Bergulirnya era globalisasi merupakan faktor penyebab kaburnya
batasan antar negara, “Dunia tanpa batas baik ruang, tempat dan waktu
hingga kaburnya batas otoritas wilayah suatu negara. Pasca perang dingin
yang dimenangkan blok barat Amerika dan sekutunya menjadi negara super power
yang mampu mengintervensi negara lain pada awalnya dengan menggunakan
empat isu yakni Demokratisasi, lingkungan hidup, HAM dan terorisme dan
dalam perkembangannya ditekankan pada tiga isu strategis dan “lebih
seksi” yaitu pangan, air bersih dan energi. Dalam menanamkan pengaruhnya
di negara berkembang, negara adidaya menggunakan proxy war dan asimetris dengan memanfaatkan pihak ketiga.
Kondisi Indonesia saat ini sedang diuji. Pada masa Orba, penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara represif menggunakan UU Subversi, namun saat ini setelah UU Subversi dicabut, maka penegakan hukum harus didasarkan pada proses hukum dan perundangan yang masih berlaku. Dengan terkendalanya penegakan hukum, maka faham-faham yang masuk melalui globalisasi sangat mudah berkembang, termasuk terorisme.
Terorisme dan radikalisme semakin mudah masuk ke semua negara termasuk Indonesia, akibat kemajuan medsos yang tidak terbendung, namun disisi yang lain kedewasaan dalam menggunakan medsos secara bijaksana belum tersublimasi dalam masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang menjadi sasaran “proxy-war” di era “an information edge” sekarang ini.
Pemetaan Internet dan Medsos
Masih mengacu ke hasil survei INFID dan Jaringan Gus Durian Indonesia, dari hasil pemetaan internet dan media sosial, secara khusus dilakukan untuk mengetahui narasi utama ekstrimisme, memahami pesan-pesan kunci ekstrimisme, dan mengetahui pola penyebaran pesan ekstrimisme. Penelitian dilakukan pada periode 26 Oktober-26 November 2016. Pemetaan dilakukan dengan mengamati situs media online, media sosial (twitter, Instagram, dan facebook), aplikasi pesan pribadi (whatsapp dan telegram) serta youtube.
Mengikuti platform media sosial yang beragam, cara pengambilan data disesuaikan dengan karakteristik masing-masing platform. Pada platform media sosial seperti Instagram, facebook, dan twitter proses pengambilan data dilakukan dengan bantuan alat pencari (peranti lunak) yang didesain khusus untuk pemetaan ini. Dengan menggunakan kerangka dari ICCT (The International Centre for Counter-Terrorism), ditetapkan beberapa kata kunci dari asesmen manual di tahap awal. Beberapa kata kunci yang paling sering muncul adalah kafir, sesat, Framing analysis untuk mendapatkan narasi utama dan pesan-pesan kunci.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan kunci yang beredar di berbagai platform media sosial dan website membawa narasi utama yang sama, yaitu bahwa umat Islam selama ini diperlakukan tidak adil serta mendapatkan ancaman dan serangan dari pihak luar. Sebagai respons terhadap situasi tersebut, seruan jalan keluarnya adalah kembali menegakkan atau menjalani hukum Islam secara utuh dari level individu hingga negara dan melakukan perlawanan terhadap kelompok yang dianggap mengancam tersebut. Pijakan motivasionalnya adalah bahwa hal-hal yang harus dilakukan tersebut merupakan perintah atau kewajiban agama yang tidak boleh dibantah. Narasi utama ini diturunkan dalam beberapa pesan kunci, seperti tolak demokrasi, penyesatan dan pengkafiran, dan lain-lain.
Kecenderungan lain yang tertangkap dari sebaran pesan-pesan kunci adalah menguatnya pendekatan tafsir tunggal atas Islam. Semisal mengenai penampilan yang dilabel Islami, atau tafsir atas ayat-ayat Kitab Suci. Ini bertolak belakang dengan kearifan para pemimpin umat Islam di Indonesia yang pada umumnya menghormati perbedaan mahzab dan pendapat.
