wartantt.com -- Meski sudah dibubarkan, HTI tidak lantas berhenti dalam menyebarkan paham atau ideologi yang mereka yakini di tengah-tengah masyarakat. Ada-ada saja langkah yang mereka tempuh untuk mempengaruhi dan “mengelabuhi masyarakat untuk mendirikan khilafah dan menolak Pancasila. Diakui atau tidak, saat ini tokoh eks-HTI masih berkeliaran di sana-sini; ada bergerak secara terang-terangan, ada pula yang diam-diam.
Beberapa waktu lalu, gerakan dan kajian eks-HTI kembali menjadi sorotan sebagian masyarakat. Bahkan sempat menggegerkan jagat media sosial. Penyebabnya adalah, sebagian masyarakat menolak keras rencana kajian tokoh eks-HTI, Felix Siaw.
Sebagaimana yang viral di media sosial bahwa, Pemprov DKI, dalam konteks ini Kopri Pemprov DKI, juga DKM Masjid Fatahillah Balai Kota DKI Jakarta, mengundang Muslimah HTI dan menjadikan Felix Siauw sebagai penceramah di kajian bulanan yang digelar di Masjid Fatahillah Balai Kota DKI Jakarta.
Sontak. Protes pun berjubel dari masyarakat, terutama warganet. Fenomena ini menyebabkan pamflet info rencana kajian felix siauw yang mulanya diupload di akun Masjid Fatahillah pada Selasa, 25/6, dihapus. Begitupun poster yang dipasang di papan informasi Masjid bersangkutan, juga sudah dicopot.
Meskipun sempat informasi di akun media sosial dihapus, poster di papan informasi dicopot dan mendapatkan protes dari Banser, kemudian mencuat kabar, sebagaimana keterangan dari Kepala Sekretariat Dewan Pengurus Korpri Provinsi DKI Jakarta Amiruddin, bahwa kajian Felix dibatalkan. Nyatanya, kajian Felix Siauw di Masjid Fatahillah Balai Kota tetap berjalan.
Harus jujur diakui bahwa, masih ada orang atau kelompok yang membela Felix Siauw dalam kasus ini. Mereka beralasan atau berlindung dibalik kebebasan dalam demokrasi. Dengan kata lain, kelompok ini menganggap bahwa semua warga negara berhak untuk menyampaikan pendapat dan lain sebagainya.
Ada pula yang berargumentasi bahwa, tidak baik menolak kajian dari ustadz atau yang sejenisnya. Perlu diketahui bersama bahwa, penolakan sebagaimana yang dilayangkan oleh Ansor dan Banser bukanlah menyangkut acara pengajian atau ceramah, melainkan menolak tokoh eks-HTI.
Langkah penolakan semacam ini memang harus diterapkan, terlebih saat ini pemerintah sedang berkomitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai arus utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, konsekuensinya adalah, pemerintah dan masyarakat Indonesia, wajib tegas menyikapi, bahkan menindak oknum-okmun atau kelompok yang anti atau menentang Pancasila.
Fenomena Felix Siauw diundang dan menjadi penceramah dalam kajian di Masjid Bali Kota DKI Jakarta menyadarkan kepada kita akan beberapa hal penting. Pertama, pengelola masjid, juga pejabat di lingkungan Pemprov DKI abai terhadap putusan hakim, yaitu menyatakan bahwa HTI adalah organisasi terlarang dan sudah dibubarkan.
Sebagaimana diketahui bahwa, jalan HTI untuk menegakkan khilafah di Indonesia terjanggal, jika tidak ingin dikatan kandas, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hal ini tak terlepas dari putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa perjuangan yang ditegakkan HTI bertentangan dengan asas demokrasi Pancasila. Dengan demikian, HTI dibubarkan sesuai Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sebagai bagian dari pemerintahan dan warga negara yang baik, pengelola masjid dan pejabat yang bersangkutan dalam peristiwa ini, sudah selayaknya menjunjung tinggi etika dan asa kepatuhan terhadap putusan hakim sebagai lembaga yang keputusannya memiliki nilai hukum yang wajib dipatuhi dan jalani oleh seluruh bangsa Indonesia.
Kedua, Pemprov DKI harus terlibat aktiv dalam menjaga marwah hukum dan negara dari anasir HTI. Sebagai organisasi yang terlarang dan sudah dibubarkan, sudah seharusnya eks-HTI tidak diberi ruang sedikitpun di depan publik. Kajian-kajian tokoh eks-HTI dan saat ini masih loyal terhadap organisasinya itu, maka, sekali lagi, jangan diberi ruang. Sekalipun yang disampaikan oleh tokoh eks-HTI tidak berbicara secara langsung mengenai kewajiban mendirikan khilafah, misalnya, bukan berarti lantas diberi ruang.
Berbicara tentang khilafah atau tidak, yang pasti, ketika eks-HTI dikasih ruang di depan publik, maka yang melekat padanya adalah ide mendirikan khilafah, meskipun tidak diungkapkan atau disinggung dalam kajian. Hal ini pula akan menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat bahwa pemerintah seolah menyambut hangat, bahkan “menggelar” karpet merah untuk pejuang khilafah.
Untuk itu, lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah, sudah harus menutup rapat terhadap organisasi yang telah dibubarkan. Keterlibahan aktiv dari pemerintah, terutama dalam hal ini Pemprov DKI, dalam menjada marwah hukum dan negara dari anasir HTI patut dilakukan. Jangan sampai kecolongan lagi!
Ketiga, kita juga belajar bahwa aparat, harus tegas dalam menyikapi peristiwa seperti yang terjadi pada Pemprov DKI ini. Terlebih pada ormas yang jelas-jelas hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain, sikap tegas aparat menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.
Teruntuk aparat: berbuat dan tegaslah terhadap ormas yang anti-Pancasila, sebelum negeri ini hancur tinggal jadi cerita saja. Dan ormas atau yang demikian itu, jangan kasih ruang, titik!
KOMENTAR