Kupang. Sebagai dasar negara, Pancasila sudah final meski belakangan sedang
ramai dibicarakan akibat maraknya isu khilafah. Namun, sebagai pedoman
hidup bagi warganegaranya, terutama kaum perempuan, apa relevansi serta
titik temu perempuan dan Pancasila?
Menengok sejarah, perempuan pernah ikut berkontribusi melahirkan Pancasila saat proses persiapan kemerdekaan. Raden Ayu Maria Ulfah Santoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo adalah dua tokoh perempuan yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Raden Ayu Maria Ulfa malah pernah ditunjuk sebagai Menteri Sosial. Dalam Kongres Perempuan Indonesia kali pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, perempuan juga dipandang ikut berpartisipasi mewujudkan kemerdekaan yang dilandasi cita-cita dan semangat persatuan dan kesatuan.
Di pemerintahan sekarang, dari 34 menteri, 8 di antaranya perempuan. Yakni Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri LHK Siti Nurbaya, Menko PMK Puan Maharani, Menkes Nila F Moeloek, Mensos Khofifah Indar Parawansa, Menteri PPPA Yohana Yembise, Menlu Retno LP Marsudi, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jumlah keterwakilan perempuan di Kabinet Kerja Jokowi-JK lebih banyak dibandingkan pada kabinet-kabinet sebelumnya. Ini menunjukkan perempuan makin dihargai dan memiliki kualifikasi kualitas yang tidak kalah dengan kaum pria. Ada capaian pengakuan bahwa perempuan punya peran tidak sekadar di dapur, sumur, dan kasur.
Doktrinasi Pancasila
Sejak 2003, berdasarkan Tap MPR No. I/MPR/2003, 36 butir pedoman pengamalan Pancasila telah diganti menjadi 45 butir Pancasila. Harus diakui kurikulum pendidikan serta program doktrinasi Pancasila sekarang berbeda dengan zaman SD di masa Orde Baru. Dulu, semua murid harus hafal 36 butir Pancasila dan setiap malam disuguhkan kebanggaan pada Garuda Pancasila lewat layar kaca.Sekarang, pelajar kita mengenal Pancasila lewat kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan kondisi itu, rasanya belum cukup sekolah mengenalkan dan member pemahaman Pancasila kepada anak-anak dan pelajar sejak dini. Maka, keluarga adalah lingkungan utama setelah sekolah yang berperan menanamkan Pancasila, pengertiannya, nilai-nilai yang dikandungnya, dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di keluarga, factor perempuan cukup penting dan strategis melakukan peran ini. Inilah salah satu relevansi serta titik temu perempuan dan Pancasila di era yang makin terbuka dan tanpa batas (borderless) seperti sekarang.
Mau tidak mau, perempuan harus kuat, mafhum, cerdas, dan kreatif mendoktrinkan Pancasila sesuai budaya lokal dan metode ajar ala keluarga. Saat ini, mengajarkan Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan kita kepada anak, sama pentingnya dengan belajar mengaji Alquran dan ilmu-ilmu agama. Pancasila bukan semata ilmu umum; Pancasila juga tergolong ilmu agama karena memuat kandungan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Hal-hal itu mutlak menjadi ajaran agama dan butuh kontekstualisasi contoh dalam praktek sehari-hari. Sekali lagi, perempuan (selain laki-laki) sangat penting untuk paham dan responsif dalam memainkan perannya.
Perempuan dan Sila Pancasila
Jika ditelusuri, lima sila Pancasila beserta butir-butirnya secara nyata menghargai keberadaan perempuan. Setiap sila tidak lepas membicarakan perempuan. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Butir-butirnya memuat tentang membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama, mengembangkan sikap hormat-menghormati, dan seterusnya. Nilai kerukunan dan saling menghormati tidak akan tercapai jika fungsi domestic dan eksternal perempuan tidak jalan. Jangankan antarumat beragama yang berbeda, antarumat agama yang sama, misalnya dalam Islam, soal model jilbab yang berbeda, cara berpakaian, cara beribadah, warna mukena, dan seterusnya, bias memicu ketidakharmonisan jika tidak mampu mengedepankan kerukunan dan saling menghormati.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Butirnya mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Rasa kemanusiaan jelas menolak segala macam kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan (trafficking), pencabulan, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan lain secarafisik, verbal, seksual, dan ekonomi.
