
Oleh Muhammad Sahlan
Sebelum
lebih jauh membahas radikalisasi tentunya penting diterangkan istilah
radikalisasi secara singkat terlebih dahulu. Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang
berarti akar, dan radikal sendiri adalah sesuatu yang mendasar atau
hingga sampai ke akar-akarnya. Penyusunan predikat “radikal” dapat
dikenakan pada pemikiran, yang kemudian ada istilah “pemikiran radikal”,
dapat juga pada gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal”. Dalam
Tesaurus Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai (a) fundamental, mendasar, primer, esensial, kardinal, vital, drastis; (b) ekstrim, fanatik, keras, militan, revolusioner; (c) liberal, maju, progresif, reformis, terbuka; (d) (kaum, orang) ekstrimis, reaksioner, revolusioner.
Dengan demikian radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau
aliran keras yang ingin melakukan sebuah perubahan sosial atau politik
dengan cara cepat, drastis, keras, dan ekstrem.
Dalam
konteks radikalisme Islam, adalah upaya orang atau sekelompok orang
Islam tertentu yang ingin menerapkan ideologi (syariat Islam) dengan
cara cepat, keras, dan ekstrem tanpa melihat atau menerima ide-ide lain
dengan berdalih agama. Hal ini bisa menjadi bencana besar bagi
ketentraman manusia, jika ditilik kembali tentang definisi kebenaran
menurut kelompok radikal. Pemahaman kebenaran dalam agama adalah berasal
dari Tuhan. Sedangkan firman Tuhan ada dalam kitab suci. Kemudian,
apabila kitab suci mempunyai beberapa tafsir yang berbeda, maka bagi
radikalisme agama, paham kelompoknya-lah yang dianggap paling benar.
Dengan demikian, jikalau terdapat beberapa kelompok orang yang berpaham
agama secara radikal, kemungkinan berikutnya adalah terjadi sebuah clash atau
benturan fisik yang mengakibatkan kekerasan dan perang saudara. Hal ini
akan mengakibatkan zaman jahiliah terulang kembali oleh peperangan dan
pembunuhan.
Dari pemaparan fakta-fakta
radikalisme di Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia
telah mengalami ancaman besar dari sisi pemuda, yang digadang-gadang
sebagai “tulang punggung bangsa”. Merebaknya fenomena radikalisasi Islam
di kalangan pemuda terutama terjadi di kampus-kampus besar merupakan
sebuah kecolongan besar bagi masa depan bangsa, di mana mereka adalah
calon-calon pemimpin masa depan. Jika hal ini terus terjadi kemungkinan
besar Pancasila sebagai Philosophische Grondslag
atau dasar negara akan segera tergantikan oleh syariat Islam atau
khilafah melalui pemimpin-pemimpin yang berpaham fundamental. Dan
kemungkinan buruk selanjutnya sesuai premis awal tentang radikalisme,
Indonesia akan mengalami beberapa peperangan, benturan fisik, dan
pembunuhan antaragama yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kondisi
masyarakat Indonesia yang beragam, banyak agama juga aliranya.
Pentingnya Semangat Pancasila sebagai Kontinuitas Pembangunan Bangsa
Seorang
ahli sosial Indonesia, Ignas Kleden menyatakan bahwa kebudayaan adalah
dialektika antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan
pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan
reformasi, yang dengan kata lain kedua hal tersebut akan selalu
diperlukan. Misalkan jika tanpa tradisi atau integrasi, suatu kebudayaan
akan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa suatu reformasi atau
disintegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan kemungkinan berkembang
dalam merespon jaman dan paksaan perubahan sosial.
Sebuah
negara tidak akan menjadi lebih baik, lebih matang, dan lebih kuat
dalam hal kebudayaan apabila setiap hasil kebudayaan yang ada atau
kebudayaan masa lalu selalu diganti dengan sebuah kebudayaan baru dengan
terus menerus. Kondisi ini telah dan masih terjadi di Indonesia seperti
yang diungkapkan oleh Kleden, mengapa sejarah kebudayaan Indonesia
modern pada hakikatnya adalah sejarah tanpa kontinuitas. Penyebabnya
adalah setiap generasi selalu berusaha membangun sebuah tradisi baru
dari nol (awal) dan bukan melakukan dilektika terhadap tradisi
sebelumnya. Sikap (1) penolakan terhadap tradisi kebudayaan yang ada
atau masa lalu atas dasar semangat modern dapat dilihat dari beberapa
kasus misalnya, sering dikutipkanya pemikiran tokoh ekonom Barat
daripada Hatta, sering dikutipnya pemikiran nasionalisme ahli Barat
daripada Soekarno, sering dikutipnya pemikiran Islam transnasional
daripada kiai-kiai yang ada di Indonesia, sering dikutipnya pemikiran
kebudayaan Barat daripada (misalnya) pemikiran Ignas Kleden ini, dan
masih banyak kasus-kasus penolakan tradisi lainya.
Sikap
(2) konservatif alias selalu mempertahankan tradisi kebudayaan masa
lalu, dapat dilihat dalam masyarakat yang tidak mau menerima semangat
modern: materialis, rasional, dan individual yang memang perlu diserap
di era saat ini. Konservatif terhadap tradisi akan berakibat juga dalam
tersingkirnya masyarakat tertentu dari pertarungan global. Yang menjadi
sebuah catatan dan poin penting adalah sikap masyarakat Indonesia
seharusnya bisa berada dalam posisi moderat, dengan melanjutkan tradisi
yang sudah ada, melakukan kritik terhadapnya, juga berinovasi.
