
Oleh Nur Faizin Darain
Sikap
intoleran, kekerasan warga, dan radikalisme adalah tiga mata rantai
yang acap menghantui kesatuan kita sebagai bangsa. Tidak adanya sikap
saling menghormati antarindividu dan kelompok semakin memicu sikap
apatis. Indikasi tersebut semakin diperunyam munculnya beberapa kelompok
yang membawa ajaran khilafah pada bangunan Indonesia yang sudah matang.
Paham
ekstrim kanan atau ekstrim kiri yang mulai merebak di negeri ini
semakin berdampak sistemik pada perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Beberapa paham keagamaan radikal misalnya, semakin memperlebar jurang
fundamentalisme agama. Mereka juga semakin merengsek ke dalam
sendi-sendi kehidupan beragama dan ber-ahlussunnah wal jamaah yang mayoritas dijalankan umat Islam di Indonesia.
Tidak
hanya itu, pemahaman dangkal perihal Islam dan sunnah begitu mudah
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang tidak sepaham.
Kecenderungan ini semakin memperlebar jurang disintegrasi, pun juga
konflik dan teror di beberapa daerah acap mengemuka. Rasa aman untuk
menjalankan praktik keberagamaan dan praktik sosial-kemasyarakatan
lainnya tentu menjadi entry point dalam
merekatkan hubungan berbangsa dan bernegara. Ancaman disintegrasi tentu
perlu disikapi serius oleh banyak kalangan, terutama para ulama yang
menjadi soko guru praktik keberagamaan dan keberagaman di Indonesia
Ahlussunnah wal jamaah sebagai landasan berpikir penting kiranya diketengahkan dalam situasi yang hampir turbulensi tersebut. Ahlussunnah
atau kelompok yang cinta melakukan sunnah nabi dapat menjadi jawaban
atas segala permasalahan di negeri ini, terutama dalam melawan
ekstrimisme bermotif agama. Etika wal jamaah memberikan garansi tiap kelompok beriringan dan berirama dalam merawat keindonesiaan. Hasil pendidikan ala ahlussunah wal jamaah dapat dirasakan bahwa sangat jarang (atau tidak ada sama sekali) kita temui kelompok ahlussunnah wal jamaah melakukan tindakan fanatik dan atau radikal berdasarkan agama yang dapat merugikan orang lain.
Refleksi GP Ansor
Dalam
merawat keindonesiaan, kebangsaan, dan keislaman, GP Ansor bersama-sama
NU dan seluruh elemen masyarakat harus bergandengan tangan “melawan”
segala bentuk intoleransi dan radikalisasi. Sebagai badan organisasi
otonom dibawah naungan NU (Nahdlatul Ulama), GP Ansor tidak hanya harus
berjibaku melakukan penguatan nilai-nilai ahlussunah wal jamaah
di internal kader. Lebih dari itu, GP Ansor memiliki tanggung jawab
dalam konteks kebangsaan memberikan rasa aman kepada seluruh elemen
masyarakat sesuai semangat ber-ahlussunah wal jamaah. Dari sinilah GP Ansor yang memasuki usianya ke-83 tahun pada 24 April 2017 dapat merawat NKRI.
Langkah
praktis dalam upaya merawat NKRI dapat dilakukan di pelbagai bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu dengan semangat ber-ahlussunnah wal jamaah
sebagai landasan berpikir dan bergerak. Merawat NKRI dalam kehidupan
berbangsa ala GP Ansor ialah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
marjinal, terpinggirkan, kelompok minoritas yang teraniaya, dan
memastikan sikap toleran dapat berjalan beriringan dengan keberagamaan
dan keberagaman yang sudah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Praktik bernegara ala GP Ansor tentu tidak hanya semata-mata
mencintai negeri ini, pun juga merawat dan membela negeri ini dari
segala bentuk imperialisme dan rongrongan dari kelompok tertentu yang
hendak mengutak-atik bangunan NKRI.
Sebagai
garda terdepan NU melawan segala bentuk tindakan intoleran dan paham
radikal, GP Ansor secara bersamaan juga meruwat dan merawat kehidupan
bermasyarakat, beragama, berpolitik, dan bernegara melalui konsep
ahlussunnah wal jamaah. Doktrin ahlussunah wal jamaah
ini, sebagaiamana dijelaskan KH. Said Aqil Siraoj (2009), menyandarkan
diri pada beberapa prinsip yang tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri.
Beberapa prinsip tersebut antara lain; prinsip syura atau musyawarah, al-‘adl atau keadilan, al-hurriyyah atau kebebasan yang menjadi kebutuhan primer setiap manusia, dan prinsip al-musawah atau kesetaraan derajat. Semua prinsip tersebut menyatu pada satu elemen; merawat keindonesiaan.
Islam ahlussunah wal jamaah bukan aliran. Ia hanya cara pandang melihat realitas dan merefleksikannya dalam tindakan nyata. Pengejewantahan konsep al-‘adl
misalnya, GP Ansor membawa semangat persaudaraan dan kemanusiaan dalam
setiap tindakannya. Tidak melulu segala bentuk anarkisme dan atau
radikalisme dilawan dengan tindakan anarkis pula. Dengan semangat
kemanusiaan pertama-tama yang dilakukan ialah pendekatan
sosial-kemanusiaan. Walaupun GP Ansor dikenal dengan pasukan berani
matinya tidak selalu kemungkaran di negeri ini dilawan dengan
pentungan.
Hal yang patut diperhatikan dalam
setiap gerakan ber-Ansor ialah memastikan bahwa bangunan yang bernama
Indonesia adalah harga mati dan nilai-nilai Islam ahlsunnah wal jamaah menjadi penyangga sekaligus penyejuk di tengah-tengah maraknya konflik dan egosentrisme sektoral. Gerakan ahlussunah wal jamaah memiliki tujuan menggapai keislaman yang rahmatan lil alamin. Gerakan pemuda Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Penulis adalah alumnus pascasarjana Sosiologi UGM dan Pengurus Pusat GP Ansor
KOMENTAR