Kupang. Anak-anak paling rentan diracuni
sikap intoleran dan radikalisme. Banyak peristiwa di lingkungan hidup
anak tidak kondusif bagi pertumbuhan diri secara utuh. Dalam beberapa
bulan terakhir, semakin sering demonstrasi dan tidak sedikit melibatkan
anak. Lebih lagi, demonstran mengkhotbahkan doktrin radikalisme. Gema
bibit radikalisme merupakan faktor perusak diri anak dalam masyarakat
majemuk seperti Jakarta.
Banyak program televisi juga kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu
yang mempertontonkan adegan kurang sopan dan tidak toleran terhadap
etnis dan agama yang berbeda. Yang lebih parah, ada lingkungan
pendidikan sudah dirasuki bibit intoleransi dan radikalisme. Ada guru TK
mengajarkan radikalisme sejak usia dini yang disebut “tepuk anak
sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan
slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim yes, kafir no.” Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.
Menurut Depkes, 0–5 tahun disebut usia dini dan usia
anak-anak, 5–11 tahun. Usia tersebut merupakan masa emas pertumbuhan
diri yang berawal dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.
Keluarga menjadi tempat anak menerima dan menginternalisasi nilai-nilai
iman (jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan berbohong,
dan sebagainya) dan kebaikan. Keluarga tempat terbaik penanaman
nilai-nilai sejak dini. Rumah menjadi sekolah iman dan cinta.
Maka, ayah-ibu memiliki kewajiban menciptakan lingkup
keluarga penuh semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap
sesama sebagai penunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial
anak-anak. Maka, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama akan
keutamaan-keutamaan.
Pembangunan masyarakat harus berbasis keluarga.
Sebagai penerus bangsa, anak-anak di keluarga, sekolah,
dan masyarakat perlu dilindungi dari racun intolerasi dan radikalisme.
Bocah-bocah sejak dini harus dididik akan nilai-nilai cinta kasih kepada
Tuhan dan sesama manusia sebagaimana telah dikristalkan dalam
Pancasila.
Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk
Indonesia, melalui Konvensi Hak-hak Anak menyetujui pendidikan dan
pembinaan anak-anak diarahkan, antara lain pada pengembangan menghormati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki. Kemudian, arah pengembangan
menghormati orang tua, kebudayaan, bahasa, dan nilai-nilainya.
Lalu, arah persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung
jawab dalam suatu masyarakat bebas. Ini dalam semangat pengertian,
perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan
dengan semua orang (Pasal 29 Konvensi Hak Anak-anak PBB tanggal 20
November 1989)
Nilai-nilai
Lingkungan yang penuh kepalsuan, kemunafikan, kebohongan,
mengembangkan kebencian terkait SARA, ajaran intoleransi dan radikalisme
menjadi bibit kerusakan jiwa anak-anak. Bocah yang seharusnya bertumbuh
kembang sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia, bisa
menjadi radikal, intoleran, pembohong, dan munafik.
Pertumbuhan anak-anak berawal dari keluarga, berlanjut di
sekolah dan masyarakat. Pemerintah dapat memprogramkan pembangunan
masyarakat berbasis keluarga. Negara harus hadir dalam pembangunan
keluarga. Pembinaan keluarga melalui tahap pra dan pascanikah.
Sebelum pernikahan, calon suami-istri dibekali berbagai
pengetahuan dan informasi, seperti ajaran nilai perkawinan, ekonomi
keluarga, pemeliharaan keluarga yang sehat, dan penyiapan pendidikan
anak-anak. Sesudah menikah, suami-istri perlu dibekali cara mendidik
anak, di antaranya cara menanamkan nilai-nilai universal, seperti, jujur, kerja keras, tanggung jawab, tolong-menolong, kerja sama, dan rendah hati.
Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan agar menjadi
karakter anak-anak. Ayah-ibu juga perlu mendapat bantuan, seperti
konselor keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disediakan
pemerintah. Di sekolah, pemerintah perlu mengawasi tenaga pendidik yang
mengajarkan intoleransi dan radikalisme. Guru-guru demikian perlu
dipertimbangkan untuk diberhentikan.
Siswa akan terlindungi bila tenaga pendidik sadar akan
tugasnya untuk menumbuhkembangkan anak. Di sekolah, murid-murid mendapat
pendidikan, pembelajaran yang menyenangkan serta keteladanan dari
tenaga pendidik. Guru bersikap sopan, bersahabat, dan mendengarkan
pandangan anak. Dia mengembangkan kreativitas, tidak memarahi peserta
didik di depan siswa lain.
Masyarakat berperan melindungi anak-anak dari dampak
negatif lingkungan yang intoleran dan radikal. Tokoh atau anggota
masyarakat perlu mengawasi lingkungan sekitar yang terindikasi ada
benih-benih sikap intoleran dan radikal. Tokoh-tokoh masyarakat
dipanggil untuk ikut berperan dalam menumbuhkembangkan bocah dengan
memberi teladan.
Program siaran televisi yang menampilkan kekerasan, bibit
intoleransi, dan radikalisme selayaknya dihentikan. Program televisi
harus berkualitas dan membangun kebersamaan dalam kehidupan yang
majemuk. Pertumbuhan dan masa depan anak sangat ditentukan kehidupan
dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika anak-anak mengalami
keteladanan yang baik, akan menjadi generasi masa depan bangsa.
KOMENTAR