Per 2017, Komnas Perempuan mencatat angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik/rumahtangga dengan kasus kekerasan fisik 42 persen (4.281 kasus), kekerasan seksual 34 persen (3.495 kasus), kekerasan psikis 14 persen (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10 persen (978 kasus). Angka ini bias jadi terus bertambah. Ini adalah PR kita semua sebagai bangsa Pancasilais. Perundang-undangan yang terkait erat dengan perempuan, seperti UU Penghapusan KDRT, UU Perkawinan, hingga perda yang bias gender, tentu harus sesuai dengan Pancasila.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Butirnya menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa dan Negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Maraknya isu pelibatan perempuan dalam kasus terorisme, terutama bom panci oleh Dian Novi tempo hari, juga menyadarkan kita betapa sosok perempuan sangat urgen dalam konteks persatuan. Apalagi, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak. Tentu makin berbahaya jika perempuan mengajarkan anak- anaknya dengan paham radikalisme dan fanatisme buta. Itu artinya memecah belah persatuan bangsa.
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Salah satu butirnya, memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan. Patut disyukuri Indonesia memiliki aturan kuota 30 persen perwakilan perempuan di parlemen. Meskipun, Pemilu Legislatif 2014 kemarin belum juga tercapai, karena hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amat jelas perempuan dan laki-laki harus mendapat manfaat keadilan dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll. Angka kematian ibu melahirkan, buta huruf, upah pekerja perempuan, dan seterusnya, menjadi cita-cita panjang dalam penerapan Pancasila. Di antara butir sila kelima, menekankan penghindaran atas pemborosan dan gaya hidup mewah. Keduanya sering kita amati juga karena pengaruh maupun factor perempuan.
Memperjuangkan sila-sila dan butir-butir Pancasila memang tidak mudah, butuh waktu, terus-menerus, dan harus saling mengingatkan. Namun, kita telah sepakat Pancasila adalah bentuk terbaik dasar kita berbangsa. Agar Pancasila tidak jatuh sekadar sila-sila tanpa makna dan minus pengamalan, maka kaum perempuan, dan kita semualah yang harus menjaga dan ikut mewujudkan keluhuran maupun kesaktiannya.
Menengok sejarah, perempuan pernah ikut berkontribusi melahirkan Pancasila saat proses persiapan kemerdekaan. Raden Ayu Maria Ulfah Santoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo adalah dua tokoh perempuan yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Raden Ayu Maria Ulfa malah pernah ditunjuk sebagai Menteri Sosial. Dalam Kongres Perempuan Indonesia kali pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, perempuan juga dipandang ikut berpartisipasi mewujudkan kemerdekaan yang dilandasi cita-cita dan semangat persatuan dan kesatuan.
Di pemerintahan sekarang, dari 34 menteri, 8 di antaranya perempuan. Yakni Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri LHK Siti Nurbaya, Menko PMK Puan Maharani, Menkes Nila F Moeloek, Mensos Khofifah Indar Parawansa, Menteri PPPA Yohana Yembise, Menlu Retno LP Marsudi, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jumlah keterwakilan perempuan di Kabinet Kerja Jokowi-JK lebih banyak dibandingkan pada kabinet-kabinet sebelumnya. Ini menunjukkan perempuan makin dihargai dan memiliki kualifikasi kualitas yang tidak kalah dengan kaum pria. Ada capaian pengakuan bahwa perempuan punya peran tidak sekadar di dapur, sumur, dan kasur.
Doktrinasi Pancasila
Sejak 2003, berdasarkan Tap MPR No. I/MPR/2003, 36 butir pedoman pengamalan Pancasila telah diganti menjadi 45 butir Pancasila. Harus diakui kurikulum pendidikan serta program doktrinasi Pancasila sekarang berbeda dengan zaman SD di masa Orde Baru. Dulu, semua murid harus hafal 36 butir Pancasila dan setiap malam disuguhkan kebanggaan pada Garuda Pancasila lewat layar kaca.Sekarang, pelajar kita mengenal Pancasila lewat kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan kondisi itu, rasanya belum cukup sekolah mengenalkan dan member pemahaman Pancasila kepada anak-anak dan pelajar sejak dini. Maka, keluarga adalah lingkungan utama setelah sekolah yang berperan menanamkan Pancasila, pengertiannya, nilai-nilai yang dikandungnya, dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di keluarga, factor perempuan cukup penting dan strategis melakukan peran ini. Inilah salah satu relevansi serta titik temu perempuan dan Pancasila di era yang makin terbuka dan tanpa batas (borderless) seperti sekarang.