Meskipun semakin menguat di media sosial dan platform social networking, pesan-pesan ekstrimisme ini belum menguasai pandangan arus utama publik Indonesia. Hal ini selaras dengan temuan survei persepsi orang muda tentang tindakan radikal. Dengan mengetahui narasi utama dan pesan-pesan kunci ekstrimisme, serta menyelaraskannya dengam modal sosial kita yaitu kepercayaan anak muda terhadap Pancasila dan semangat kebangsaan, kita dapat menentukan langkah-langkah menahan lajunya gelombang radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia.
Nilai-nilai Kebhinekaan masih menjadi faktor utama
Menurut Beka Ulung Hapsara, Manajer Advokasi INFID, Indonesia masih bisa optimis dengan sikap generasi muda yang ada karena mayoritas anak muda tidak menyukai tindakan radikal dan ekstrim berbasis agama meski ada kecenderungan penurunan toleransi di kalangan anak muda. Di sisi yang lain, nilai-nilai kebhinekaan masih menjadi faktor utama yang membuat anak muda bangga akan Indonesia dan pemersatu generasi muda. Disamping itu, bagaimana para ulama mentransferkan ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas secara benar, bijaksana dan menekankan kepada ajaran agama Islam yang substansialis kepada generasi muda kita.
Hal ini penting sebab dalam perspektif agama, terdapat dua pola Islam memandang agama yakni, pertama dengan cara strukturalis artinya mengedepankan simbol-simbol formal seperti syariat Islam dan negara Islam, sehingga dinyatakan bahwa perlu pendirian negara Islam terlebih dahulu. Cara pandang kedua yakni substansialis artinya memandang substansi dengan memahami bahwa menjalankan syariat Islam tidak harus dengan adanya negara Islam.
Ulama di Indonesia umumnya memandang Islam dengan substansialis, namun dengan adanya arus globalisasi, muncul faham-faham dari kelompok puritan yang menyebabkan agama terdistorsi, sehingga timbul kelompok yang sering mengkafirkan kelompok lainnya, sikap intoleran hingga munculnya kelompok teror.
Sekali lagi, para pemangku kepentingan dan para pembuat kebijakan di Indonesia harus segera membuat “grand scenario and story strategy” menghadapi serbuan ajakan bergabung kelompok teror yang tersebar di berbagai medsos. Salah satu cara membuat grand scenario and story strategy di Medsos yang bagus dan efektif adalah mempelajari berbagai hasil survei, mengajak diskusi berbagai komunitas netizen dan pakar di bidang komunikasi sosial dan komunikasi massa. Hanya dengan pelibatan mereka yang profesional dan memiliki jejaring kerja yang luas, maka langkah kita mencegah anak muda bangsa bertindak radikal akan tereliminasikan.
Kondisi Indonesia saat ini sedang diuji. Pada masa Orba, penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara represif menggunakan UU Subversi, namun saat ini setelah UU Subversi dicabut, maka penegakan hukum harus didasarkan pada proses hukum dan perundangan yang masih berlaku. Dengan terkendalanya penegakan hukum, maka faham-faham yang masuk melalui globalisasi sangat mudah berkembang, termasuk terorisme.
Terorisme dan radikalisme semakin mudah masuk ke semua negara termasuk Indonesia, akibat kemajuan medsos yang tidak terbendung, namun disisi yang lain kedewasaan dalam menggunakan medsos secara bijaksana belum tersublimasi dalam masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang menjadi sasaran “proxy-war” di era “an information edge” sekarang ini.
Pemetaan Internet dan Medsos
Masih mengacu ke hasil survei INFID dan Jaringan Gus Durian Indonesia, dari hasil pemetaan internet dan media sosial, secara khusus dilakukan untuk mengetahui narasi utama ekstrimisme, memahami pesan-pesan kunci ekstrimisme, dan mengetahui pola penyebaran pesan ekstrimisme. Penelitian dilakukan pada periode 26 Oktober-26 November 2016. Pemetaan dilakukan dengan mengamati situs media online, media sosial (twitter, Instagram, dan facebook), aplikasi pesan pribadi (whatsapp dan telegram) serta youtube.
