WartaNTT.com, Sabu
Raijua – Pasca vakumnya aktifitas
pengumpulan batu mangan di wilayah Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua,
akibat ditolak oleh warga bersama aktivis serta pemerhati lingkungan di Tahun
2018 silam, kini perlahan mulai terdengar lagi .
Informasi yang diterima WartaNTT, Rabu siang (7/5/2025) salah satu
Perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian mangan asal
Gresik-Jawa Timur, telah mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Desa
Waduwalla, Kecamatan Sabu Liae berkaitan dengan rencana pembentukan koperasi
penambangan mangan.
Kepada WartaNTT (7/5), Kepala Desa Waduwalla, Mone Nara,
membenarkan telah menerima surat perihal tersebut.
"Memang kemarin (6/5) ada surat yang masuk dari salah satu
Perusahaan terkait rencana pembentukan Koperasi untuk pengolahan mangan di
wilayah Liae (Kecamatan Sabu Liae, red)".
"Selaku Kepala Desa di Waduwalla, tentu saya tidak bisa ambil
keputusan sendiri. Saya harus berkoordinasi dengan pemerintah tingkat atas,
dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat, mengingat tanah-tanah yang ada di
wilayah Liae ini adalah tanah-tanah suku" ungkap Mone Nara, Kades
Waduwalla.
"Kami tidak berani ambil langkah sendiri-sendiri. Karena
suratnya baru diterima kemarin" terangnya.
Menjawab WartaNTT perihal waktu pelaksanaan sosialisasi yang akan
dilakukan, Kades sampaikan terlebih dahulu akan berkoordinasi dengan pihak
terkait di wilayahnya.
"Untuk waktu yang ditentukan dari mereka (Perusahaan) tidak
ada, namun saya minta waktu ke mereka karena masih harus berkoordinasi dengan
pihak-pihak terkait di Desa".
"Saya juga tidak mengetahui apakah surat ini juga disampaikan
oleh Perusahaan kepada Pemerintah Kabupaten atau ke Kecamatan Sabu Liae".
Menurut Mone Nara, Desa Waduwalla termasuk wilayah di Kecamatan
Sabu Liae yang punya potensi mangan. Meski demikian belum ada keputusan bersama
dengan warga terkait pengaktifan kembali kegiatan penambangan mangan.
"Tahun 2018 yang lalu, mayoritas warga disini juga menolak
kegiatan penambangan mangan" ujarnya.
Sementara itu, Laurens Abiakto Ratu Wewo, tokoh masyarakat
di wilayah Desa Waduwalla yang juga merupakan pegiat lingkungan penolak
aktivitas tambang mangan di wilayah Kecamatan Sabu Liae tahun 2018 lalu, juga
menyampaikan ketegasan sikapnya tetap menolak jika aktivitas ini kembali
terjadi.
“Sebagai
tokoh masyarakat dan anak asli Kecamatan Sabu Liae, saya menolak rencana
pengaktifan kembali tambang mangan di wilayah ini dalam berbagai bentuk apapun”
ungkapnya kepada WartaNTT (7/5).
“Sikap
saya tetap dan tidak berubah seperti Tahun 2018 lalu. Alasan penolakannya
karena pertama, menyebabkan kerusakan lingkungan. Karena masyarakat tentu akan
menggali semua tempat di permukaan tanah”.
“Kemudian,
saya melihat ini sebagai jebakan awal bagi masyarakat untuk pembentukan
koperasi. Bisa jadi mereka suntik dana dalam jumlah besar untuk bentuk
koperasi. Dimana batu yang dikumpulkan masyarakat langsung dibayarkan”.
Dia
melanjutkan “Hal ini tentu merangsang masyarakat untuk semangat menggali dan
mengumpulkan, karena langsung mendapatkan upahnya. Namun ketika warga sudah
bergantung pada pekerjaan ini, maka Perusahaan berpeluang memperbaharui izin
usahanya untuk skala tambang lebih besar lagi”.
“Oleh
karena itu sejak dini saya bersama rekan-rekan pegiat lingkungan yang pernah
beraksi di Tahun 2018 lalu, kami akan mengambil sikap untuk menolak kegiatan
ini” ujar Laurens.
“Selain
itu surat Pemkab Sabu Raijua tahun sebelumnya kepada Pemprov NTT yang meminta
dihentikan segala bentuk izin usaha pertambangan di wilayah Sabu Raijua, hingga
hari ini masih berlaku dan belum dicabut. Sehingga segala bentuk aktivitas
pertambangan di Sabu seharusnya tidak boleh ada” terangnya.
Laurens
Abiakto juga berpesan pemerintah Sabu Raijua agar cermat, berhati-hati dan
melihat dampak lingkungan dan dampak sosial dari rencana kembali beroperasinya
aktivitas penggalian mangan di wilayah Liae.
“Pesan
saya kepada Pemerintah untuk lebih berhati-hati, lebih teliti dalam menerima
permohonan-permohonan seperti itu”.
“Harus
betul-betul melihat secara jeli dampak lingkungan dan dampak sosial apabila
aktivitas ini berjalan”.
“Dampak
lingkungannya sebagaimana saya jelaskan, nanti tidak terkontrol karena ini
tambang rakyat. Kemudian dampak sosialnya karena status tanah disini merupakan
tanah suku sehingga tentu nanti terpolarisasi antara yang mendukung dan tidak
mendukung sehingga berpotensi terjadinya konflik sosial yang tinggi”.
“Ketika
nantinya pemerintah memfasilitasi dan melegalisasi hal ini, maka sebagai tokoh
masyarakat dan juga sebagai DPRD, kami akan berdiri paling depan untuk menolak.
Itu pasti” tegas Laurens. (DeW)
KOMENTAR