Kupang. Di era digital atau yang akrab disebut zaman kekinian, munculnya Facebook dan Twitter sebagai jejaring sosial sungguh fenomenal. Kedua media sosial (medsos) terkemuka ini makin membuka lebar kran kebebasan berpendapat melalui dunia maya. Peran dan pengaruh medsos, antara lain, begitu kentara ketika memanggungkan tulisan-tulisan remaja putri asal Banyuwangi, Asa Firda Inayah alias AFI (19 tahun).
Dalam
sekejap, status AFI di akun Facebook-nya, Afi Nihaya Faradisa, bertajuk
“Warisan” mendadak viral. Warganet (netizen) di seantero Republik
sontak bertanya-tanya siapa siswi yang baru lulus SMA ini dan ada apa
dengan statusnya. Gema yang ditimbulkan atas tulisan tersebut seakan
sama kencangnya kala medsos mengamplifikasi cuitan anak muda penghujat
KH A Musthofa Bisri (Gus Mus) di Twitter beberapa waktu lalu.
Di
Mesir, kedua medsos ini justru digunakan rakyat sebagai media untuk
“bergerilya” mengusung Revolusi musim semi yang berujung lengsernya
rezim otoriter Husni Mubarak pada awal 2011 silam. Siapa sangka jejaring
medsos Twitter dan Facebook yang lazim digunakan khalayak umum sebagai
media pertemanan dan komunikasi singkat dapat dijadikan alat koordinasi
rakyat dalam melancarkan protes terhadap pemerintah?
Seiring
perkembangan teknologi informasi, aktivitas medsos telah menjadi tren
paling populer, terutama Facebook dan Twitter. Tanpa disadari, jejaring
sosial kini telah mengalami pergeseran fungsional dari sekedar media
komunikasi menjadi alat politik. Penggunaan medsos sebagai alat politik
pada praksisnya telah mengglobal hingga menembus batas ruang dan waktu.
Persekusi
Ujung
dari aktivitas bermedsos antara lain yang akhir-akhir ini ramai
diberitakan berbagai media, yakni persekusi. Kasus ini menimpa remaja
berusia 15 tahun berinisial PMA yang merupakan salah satu warga Cipinang
Muara, Jakarta Timur serta Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat.
Bagi
beberapa orang masih merasa asing dengan istilah ini, dan bahkan ada
yang menganggap ini adalah istilah baru. Namun ternyata istilah
persekusi sendiri sudah ada sejak lama. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap
seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau
ditumpas.
Kedua korban di atas mengalami tindak persekusi
bermula melalui media sosial. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang
dianggap telah menghina salah satu ormas dan pimpinannya melalui medsos.
Video yang viral di medsos tersebut menunjukkan PMA dikerumuni sejumlah
orang yang mengaku simpatisan ormas tersebut. Remaja 15 tahun itu
diinterogasi mengenai maksud unggahan statusnya di medsos.
Sedangkan
Fiera, didatangi beberapa orang ketika tengah berada di dalam mobil
bersama kedua anaknya pada 22 Mei 2017 menyusul tiga status pada akun
Facebook Fiera pada 19-21 Mei 2017 yang menanggapi berita kasus yang
menimpa pimpinan suatu ormas. Sudah tentu, untuk menghindari aksi
persekusi semacam ini terulang kembali, kita harus lebih bijak dalam
menggunakan media sosial.
Persekusi tak
langsung juga dialami AFI. Ia mengalami perundungan (bully) di medsos.
Gadis yang baru saja lulus MAN 3 Banyuwangi bahkan menerima ancaman
pembunuhan. Meski demikian, AFI beruntung sekali lantaran banyak menuai
simpati. GP Ansor dan Banser di daerahnya juga mengunjungi ke rumahnya
untuk memberikan rasa aman bagi remaja ini.
Kontribusi Medsos
Terkait
isu “persekusi” yang menggelinding liar bak bola salju di Facebook,
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Facebook bukanlah satu-satunya
medsos yang serta-merta memberi dampak perubahan. Namun, setidaknya
Facebook telah berkontribusi terhadap percepatan gerak rakyat. Informasi
yang disebarluaskan melalui Facebook menjadi pemicu bagi publik untuk
“turun gunung”. Kekuatannya begitu dahsyat dalam mempengaruhi khalayak
untuk bersatu padu “menekan” arogansi pribadi maupun kelompok.
Pada
titik ini, dapat dipahami bahwa medsos merupakan senjata ampuh bermata
dua. Ia terbukti efektif dalam memberikan kontribusi besar bagi siapapun
yang disukai maupun dibenci. Tanpa medsos, agaknya kasus persekusi dan
apapun yang lahir dari media ini belum tentu terurai. Yang jelas,
warganet yang juga memiliki kekuatan sebagai penekan tak bisa dipandang
sebelah mata.
Tegasnya, jangan remehkan kekuatan rakyat (people power)
di media sosial! Memang, jenis ruang publik baru ini secara fisik tidak
kentara, pemakainya juga jarang bertemu. Namun, mereka nyambung di
ruang virtual yang melipat dunia hanya dalam seperlemparan batu.
Masih
segar dalam ingatan ketika publik melalui jejaring sosial memberikan
dukungan kepada dua pimpinan KPK yang dikriminalisasi menyusul lahirnya
istilah “Cicak versus Buaya”. Lebih lanjut, ketika DPR menolak
pembangunan gedung baru KPK, publik lantas bergerak cepat melakukan
perlawanan dengan mengangkat isu saweran untuk gedung baru. Kemenangan Prita Mulyasari atas RS Omni Internasional juga tak lepas dari dahsyatnya medsos.
Dibanding
dengan iklan layanan masyarakat di televisi yang sangat mahal,
informasi melalui medsos memang sangat potensial. Biayanya minim, namun
bisa menjangkau banyak kalangan dalam waktu singkat. Yang lebih
menakjubkan lagi, pengaruh medsos kian menjadi-jadi lantaran bersifat
interaktif. Satu sama lain saling sahut-sahutan. Tak ayal, pihak-pihak
yang merasa disoroti dalam waktu singkat jadi gerah dan kelimpungan.
Kekuatan
medsos juga bisa kita rasakan ketika perhelatan Pilkada DKI Jakarta.
Pertarungan kubu Anis-Sandi dan Ahok-Djarot dalam memperebutkan suara
warga Ibu Kota tak hanya terjadi di dunia nyata. Di jagat maya,
pertarungan juga tak kalah seru bahkan percikannya masih kita rasakan
hingga hari ini. namun, satu hal yang patut diapresiasi adalah meski
perselisihan pendapat terjadi di dunia maya, di dunia nyata tak meletus
pertikaian.
Kita sepakat bahwa isu-isu sentral
di masyarakat kini tak lepas dari peran dahsyat medsos, dimana rakyat
berkomunikasi dalam sebuah kesatuan pikiran dan perasaan lewat media.
Singkatnya, medsos memang memiliki peran potensial bagi tegaknya
demokrasi di Republik ini.
KOMENTAR