Bersih-bersih Masjid Istiqlal, Konkretnya Toleransi

Jakarta, belum lagi lama berselang. Para anak muda memanjati dinding-dinding Masjid Istiqlal. Lengkap dengan helm dan peralatan lain mereka meniti tali vertikal. Ada pula yang berdiri di tiang-tiang untuk menggapai sudut sulit di dinding paling atas. Tugas mereka hanya satu, membuat Masjid Istiqlal tampak cantik ketika hari ulang tahunnya ke 39. Kegiatan bersih-bersih yang kemudian dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

Didominasi relawan dari komunitas pecinta alam, organisasi profesi dan ormas, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 11-21 Februari 2017, selesai tepat sehari sebelum Milad Masjid Istiqlal. Bahkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan bahwa dia bersyukur relawan tidak hanya datang dari organisasi pecinta alam, organisasi profesi dan ormas, relawan juga datang dari organisasi keagamaan Kristiani, Hindu, Budha dan Konghuchu (sumber: disini).

Lalu pertanyaannya, kemana massa Islam yang katanya pernah memadati Monas sebanyak tujuh juta orang itu? Kok mereka tidak hadir disini? Jelas-jelas kegiatan ini adalah Bela Islam. Setidaknya bangunan yang digunakan umat Islam beribadah. Para relawan tidak disuguhi Sari Roti, tidak berjalan kaki dari Jawa Barat, tidak pakai daster, apalagi celana cingkarang untuk ikut membersihkan ikon umat Islam di Jakarta. Tidak ada syarat harus berjenggot dan memakai sorban untuk menjadi relawan. Doa dilakukan oleh para relawan menurut agamanya masing-masing sebelum dan sesudah kegiatan bersih-bersih. Tidak perlu teriak ‘take beer’ untuk menunjukkan Islam yang telah membersihkan Istiqlal.

Tidak terlihat pula ada yang memakai kaus gambar salib atau bernyanyi haleluyah supaya eksis sebagai Kristiani yang ikut membersihkan Istiqlal. Tidak pula terlihat relawan pakai jubah biku sambil ngomong amitaba atau atribut keagamaan lain. Mereka sudah tidak perlu itu. Mereka sudah melampaui itu semua. Mereka hanya ingin berbagi, Berbagi kemampuan mereka memanjat tebing, berbagi waktu dengan kenalan baru, berbagi cerita di sela makan siang untuk bersama membersihkan Masjid Istiqlal. Mungkin inilah yang disebut zuhud, mencari dunia tanpa terikat dengannya. Mencari kenalan baru dan berbagi bersama.

Saya membayangkan mereka tidak menanyakan agamamu apa kepada teman yang memasangkan peralatan keamanan. Bahkan terlintas di pikiran mereka pun saya yakin tidak untuk menanyakan hal itu.

Di sela-sela hiruk pikuknya Jakarta dengan anti China, Presiden Kodok, Kafir, Islam harus coblos titiktitik, penolakan mengurus jenazah, bumi bulat vs bumi datar, eh ada lho segelintir manusia yang memberikan contoh kesederhanaan hidup di dunia. Mencari banyak teman dan berbagi. Dan kegiatan ini sangat jauh dari kesan politik. Tidak ada fanatisme berlebihan di antara relawan-relawan. Ah, indahnya.

Memandang semua manusia itu sama dan memiliki potensi positif, itu yang ingin dicontohkan oleh bersih-bersih Istiqlal ini melalui peran para relawan. Mengutip Kang Dedi Mulyadi, “Toleransi itu harus diperjuangkan, bukan hanya diucapkan.”

Dapat berapa? Hanya nasi bungkus.

Dapat apa? Pengalaman berbagi dan teman baru.