Ditarik
dalam konteks tema ini, Pancasila adalah sebuah hasil pemikiran tokoh
pendiri Indonesia dalam merumuskan dasar negara dan pandangan hidup yang
juga bisa disebut hasil kebudayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu
Pancasila diciptakan sebagai dasar negara yang dimaksud sebagai fondasi
negara yang kuat (ideologi), agar rumah kebangsaan yang bernama negara
Indonesia dapat kokoh dan abadi, serta melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian dalam membangun
negara dan peradaban tanpa didasari dengan semangat transendental
(ketuhanan) dan prinsip-prinsip ruhiah yang kuat adalah ibarat membangun
bangunan istana yang rapuh. Sehingga Pancasila merupakan sesuatu yang
jelas pokok dan sakral, tidak bisa diubah dalam kondisi apapun. Oleh
sebab itu upaya mengganti sebuah dasar negara dengan dasar yang lain
sama saja menghancurkan negara Indonesia.
Dari
sisi sejarah, pembentukan Pancasila melalui perdebatan cukup
menegangkan. Perumusan Pancasila mengalami beberapa ketegangan antara
tokoh dari umat muslim dan non-Muslim dalam menetapkan sila pertama
Piagam Jakarta (cikal bakal Pancasila), yakni “ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akhirnya dengan
usaha keras persuasi Soekarno terhadap perwakilan tokoh Islam di
detik-detik awal kemerdekaan Indonesia, tujuh kata di belakang ketuhanan
dihapus demi persatuan dan kesatuan mengingat Indonesia baru merdeka.
Usaha ini juga jelas menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan hanya terdiri
dari warga Muslim—meskipun Islam adalah mayoritas—bahwa ada penganut
agama-agama lain yang hidup di Indonesia. Mereka semua sebagai warga
negara harus memiliki hak yang sama. Upaya untuk mengganti Pancasila
dengan Khilafah misalnya, adalah upaya untuk mendiskreditkan pemeluk
agama lain atau kelompok lain dalam negara baru yang dicita-citakan oleh
kelompok tertentu.
Kembali lagi pada gagasan
yang diangkat oleh Kleden tentang kontinuitas tradisi, dengan melakukan
kritik terhadap tradisi yang sudah ada, kemudian melakukan reformasi
tradisi agar lebih baru dan maju merupakan sebuah upaya positif dalam
urun pembangunan. Konsep ini memiliki kesamaan dengan usul fiqih yang
menjadi doktrin organisasi kegamaan Islam Nahdlatuh Ulama (NU), al-mukhafadhatu ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi al-aslah
yang artinya memelihara yang lama yang baik dan mengadopsi yang baru
dan baik. Konsep “menjaga yang baik” di sini bisa disamakan dengan tetap
bertradisi dengan mengkritik tradisi yang tidak kontekstual tentunya
bentuk atau kemasanya saja, dan “mengambil yang lebih baik” di sini bisa
disamakan dengan melakukan upaya perubahan mencari dan menemukan
inovasi baru agar tetap eksis dalam perubahan zaman.
Pemahaman
seperti Kleden dan NU tentang kebudayaan di atas dapat menjadi semangat
positif dalam melanjutkan tradisi yang sudah ada (Pancasila). Mestinya
dengan melakukan kritik dan tafsir ulang untuk disesuaikan dengan
permasalahan yang ada. Bentuk konkrit sikap ini, misalnya adalah
melanjutkan pemikiran-pemikiran yang telah digagas, semisal Ekonomi
Kerakyatan oleh Hatta, Dawam Raharjo, Mobyarto, dsb; Kebudayaan oleh
STA, Kleden, Pram, Rendra, Ronggowarsito (Jawa) dsb; Pendidikan oleh Ki
Hajar Dewantara, Dr Soetomo, dsb; Filsafat oleh Suryomentaram (Jawa)
dsb; Islam oleh Hasyim Asyari, A. Dahlan, Mustofa Bisri, dsb; dan
bidang-bidang sosial lainya di mana sesuai dengan konteks sosial budaya
Indonesia itu sendiri.
Oleh sebab itu, semangat
Pancasila menjadi penting sebagai usaha warga negara dalam memajukan
bangsa dan menolak gerakan radikalisme agama. Gerakan radikalisme dalam
beberapa kasus juga ingin menyuarakan permasalahan sosial bangsa yang
sudah sangat pelik. Lalu, mereka memberi solusi dengan ikut bergabung
dalam gerakanya. Dan puncaknya adalah penerapan khilafah atau syariat
Islam di dalam negara sebagai solusi atas tidak becusnya sistem
demokrasi dan ideologi Pancasila. Namun, apakah sistem baru yang
ditawarkan sudah teruji atau diterapkan dengan hasil sebuah kemakmuran
bangsa? Tentunya, biaya “peperangan antar suku, agama, aliran” belum
juga kegagalan yang diakibatkan, kepentingan global yang mendompleng
dibaliknya, lebih baik dialihkan pada usaha kongkrit dalam mengembangkan
tradisi yang sudah ada. Terakhir, sebagai negara yang sudah berusia 72
tahun, Indonesia haruslah sudah mandiri di segala bidang. Untuk itu,
berusaha berdikari dengan Pancasila adalah suatu keharusan.
“Kita
mesti berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh
memberi metode, tetapi kita sendiri musti merumuskan keadaan” (Rendra, Sajak Sebatang Lisong).
KOMENTAR