalam risetnya telah memasukkan medsos sebagai senjata dalam perang hibrida selain senjata konvensional lainnya. Begitu pula dengan US Air Force yang mensponsori riset tentang medsos yang menyimpulkannya sebagai "as a new strategic warfare" pada 2012.
Hal ini menunjukkan betapa strategisnya fungsi medsos dalam berbagai kepentingan, termasuk perang nonkonvesional. Melalui medsos, suatu individu, masyarakat, bahkan negara dapat dikuasai mindset-nya.
Hal ini disadari pula oleh kelompok radikal dan teroris yang menggunakan medsos sebagai "senjata" dalam perang meraih dukungan dan menyebarkan aksi teror. Contoh nyata adalah serangan truk yang dilakukan oleh orang Tunisia dengan menabrakkan pada kerumunan masyarakat di Pasar Kristen di Berlin, Jerman, 11 November 2016.
Pelaku diketahui telah terkoneksi dengan akun Twitter dan Facebook yang mempublikasikan Majalah Rumiyah milik ISIS yang memuat tentang Taktik Teror sebagai panduan bagi simpatisan ISIS di Eropa dan Amerika Serikat untuk menyasar kegiatan publik seperti di pasar, festival, parade dan pawai politik.
Twitter sendiri telah menutup sekitar 360.000 akun yang diduga terkait dengan jaringan teroris sejak pertengahan 2015-2016. Pada 2016, Facebook, Twitter, Youtube dan Microsoft juga menjalin kerja sama dan mengaplikasikan teknologi untuk mengidentifikasi material seperti video maupun gambar yang di-upload oleh sel maupun jaringan teror, termasuk menutup akun yang mereka gunakan.
Namun, sayangnya Komisi Eropa menyatakan bahwa baru sekitar 43% akun yang ditandai mengandung konten seruan radikalisme dan terorisme yang di-remove.
Penggunaan medsos oleh kelompok radikal memiliki pola komunikasi tertentu untuk menguasai mindset dan mengarahkan perilaku sasaran. Lihat saja dengan Bahrun Naim yang menggunakan Telegram, blog, dan akun medsos lainnya untuk merekrut orang dan mengajarkan teknik-teknik teror dan perakitan bom.
Diperkirakan sekitar 30 ribu orang dari berbagai negara bergabung dengan ISIS setelah terpengaruh dengan propaganda lewat jaringan online. Secara aktif, para pengelola/admin akun medsos organisasi radikal menyasar target baik acak maupun selektif untuk kepentingan tertentu, semisal rekrutmen, penggalangan dana, maupun simpatisan.
Dalam pola ini, transformasi tidak hanya terkait konsep dan ideologi radikal, namun juga termasuk skill teknis tertentu untuk merealisasikan keyakinan radikal yang telah terbentuk. Kognisi, afeksi, serta orientasi target dengan cepat dapat dikuasai dan distimulasi mengarah pada tindakan tertentu.
Medsos dengan demikian menjadi senjata yang dikendalikan untuk melakukan radikalisasi sasaran tertentu. Radikalisasi dapat terjadi tanpa tindakan aktif dari pengelola/admin akun kelompok radikal menyasar target tertentu. Dalam sejumlah kasus, fenomena self radicalization terjadi pada individu setelah berinteraksi dengan akun medsos yang dipersiapkan sebagai kanal informasi oleh kelompok radikal dan teror.
Bagi pengelola situs dan akun medsos kelompok radikal, kanal-kanal informasi mereka sediakan secara tematik untuk mem-framing berbagai karakteristik isu dalam masyarakat. Kelompok teroris ISIS setidaknya memiliki puluhan jaringan akun online yang memuat berbagai genre isu propaganda untuk meraih simpati massa.
