wartantt.com -- OPINI,
Oleh : Hanief Al-Amiri )*
Oleh : Hanief Al-Amiri )*
Sudah sejak lama, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan damai. Masyarakat kita dikenal ramah dan terbuka terhadap siapa pun. Bahkan, berbagai budaya dan tradisi dari luar bisa berakulturasi secara harmonis dengan budaya dan tradisi lokal yang sudah mengakar di masyarakat. Di samping itu, bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, etnis, agama, ini juga mampu hidup rukun dan damai dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Namun, bangsa yang dikenal ramah dan damai ini sekarang mulai mendapatkan catatan. Sebab, belakangan masyarakat kita mulai gampang bertikai satu sama lain. Alih-alih bersatu dan hidup rukun, belakangan kita malah begitu mudah saling menuduh, mencaci, dan menyerang satu sama lain hanya karena perbedaan. Persaingan politik di kalangan elite yang menularkan pertikaian ke masyarakat luas, hingga penyebaran paham radikalisme-terorisme, menjadi beberapa faktor yang turut menciptakan ketegangan dan pertikaian di tengah masyarakat.
Hal tersebut terjadi di tengah kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi, di mana kabar dan berita menyebar dengan sangat cepat setiap hari dan siapa pun bisa melontarkan pendapat dan perasaan dengan mudah lewat media sosial. Sejak saat itu, di dunia maya kita begitu mudah melihat orang saling mencaci dan bertikai hanya karena perbedaan pandangan. Yang mengkhawatirkan, pertikaian di dunia maya tak jarang bisa merambah dan berpengaruh ke dunia nyata yang kemudian memunculkan sikap-sikap intoleran, bahkan kekerasan yang ditampilkan sebagian orang untuk menekan kelompok lain.
Sudah semestinya kita sama-sama bergerak untuk mengembalikan wajah ramah, harmonis, dan damai yang sempat terkikis beberapa waktu belakangan. Sudah waktunya kita membuat bangsa ini kembali menjadi bangsa yang damai tanpa pertikaian dan pertengkaran. Dalam upaya tersebut, kaum muda memiliki peran strategis untuk bisa bergerak menanamkan nilai-nilai yang bisa mengembalikan wajah ramah dan damai bangsa ini.
Di samping masih memiliki idealisme kebangsaan dan energi yang besar untuk berjuang, kaum muda juga memiliki ide-ide dan gagasan yang lebih segar untuk bisa dicurahkan guna membangun perdamaian di tengah masyarakat. Di satu sisi, kaum muda juga relatif tidak memiliki beban sejarah konfliktual. Tidak seperti generasi pertama dan kedua bangsa Indonesia yang kadang masih susah melepaskan diri dari peninggalan konflik dan gesekan politik yang pernah terjadi di masa lalu. Kaum muda yang lebih terbuka, maju, dan kreatif ini dapat digunakan dan dimobilisasi untuk membangun sebuah “Indonesia yang bersemangat baru dan berkemajuan”. Semangat baru generasi muda tersebut harus disalurkan untuk mengembalikan kehidupan yang rukun, aman, dan damai di tengah masyarakat.
Generasi muda, atau yang sekarang populer disebut generasi milenial memegang peran penting yang menentukan sejauh mana peradaban damai bisa tercipta di masyarakat. Hal ini tak sekadar karena potensi besar yang tersimpan dalam diri setiap muda, namun juga karena secara populasi atau jumlah, generasi muda sedang mendominasi.
Di tahun politik tahun 2019 ini misalnya, jumlah pemilih didominasi oleh generasi milenial. Generasi yang lahir dalam rentang tahun 1981-1999 ini akan berusia 20-38 tahun dan jumlahnya mencapai sekitar 86 juta jiwa. Dengan kata lain, 48% pemilih pada pemilu 2019 adalah generasi milenial. Ini jumlah yang sangat besar dan bisa memberi pengaruh signifikan terhadap atmosfer politik beberapa waktu ke depan. Apa yang hendak penulis ungkapkan adalah, generasi milenial yang mendominasi jumlah pemilih diharapkan bisa mengambil peran terdepan untuk bisa menciptakan suasana pemilu yang damai dan sejuk. Karena ini penting sebagai bekal membangun kembali keharmonisan dan kehidupan yang damai di tengah masyarakat. Anak muda harus bisa memberi contoh bagaimana memberi dukungan politik dengan cara yang santun dan beradab. Di zaman yang serba modern dan canggih ini, masyarakat dengan mudah dapat mengakses informasi, baik dari media berita online, media sosial dan media elektronik lainnya seperti televisi dan radio. Sedangkan media memiliki peranan yang sangat penting dalam menyampaikan informasi kepada publik karena ikut berdampak pada pola perilaku dan pemikiran masyarakat. Sementara masyarakat juga perlu mengetahui cara mengelola informasi dengan benar.
Mari kita sama-sama menyerukan kepada media untuk terus menyajikan pemberitaan berimbang dan memberi pendidikan politik kepada masyarakat pascapemilu serentak 17 April 2019 dan sidang putusan MK mengenai sengketa Pilpres. Hal ini merupakan kesempatan bagi media untuk membuka kembali peluang sebanyak mungkin ikut melakukan pendidikan politik. Pers nasional adalah bagian dari pilar keempat demokrasi yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan juga kontrol sosial. Para pekerja media (Pers) pun hendaknya tetap fokus meliput pada proses pemilu yang diselenggaran hingga penetapan capres-cawapres pemenang pemilu 2019, dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada 30 Juni 2019. Penetapan tersebut berdasarkan hasil rapat pleno yang digelar tiga hari pasca sidang putusan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Penetapan Presiden dan Wapres 2019 terpilih yang bersumber dari keputusan sidang sengketa Pilpres 2019 oleh MK menandai berakhirnya drama panjang Pemilu 2019.
Pilihan politik di masyarakat merupakan hal yang alami. Apapun perbedaan dan perselisihan yang muncul pada saat Pemilu, hendaknya segera disingkirkan, dan kembali merajut persatuan dan kesatuan. Sebagai warga negara Indonesia, dan bagian dari NKRI, semua lapisan dan elemen masyarakat seharusnya turut segera dalam menjaga tali persaudaraan dan kedamaian serta menolak dan mencegah terjadinya hal-hal yang mengarah kepada perpecahan bangsa. Media dan masyarakat perlu mewaspadai adanya upaya provokasi dari mereka yang menyebar berita hoaks. Sangat penting untuk menjaga dan memperbanyak konten positif dan berkualitas karena berhubungan dengan generasi muda bangsa.
)* Penulis adalah pegiat pustaka Institute
KOMENTAR