Kupang. Ada dua kosakata penting yang akhir-akhir ini sangat sering disebut oleh pemerintah dan publik, baik yang beredar di media sosial maupun di media massa. Dua kosakata itu adalah Pancasila dan HAM.
Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo berulangkali di dalam berbagai kesempatan mengucapkan Pancasila dan HAM dalam waktu yang bersamaan.
Padahal, sangat jarang kosakata HAM disebut oleh Jokowi dalam pidato dan kebijakannya. Hal ini tentu menjadi fenomena menarik.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa bagi organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila, akan digebuk, istilah Jokowi untuk menindaknya secara tegas.
"Kalau kata jewer kurang tegas, maka yang cocok adalah gebuk dan tendang," ujar Jokowi dengan nada tinggi.
Lebih lanjut Jokowi menyampaikan, bahwa pemerintah menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pendapat/berekspresi dan berserikat/berkumpul. Akan tetapi jika bertentangan dengan Pancasila dan mengganggu kepentingan umum, akan ditindak.
Apakah ada yang kontradiktif antara Pancasila dan HAM, khususnya hak untuk menyatakan pendapat, berekspresi, dan berkumpul/berserikat?
Hal ini karena kedua kosakata ini akhir-akhir terkesan dibenturkan, bahwa seolah-olah HAM bertentangan dengan Pancasila. Apakah begitu?
Sejatinya, Pancasila dan HAM itu sejalan dan selaras. Klop, istilah lainnya. Cocok banget, kata anak muda sekarang.
Penerapan nilai-nilai dan prinsip HAM sangat sesuai dengan semangat Pancasila, pun sebaliknya. Jadi tidak ada yang patut dipertentangkan antara keduanya.
Prinsip universal HAM setidaknya mengandung beberapa pilar mendasar, yaitu non-diskriminasi, partisipasi, pemberdayaan, dan akuntabilitas. Kita akan urai satu per satu dibawah.
Non-diskriminasi
Prinsip universal HAM yang sangat mendasar yaitu non-diskriminasi. Maknanya, tidak boleh ada pembedaan terhadap siapapun atas dasar perbedaan suku, ras, etnis, agama, golongan, warna kulit dan sebagainya.
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang adalah setara dan oleh karenanya perlakuan yang berbeda yang berimplikasi pada diskriminasi tidak diperkenankan.
Di dalam Pancasila, prinsip ini tercermin di semua sila, dari sila pertama hingga ke lima. Di sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa," tercermin dari hak dan kebebasan setiap orang untuk beribadah menurut agama/keyakinannya.
Setiap orang sama kedudukannya dan mempunyai hak yang sama untuk beribadah menyembah Tuhannya.
Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," juga sarat dengan prinsip non-diskriminasi, yaitu bahwa setiap manusia adalah setara di hadapan sesamanya dan Tuhan.
Oleh karenanya, tidak boleh ada perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat/derajat antara manusia/kelompok dengan manusia/kelompok yang lain.
Demikian pula dengan sila ketiga "Persatuan Indonesia" yang kental muatannya dengan prinsip non-diskriminasi, bahwa persatuan hanya bisa dicapai dan dipelihara jika satu sama lain saling menghormati dan berlaku sama, sehingga tidak ada kelompok mayoritas dan minoritas, superior dan inferior.
Prinsip non-diskriminasi pada sila ke empat "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" tercermin dengan setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berperan serta di dalam pemerintahan, khususnya hak untuk dipilih dan memilih.
Lantas di sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," sebuah tatanan dan kondisi yang adil hanya bisa tercapai jika tidak ada diskriminasi atas setiap orang dalam mengakses hak atas keadilan yang sama, bagi seluruh rakyat Indonesia.
Partisipasi
Prinsip ini terkait erat dengan sila keempat Pancasila, khususnya hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam sebuah sistem dan mekanisme demokrasi, contohnya berpartisipasi untuk menyampaikan aspirasi dan ekspresinya melalui saluran-saluran di badan-badan perwakilan ataupun lembaga pemerintahan.
Intinya, tatatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara diatur dalam mekanisme yang menjunjung tinggi hak setiap orang untuk berpartisipasi yang disalurkan melalui mekanisme yang demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Pemberdayaan (empowerment)
Prinsip ini terkait erat dengan sila kedua dan sila kelima yaitu kemanusiaan dan keadilan. Prinsip pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah kondisi yang memungkinkan setiap orang khususnya kelompok marjinal, minoritas, dan rentan, diberdayakan hak-haknya sehingga mampu dan setara dalam menikmati haknya seperti warga lainnya.
Dengan berdaya, maka mereka akan mampu untuk membela hak-haknya sebagai manusia dan mendapatkan keadilan yang sama.
Frasa di sila kelima yaitu "bagi seluruh rakyat Indonesia" merupakan penegasan bahwa negara ini dibangun dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi setiap orang, bukan segolongan atau sekelompok orang.
Akuntabilitas
Prinsip ini melekat pada semua sila, bahwa setiap orang, terlebih mereka yang berkuasa di lembaga pemerintahan dan badan-badan publik termasuk non-negara, seperti organisasi kemasyarakatan, harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan/dikerjakan.
Prinsip ini menekankan bahwa kewenangan ataupun otoritas yang diberikan oleh rakyat kepada lembaga negara ataupun lembaga non-negara, harus mampu dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat.
Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan Pancasila.
Berdasarkan pada uraian di atas, Pancasila dan HAM mempunyai nilai, norma, dan spirit yang sama yaitu sebagai panduan dan koridor dalam mengelola dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak ada lagi tirani mayoritas atau minoritas, tidak ada persekusi atas dasar perbedaan keyakinan/pandangan, dan tidak ada klaim kebenaran atas dasar keyakinan secara sepihak.
Dengan penerapan Pancasila dan HAM secara konsisten dan berkesinambungan, maka tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana disebutkan di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjaga ketertiban dunia, akan bisa tercapai pada saatnya nanti.
Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni, semoga senantiasa terpatri dalam sanubari kita. Saya Indonesia, Saya Pancasila!
KOMENTAR