Mengikuti platform media sosial yang beragam, cara pengambilan data disesuaikan dengan karakteristik masing-masing platform. Pada platform media sosial seperti Instagram, facebook, dan twitter proses pengambilan data dilakukan dengan bantuan alat pencari (peranti lunak) yang didesain khusus untuk pemetaan ini. Dengan menggunakan kerangka dari ICCT (The International Centre for Counter-Terrorism), ditetapkan beberapa kata kunci dari asesmen manual di tahap awal. Beberapa kata kunci yang paling sering muncul adalah kafir, sesat, Framing analysis untuk mendapatkan narasi utama dan pesan-pesan kunci.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan kunci yang beredar di berbagai platform media sosial dan website membawa narasi utama yang sama, yaitu bahwa umat Islam selama ini diperlakukan tidak adil serta mendapatkan ancaman dan serangan dari pihak luar. Sebagai respons terhadap situasi tersebut, seruan jalan keluarnya adalah kembali menegakkan atau menjalani hukum Islam secara utuh dari level individu hingga negara dan melakukan perlawanan terhadap kelompok yang dianggap mengancam tersebut. Pijakan motivasionalnya adalah bahwa hal-hal yang harus dilakukan tersebut merupakan perintah atau kewajiban agama yang tidak boleh dibantah. Narasi utama ini diturunkan dalam beberapa pesan kunci, seperti tolak demokrasi, penyesatan dan pengkafiran, dan lain-lain.
Kecenderungan lain yang tertangkap dari sebaran pesan-pesan kunci adalah menguatnya pendekatan tafsir tunggal atas Islam. Semisal mengenai penampilan yang dilabel Islami, atau tafsir atas ayat-ayat Kitab Suci. Ini bertolak belakang dengan kearifan para pemimpin umat Islam di Indonesia yang pada umumnya menghormati perbedaan mahzab dan pendapat.
Meskipun semakin menguat di media sosial dan platform social networking, pesan-pesan ekstrimisme ini belum menguasai pandangan arus utama publik Indonesia. Hal ini selaras dengan temuan survei persepsi orang muda tentang tindakan radikal. Dengan mengetahui narasi utama dan pesan-pesan kunci ekstrimisme, serta menyelaraskannya dengam modal sosial kita yaitu kepercayaan anak muda terhadap Pancasila dan semangat kebangsaan, kita dapat menentukan langkah-langkah menahan lajunya gelombang radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia.
Nilai-nilai Kebhinekaan masih menjadi faktor utama
Menurut Beka Ulung Hapsara, Manajer Advokasi INFID, Indonesia masih bisa optimis dengan sikap generasi muda yang ada karena mayoritas anak muda tidak menyukai tindakan radikal dan ekstrim berbasis agama meski ada kecenderungan penurunan toleransi di kalangan anak muda. Di sisi yang lain, nilai-nilai kebhinekaan masih menjadi faktor utama yang membuat anak muda bangga akan Indonesia dan pemersatu generasi muda. Disamping itu, bagaimana para ulama mentransferkan ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas secara benar, bijaksana dan menekankan kepada ajaran agama Islam yang substansialis kepada generasi muda kita.
Hal ini penting sebab dalam perspektif agama, terdapat dua pola Islam memandang agama yakni, pertama dengan cara strukturalis artinya mengedepankan simbol-simbol formal seperti syariat Islam dan negara Islam, sehingga dinyatakan bahwa perlu pendirian negara Islam terlebih dahulu. Cara pandang kedua yakni substansialis artinya memandang substansi dengan memahami bahwa menjalankan syariat Islam tidak harus dengan adanya negara Islam.
Ulama di Indonesia umumnya memandang Islam dengan substansialis, namun dengan adanya arus globalisasi, muncul faham-faham dari kelompok puritan yang menyebabkan agama terdistorsi, sehingga timbul kelompok yang sering mengkafirkan kelompok lainnya, sikap intoleran hingga munculnya kelompok teror.
Sekali lagi, para pemangku kepentingan dan para pembuat kebijakan di Indonesia harus segera membuat “grand scenario and story strategy” menghadapi serbuan ajakan bergabung kelompok teror yang tersebar di berbagai medsos. Salah satu cara membuat grand scenario and story strategy di Medsos yang bagus dan efektif adalah mempelajari berbagai hasil survei, mengajak diskusi berbagai komunitas netizen dan pakar di bidang komunikasi sosial dan komunikasi massa. Hanya dengan pelibatan mereka yang profesional dan memiliki jejaring kerja yang luas, maka langkah kita mencegah anak muda bangsa bertindak radikal akan tereliminasikan.
KOMENTAR