Mau tidak mau, perempuan harus kuat, mafhum, cerdas, dan kreatif mendoktrinkan Pancasila sesuai budaya lokal dan metode ajar ala keluarga. Saat ini, mengajarkan Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan kita kepada anak, sama pentingnya dengan belajar mengaji Alquran dan ilmu-ilmu agama. Pancasila bukan semata ilmu umum; Pancasila juga tergolong ilmu agama karena memuat kandungan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Hal-hal itu mutlak menjadi ajaran agama dan butuh kontekstualisasi contoh dalam praktek sehari-hari. Sekali lagi, perempuan (selain laki-laki) sangat penting untuk paham dan responsif dalam memainkan perannya.
Perempuan dan Sila Pancasila
Jika ditelusuri, lima sila Pancasila beserta butir-butirnya secara nyata menghargai keberadaan perempuan. Setiap sila tidak lepas membicarakan perempuan. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Butir-butirnya memuat tentang membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama, mengembangkan sikap hormat-menghormati, dan seterusnya. Nilai kerukunan dan saling menghormati tidak akan tercapai jika fungsi domestic dan eksternal perempuan tidak jalan. Jangankan antarumat beragama yang berbeda, antarumat agama yang sama, misalnya dalam Islam, soal model jilbab yang berbeda, cara berpakaian, cara beribadah, warna mukena, dan seterusnya, bias memicu ketidakharmonisan jika tidak mampu mengedepankan kerukunan dan saling menghormati.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Butirnya mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Rasa kemanusiaan jelas menolak segala macam kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan (trafficking), pencabulan, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan lain secarafisik, verbal, seksual, dan ekonomi.
Per 2017, Komnas Perempuan mencatat angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik/rumahtangga dengan kasus kekerasan fisik 42 persen (4.281 kasus), kekerasan seksual 34 persen (3.495 kasus), kekerasan psikis 14 persen (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10 persen (978 kasus). Angka ini bias jadi terus bertambah. Ini adalah PR kita semua sebagai bangsa Pancasilais. Perundang-undangan yang terkait erat dengan perempuan, seperti UU Penghapusan KDRT, UU Perkawinan, hingga perda yang bias gender, tentu harus sesuai dengan Pancasila.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Butirnya menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa dan Negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Maraknya isu pelibatan perempuan dalam kasus terorisme, terutama bom panci oleh Dian Novi tempo hari, juga menyadarkan kita betapa sosok perempuan sangat urgen dalam konteks persatuan. Apalagi, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak. Tentu makin berbahaya jika perempuan mengajarkan anak- anaknya dengan paham radikalisme dan fanatisme buta. Itu artinya memecah belah persatuan bangsa.
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Salah satu butirnya, memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan. Patut disyukuri Indonesia memiliki aturan kuota 30 persen perwakilan perempuan di parlemen. Meskipun, Pemilu Legislatif 2014 kemarin belum juga tercapai, karena hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amat jelas perempuan dan laki-laki harus mendapat manfaat keadilan dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll. Angka kematian ibu melahirkan, buta huruf, upah pekerja perempuan, dan seterusnya, menjadi cita-cita panjang dalam penerapan Pancasila. Di antara butir sila kelima, menekankan penghindaran atas pemborosan dan gaya hidup mewah. Keduanya sering kita amati juga karena pengaruh maupun factor perempuan.
Memperjuangkan sila-sila dan butir-butir Pancasila memang tidak mudah, butuh waktu, terus-menerus, dan harus saling mengingatkan. Namun, kita telah sepakat Pancasila adalah bentuk terbaik dasar kita berbangsa. Agar Pancasila tidak jatuh sekadar sila-sila tanpa makna dan minus pengamalan, maka kaum perempuan, dan kita semualah yang harus menjaga dan ikut mewujudkan keluhuran maupun kesaktiannya.
KOMENTAR