WartaNTT.com, Sumba Tengah – DPRD Sumba Tengah memastikan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) persoalan penolakan 350 bidang sertifikat Prona tahun 2015 oleh warga desa Watu Asa, Kecamatan Mamboro yang digelar Jumat lalu (23/09/2022) segera ditindaklanjuti antara legislatif bersama eksekutif.
Hal tersebut disampaikan ketua DPRD Sumba Tengah, Drs.
Tagela Ibisona, saat dikonfirmasi WartaNTT, Kamis (29/9) di ruang kerjanya.
“Terkait dengan rapat
dengar pendapat bersama perwakilan masyarakat desa Watu Asa, itu diawali dengan
adanya surat masuk dari masyarakat tertanggal 6 September 2022 yang meminta
dukungan lembaga DPRD” ujar Tagela Ibisona.
“Sebagai wakil rakyat yang menjalankan tugas dan fungsi
DPRD, saya sudah perintahkan tim dalam hal ini Komisi 3 untuk turun dan
berkomunikasi dengan masyarakat Watu Asa saat itu”.
Dilanjutkannya “Kemudian 21 September 2022 ada lagi surat
yang kami terima dari masyarakat desa Watu Asa, sehingga saya perintahkan
Komisi 3 agar mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan pihak terkait untuk digelar
RDP disini” ujarnya.
Sebelum menjelaskan laporan hasil RDP, ketua DPRD juga
beri apresiasi kepada ATR/BPN yang sudah mengindahkan undangan menghadiri rapat
dengar pendapat persoalan penolakan penerbitan 350 bidang sertifikat di Watu
Asa.
“Saya juga berterima kasih kepada kepala ATR/BPN Sumba
Tengah yang juga turut hadir dalam rapat dengar pendapat saat itu”.
“Adapun hasil-hasil dari rapat dengar pendapat yang
dilakukan setelah semua pihak baik masyarakat, ATR/BPN dan anggota DPRD
diberikan kesempatan bicara, ada beberapa hal yang menjadi resume mengapa
terjadi hal seperti itu (penolakan penerbitan sertifikat) di desa Watu Asa”.
“Yang pertama, kurang transparansi antara pemerintah,
tokoh masyarakat, dan kaitannya dengan urusan di ATR/BPN. Dianggap kurangnya
sosialisasi, jadi ketika tanah itu merupakan tanah Kabisu seharusnya semua
warga Kabisu itu harus dikumpulkan untuk musyawarah bersama”.
“Saat RDP, mereka (perwakilan masyarakat) merasa kok kita
yang warga Kabisu tidak tahu, justru orang lain yang bukan warga kabisu
mengetahui bahkan memiliki sertifikat lebih dari 1 buah”.
“Jadi kurangnya komunikasi dan informasi ini yang kami istilahkan
dengan kurangnya transparansi” ungkapnya.
“Kemudian, kelengkapan administrasi dari pelaksanaan
kegiatan sertifikasi tanah tersebut belum begitu sempurna. Atas dasar ini
sehingga masyarakat protes dan beranggapan adanya mafia dibalik semua proses
yang mereka anggap tidak sesuai prosedur”.
“Memang masalah ini sudah diangkat sejak tahun 2015
dimasa kepala ATR/BPN yang lama. Menurut penjelasan kepala ATR/BPN yang
sekarang menjabat waktu RDP, dari 350 bidang sertifikat, sudah 200an sertifikat
yang telah terbit dan sudah diserahkan, sedangkan sisanya saat ini masih berada
di kantor pertanahan (ATR/BPN)”.
Dilanjutkannya lagi “Kemudian dalam perjalanannya di awal
tahun 2022 menyatakan akan ada upaya mediasi yang menjadi kesepakatan bersama
antara Pertanahan, Kecamatan, Desa dan masyarakat. Namun upaya ini tidak
berlangsung sehingga masyarakat merasa kok upaya mediasi tidak berjalan namun
proses ini berjalan terus. Ini yang menjadi pertanyaan masyarakat saat RDP”.
Menurutnya laporan hasil rapat dengar pendapat akan
segera ditindaklanjuti.
“Tentu hal ini akan menjadi bahan bagi lembaga ini untuk
kedepannya melakukan koordinasi dan rapat dengar pendapat bersama pemerintah
sehingga ada langkah yang dilakukan atas persoalan di desa Watu Asa”.
“Beberapa hal ini yang menjadi catatan komisi 3 saat
melakukan RDP tanggal 23 September lalu” tambahnya.
Menjawab WartaNTT, Tagela Ibisona yang juga merupakan kader NasDem sampaikan saat ini
sesuai jadwal banmus masa sidang 3 masih dalam agenda pembahasan APBD Perubahan
2022.
“Setelah penetapan
APBD Perubahan 2022 baru kami dapat agendakan kapan baru digelar rapat dengar
pendapat bersama pemerintah”.
Ketua DPRD Sumba Tengah juga menghimbau warga desa Watu
Asa untuk bersabar dan tidak berbuat anarkis dalam menyikapi persoalan yang
sedang berproses.
“Segala sesuatu yang terjadi khususnya terkait dengan
persoalan di Watu Asa, kami himbau agar masyarakat bersabar dan tidak boleh
menyelesaikan masalah dengan emosi apalagi bertindak anarkis, karena itu bukan
budaya dari kita orang Sumba Tengah”.
“Budaya kita sangat menghargai harkat dan martabat
kekeluargaan. Memang sampai dengan saat ini masyarakat Watu Asa sedang menunggu
langkah-langkah apa yang akan dilakukan pemerintah dan DPRD”.
“Karena mereka sudah datang ke lembaga DPRD, sehingga
harapan kami agar dalam penyelesaian masalah ini yang mungkin bisa kita
selesaikan secara kekeluargaan tidak menjadi buyar dan beralih kepada masalah
pidana akibat perbuatan anarkis. Kami sudah menghimbau hal ini dan merekapun
menerima itu” ujar Ibisona. (Rcd)
KOMENTAR