Pengalaman di Indonesia juga menunjukkan hal serupa dengan keberadaan akun-akun medsos yang mempromosikan ide-ide radikal, informasi yang provokatif dan manipulatif. Persaingan dalam Pilpres 2014 hingga Pilkada DKI Jakarta 2017 diwarnai dengan masifnya akun-akun medsos, terutama yang anonim mem-broadcast berbagai konten radikal dan provokatif yang mengarahkan masyarakat pada tindakan-tindakan agresif tertentu, semisal kebencian pada orang, kelompok, agama, ras, etnis tertentu.
Kontra Hegemoni
Proses radikalisasi dan self radicalization melalui medsos terjadi karena paparan informasi yang demikian masif berhasil menghegemoni individu atau masyarakat secara efektif. Individu atau masyarakat tidak hanya mengalami perubahan persepsi, tetapi juga orientasi atas fenomena atau gejala tertentu yang menjadi isu utama dalam pesan kelompok radikal.
Dalam proses radikalisasi, kecepatan dampak dapat terjadi ketika aspek emosional dan laten dalam struktur individu atau masyarakat dapat dieksploitasi secara tepat. Individu atau masyarakat dapat serta merta berubah cepat dari atensi ke aksi setelah terpapar informasi medsos.
Jika pesan medsos yang ditransmisikan adalah pesan emosional yang dimaksudkan untuk menggerakkan orang pada tindakan kekerasan atau teror, maka dapat dibayangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan jika pesan seperti ini mensugesti jutaan orang di Indonesia yang sangat majemuk.
Dalam kaitan dengan fenomena radikalisasi dan self radicalization melalui medsos, maka deradikalisasi juga dapat dilakukan dengan medsos. Proses hegemoni wacana yang dijalankan kelompok radikal dan teroris tidak hanya dapat dicegah dengan menggunakan teknologi, tetapi juga dengan membangun pesan kontra hegemoni untuk menandingi wacana radikal dan teror.
Deradikalisasi merupakan perang ide dan wacana ideologis alternatif kontra ide dan wacana tafsir ideologis dari kelompok radikal. Deradikalisasi ditujukan untuk mendelegitimasi sumber ide dan wacana ideologis yang dikonstruksi oleh kelompok intelektual di balik propaganda teror dan sekaligus menggusur ideologi radikal dengan wacana alternatif yang bersifat moderat.
Dengan demikian, deradikalisasi dapat menjadi jalan untuk merubah perspektif dan mindset simpatisan dan kelompok radikal, serta memberi orientasi baru dalam merespons propaganda kelompok radikal lainnya. Dalam proses deradikalisasi, medsos merupakan sarana komunikasi massa yang sangat strategis untuk digunakan sepanjang diletakkan dalam strategi dan teknik yang tepat.
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan teknologi untuk mengendalikan medsos sering tidak efektif seperti mekanisme sensor dan filter konten dan penutupan akun. Kemudahan teknologi dan akses, termasuk anonimitas, akan menyuburkan kembali akun medsos radikal melancarkan propagandanya.
Deradikalisasi melalui medsos harus mengintegrasikan upaya mentransformasikan kesadaran kritis pada masyarakat tentang informasi. Masyarakat yang semakin cerdas dalam menggunakan medsos akan memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang didapat sehingga tidak mudah terpengaruh dengan konten radikal dalam medsos.
Persoalan memperkuat teknologi untuk memfilter konten radikal juga merupakan langkah penting. Pemerintah dan provider medsos harus dapat menjalin kerja sama efektif dan berkomitmen untuk melindungi kepentingan masyarakat dari paparan konten-konten yang membahayakan publik, terutama konten dari kelompok radikal dan teror.
Selain itu, operasi deradikalisasi melalui medsos tidak dapat mengabaikan strategi komunikasi untuk kontra hegemoni wacana yang didominasi konten radikal. Kanal-kanal informasi alternatif yang memproduksi isu dan konten kontra radikal perlu diperbanyak sebagai rujukan literasi bagi masyarakat.
