Jember - Pernyataan Presiden Jokowi tentang praktik demokrasi yang kebablasan tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah. Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar MPR di Jember.
"Praktik demokrasi di daerah masih belum sepenuhnya dilandasi nilai-nilai untuk mengarahkan praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah yang stabil demi tercapainya tujuan pembangunan yang digariskan oleh Presiden, Gubernur maupun Bupati/Wali Kota," kata Bupati Jember, Faida.
Hal itu disampaikan saat memberikan sambutan dalam FGD dengan topik Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensiil yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember kerjasama dengan Badan Pengkajian MPR di Jember pada Kamis (23/2/2017). Hadir dalam FGD ini anggota Badan Pengkajian MPR M Sarmudji dari Fraksi Partai Golkar, Anna Muawannah dari Fraksi PKB dan Djoni Rolindrawan dari Fraksi Partai Hanura.
"Hal ini dikarenakan lembaga perwakilan di daerah yaitu DPRD seringkali menganggap dirinya adalah legislatif murni seperti halnya DPR RI sehingga terkesan bertindak bukan sebagai mitra kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah melainkan seperti parlemen dalam sistem parlementer yang seperti menunggu kepala daerah untuk melakukan kesalahan atau malah mencari-cari kesalahan, kemudian menjatuhkan mosi tidak percaya dan menjatuhkannya," sambung Faida.
Padahal, menurut Faida, dalam sistem design otonomi daerah sebagaimana diatur UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan DPRD adalah sebagai lembaga eksekutif daerah yang seharusnya bekerjasama dalam mengamankan dan melaksanakan program pembangunan strategis pemerintahan pusat maupun program pembangunan daerah.
"Namun sayangnya jika kepala daerah bukan berasal dari partai politik atau jikapun berasal dari partai politik namun tidak menguasai mayoritas kursi di DPRD, maka dipastikan program-program pembangunan sulit dilaksanakan," tutur Faida.
Faida menceritakan dirinya yang saat maju sebagai bupati bukan anggota partai politik melainkan dokter di sebuah RS. Saat menjalankan pemerintahan daerah tidak bisa tidak harus menjalin komunikasi dengan partai-partai politik di DPRD baik itu partai politik yang mendukungnya saat maju Pilkada maupun yang tidak mendukungnya. Permasalahannya kemudian adalah banyak hambatan dalam komunikasi itu terutama anggapan kepala daerah kedudukannya ada di bawah DPRD.
"Sehingga kemudian kebebasan kepala daerah dalam menjalankan program pembangunan yang dijanjikan selama kampanye menjadi tidak dimiliki," ucap Faida.
Senada dengan Faida, menurut Direktur Puskapsi Bayu Dwi Anggono fenomena demokrasi di banyak daerah menunjukkan bahwa banyak politisi di daerah yang berpikir 'setiap hari adalah Pilkada'. Maksudnya yaitu pasca Pilkada banyak politisi yang belum bisa menerima fakta bahwa calon yang diusungnya kalah, sehingga kemudian langsung berpikir bagaimana Pilkada selanjutnya.
"Oleh karena itu seluruh energi akhirnya dicurahkan untuk menghambat program pembangunan kepala daerah yang sedang memimpin dengan harapan pada periode berikutnya kepala daerah tersebut tidak terpilih kembali. Pada titik inilah saya setuju bahwa demokrasi kita memang keblabasan," ujar Bayu.
Untuk itu, menurut Bayu, perlu dipikirkan ulang mengenai design hubungan antara kepala daerah dan DPRD agar kejadian-kejadian di banyak daerah -- dimana DPRD menjegal program-program populis kepala daerah yang membawa manfaat bagi rakyat-- tidak semakin sering terjadi.
"Jika kondisi ini terus dibiarkan maka apa yang dikhawatirkan Presiden akan terbukti yaitu demokrasi tanpa kontrol yang lebih kental huru hara nya dibandingkan manfaatnya secara langsung bagi rakyat," pungkas Bayu.(detikcom)
KOMENTAR