Informasi berisi konten alternatif selama ini sangat terbatas dan kalah dalam persaingan penguasaan opini massa sehingga membuat masyarakat terjebak dalam skenario framing yang dilakukan oleh kelompok radikal melalui medsos.
Langkah-langkah tersebut tentu harus diimbangi dengan penegakan hukum guna memberikan efek jera dan menyeret para penyebar konten radikal dan teror ke meja hijau. Keberadaan Badan Siber Nasional dan pihak-pihak terkait perlu memberi perhatian khusus pada lalulintas transmisi informasi yang dapat membahayakan keamanan negara.
Hal inilah yang membuat medsos menjadi sangat strategis untuk berbagai kepentingan penggunanya baik yang bersifat positif maupun negatif. Secara intens individu terpapar beragam informasi melalui medsos. Komunikasi melalui medsos dapat memberikan impresi yang bersifat individual.
Imbas dari transmisi informasi melalui medsos akan sangat tergantung pada kepiawaian sang penyampai pesan dalam mengkonstruksi (encoding) informasi di satu sisi, dan di sisi lain tergantung kerangka pengetahuan dan pengalaman individu atau masyarakat sasaran dalam men-decoding atau mengurai informasi yang diterimanya.
Bagi individu maupun masyarakat dengan struktur pengetahuan dan pengalaman yang terbatas, pesan-pesan dalam medsos yang demikian intens dapat menghegemoni mindset dan mensugesti pada tindakan tertentu secara efektif sesuai kepentingan komunikator. Situasi demikian dianalogikan dengan konsep Jarum Hipodermik layaknya hubungan dokter dan pasien yang bersifat subordinatif; pasien akan menerima dengan totalitasnya atas seluruh diagnosis dan resep yang diberikan sang dokter.
Pola komunikasi satu arah ini menciptakan kesadaran semu bagi penerima pesan. Kelimpahan informasi memicu kegamangan emosional dan psikologis yang dimanfaatkan untuk mensugestikan tindakan tertentu. Pola ini terlihat dari tebaran berbagai informasi dalam medsos yang kerap digunakan baik untuk kepentingan persaingan politik, sebagaimana Pilkada DKI Jakarta yang lalu, maupun propaganda sel-sel kelompok radikal dan teroris merekrut anggota dan menggalang dukungan massa.
Medsos mengambil peranan penting dalam mobilisasi aksi-aksi anti penistaan agama yang disangkakan pada Ahok. Berawal dari tersebarluasnya pidato Ahok melalui medsos, berkembang menjadi gelombang aksi massa secara nasional. Di sisi lain, cara serupa juga dilakukan oleh kelompok pendukung Ahok yang menggunakan medsos untuk meng-counter isu-isu yang dianggap memojokkan Ahok di jejaring maya.
Begitu pula dengan sel-sel organisasi radikal seperti ISIS, HTI, yang kerap menayangkan berbagai materi propaganda politik. Melalui medsos setiap orang dapat mentransmisikan pesan kapan saja dan di mana saja, serta pada siapapun, baik bersifat peer to peer, maupun massal.
Instrumen Hegemoni
Dunia hari ini dihadapkan pada bagaimana medsos dapat berubah menjadi sarana komunikasi massa yang demikian membahayakan jika tidak dikelola dengan tepat. NATO dalam risetnya telah memasukkan medsos sebagai senjata dalam perang hibrida selain senjata konvensional lainnya. Begitu pula dengan US Air Force yang mensponsori riset tentang medsos yang menyimpulkannya sebagai "as a new strategic warfare" pada 2012.
Hal ini menunjukkan betapa strategisnya fungsi medsos dalam berbagai kepentingan, termasuk perang nonkonvesional. Melalui medsos, suatu individu, masyarakat, bahkan negara dapat dikuasai mindset-nya.
Hal ini disadari pula oleh kelompok radikal dan teroris yang menggunakan medsos sebagai "senjata" dalam perang meraih dukungan dan menyebarkan aksi teror. Contoh nyata adalah serangan truk yang dilakukan oleh orang Tunisia dengan menabrakkan pada kerumunan masyarakat di Pasar Kristen di Berlin, Jerman, 11 November 2016.
Pelaku diketahui telah terkoneksi dengan akun Twitter dan Facebook yang mempublikasikan Majalah Rumiyah milik ISIS yang memuat tentang Taktik Teror sebagai panduan bagi simpatisan ISIS di Eropa dan Amerika Serikat untuk menyasar kegiatan publik seperti di pasar, festival, parade dan pawai politik.
Twitter sendiri telah menutup sekitar 360.000 akun yang diduga terkait dengan jaringan teroris sejak pertengahan 2015-2016. Pada 2016, Facebook, Twitter, Youtube dan Microsoft juga menjalin kerja sama dan mengaplikasikan teknologi untuk mengidentifikasi material seperti video maupun gambar yang di-upload oleh sel maupun jaringan teror, termasuk menutup akun yang mereka gunakan.
Namun, sayangnya Komisi Eropa menyatakan bahwa baru sekitar 43% akun yang ditandai mengandung konten seruan radikalisme dan terorisme yang di-remove.
Penggunaan medsos oleh kelompok radikal memiliki pola komunikasi tertentu untuk menguasai mindset dan mengarahkan perilaku sasaran. Lihat saja dengan Bahrun Naim yang menggunakan Telegram, blog, dan akun medsos lainnya untuk merekrut orang dan mengajarkan teknik-teknik teror dan perakitan bom.
Diperkirakan sekitar 30 ribu orang dari berbagai negara bergabung dengan ISIS setelah terpengaruh dengan propaganda lewat jaringan online. Secara aktif, para pengelola/admin akun medsos organisasi radikal menyasar target baik acak maupun selektif untuk kepentingan tertentu, semisal rekrutmen, penggalangan dana, maupun simpatisan.
Dalam pola ini, transformasi tidak hanya terkait konsep dan ideologi radikal, namun juga termasuk skill teknis tertentu untuk merealisasikan keyakinan radikal yang telah terbentuk. Kognisi, afeksi, serta orientasi target dengan cepat dapat dikuasai dan distimulasi mengarah pada tindakan tertentu.
Medsos dengan demikian menjadi senjata yang dikendalikan untuk melakukan radikalisasi sasaran tertentu. Radikalisasi dapat terjadi tanpa tindakan aktif dari pengelola/admin akun kelompok radikal menyasar target tertentu. Dalam sejumlah kasus, fenomena self radicalization terjadi pada individu setelah berinteraksi dengan akun medsos yang dipersiapkan sebagai kanal informasi oleh kelompok radikal dan teror.
Bagi pengelola situs dan akun medsos kelompok radikal, kanal-kanal informasi mereka sediakan secara tematik untuk mem-framing berbagai karakteristik isu dalam masyarakat. Kelompok teroris ISIS setidaknya memiliki puluhan jaringan akun online yang memuat berbagai genre isu propaganda untuk meraih simpati massa.
Pengalaman di Indonesia juga menunjukkan hal serupa dengan keberadaan akun-akun medsos yang mempromosikan ide-ide radikal, informasi yang provokatif dan manipulatif. Persaingan dalam Pilpres 2014 hingga Pilkada DKI Jakarta 2017 diwarnai dengan masifnya akun-akun medsos, terutama yang anonim mem-broadcast berbagai konten radikal dan provokatif yang mengarahkan masyarakat pada tindakan-tindakan agresif tertentu, semisal kebencian pada orang, kelompok, agama, ras, etnis tertentu.
Kontra Hegemoni
Proses radikalisasi dan self radicalization melalui medsos terjadi karena paparan informasi yang demikian masif berhasil menghegemoni individu atau masyarakat secara efektif. Individu atau masyarakat tidak hanya mengalami perubahan persepsi, tetapi juga orientasi atas fenomena atau gejala tertentu yang menjadi isu utama dalam pesan kelompok radikal.
Dalam proses radikalisasi, kecepatan dampak dapat terjadi ketika aspek emosional dan laten dalam struktur individu atau masyarakat dapat dieksploitasi secara tepat. Individu atau masyarakat dapat serta merta berubah cepat dari atensi ke aksi setelah terpapar informasi medsos.
Jika pesan medsos yang ditransmisikan adalah pesan emosional yang dimaksudkan untuk menggerakkan orang pada tindakan kekerasan atau teror, maka dapat dibayangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan jika pesan seperti ini mensugesti jutaan orang di Indonesia yang sangat majemuk.
Dalam kaitan dengan fenomena radikalisasi dan self radicalization melalui medsos, maka deradikalisasi juga dapat dilakukan dengan medsos. Proses hegemoni wacana yang dijalankan kelompok radikal dan teroris tidak hanya dapat dicegah dengan menggunakan teknologi, tetapi juga dengan membangun pesan kontra hegemoni untuk menandingi wacana radikal dan teror.
Deradikalisasi merupakan perang ide dan wacana ideologis alternatif kontra ide dan wacana tafsir ideologis dari kelompok radikal. Deradikalisasi ditujukan untuk mendelegitimasi sumber ide dan wacana ideologis yang dikonstruksi oleh kelompok intelektual di balik propaganda teror dan sekaligus menggusur ideologi radikal dengan wacana alternatif yang bersifat moderat.
Dengan demikian, deradikalisasi dapat menjadi jalan untuk merubah perspektif dan mindset simpatisan dan kelompok radikal, serta memberi orientasi baru dalam merespons propaganda kelompok radikal lainnya. Dalam proses deradikalisasi, medsos merupakan sarana komunikasi massa yang sangat strategis untuk digunakan sepanjang diletakkan dalam strategi dan teknik yang tepat.
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan teknologi untuk mengendalikan medsos sering tidak efektif seperti mekanisme sensor dan filter konten dan penutupan akun. Kemudahan teknologi dan akses, termasuk anonimitas, akan menyuburkan kembali akun medsos radikal melancarkan propagandanya.
Deradikalisasi melalui medsos harus mengintegrasikan upaya mentransformasikan kesadaran kritis pada masyarakat tentang informasi. Masyarakat yang semakin cerdas dalam menggunakan medsos akan memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang didapat sehingga tidak mudah terpengaruh dengan konten radikal dalam medsos.
Persoalan memperkuat teknologi untuk memfilter konten radikal juga merupakan langkah penting. Pemerintah dan provider medsos harus dapat menjalin kerja sama efektif dan berkomitmen untuk melindungi kepentingan masyarakat dari paparan konten-konten yang membahayakan publik, terutama konten dari kelompok radikal dan teror.
Selain itu, operasi deradikalisasi melalui medsos tidak dapat mengabaikan strategi komunikasi untuk kontra hegemoni wacana yang didominasi konten radikal. Kanal-kanal informasi alternatif yang memproduksi isu dan konten kontra radikal perlu diperbanyak sebagai rujukan literasi bagi masyarakat.
Informasi berisi konten alternatif selama ini sangat terbatas dan kalah dalam persaingan penguasaan opini massa sehingga membuat masyarakat terjebak dalam skenario framing yang dilakukan oleh kelompok radikal melalui medsos.
Langkah-langkah tersebut tentu harus diimbangi dengan penegakan hukum guna memberikan efek jera dan menyeret para penyebar konten radikal dan teror ke meja hijau. Keberadaan Badan Siber Nasional dan pihak-pihak terkait perlu memberi perhatian khusus pada lalulintas transmisi informasi yang dapat membahayakan keamanan negara.
KOMENTAR