Kupang. Belakangan ini, kemantapan warga negara kita dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945,
dan Bhinneka Tunggal Ika terus diganggu oleh sistem khilafah. Bahkan,
hari-hari belakangan publik digegerkan video sumpah mahasiswa terkait
negara khilafah islamiyah (NKI). Video tersebut telah menjadi viral dan
diperbincangkan banyak orang.
Dalam video itu, ribuan mahasiswa bersumpah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia di bawah naungan negara khilafah. Mereka berpendapat NKI merupakan solusi tuntas terhadap problematika masyarakat Indonesia. Sumpah mahasiswa tersebut diikrarkan di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Maret 2016 yang diikuti 1.500 peserta dari 242 perguruan tinggi/lembaga.
Menanggapi video tersebut, Rektor IPB, Prof Herry Suhardiyanto, hanya menjawab bahwa acara tersebut kegiatan Simposium Nasional Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus 25–27 Maret 2016 yang kebetulan diadakan di IPB. Sementara itu, Humas IPB melalui keterangan tertulisnya mengatakan video diambil ketika Badan Kerohanian Islam Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BKIM IPB) menjadi tuan rumah.
Banyak komentar dan keprihatinan terkait video tersebut, antara lain para mahasiswa kuliah di Pergutuan Tinggi Negeri yang disubsidi negara. Padahal negara ini tetaplah NKRI berdasar Pancasila. Sayangnya, justru dirongrong sendiri oleh para mahasiswa yang nasionalismenya sudah mati. Mereka lebih tergoda mengikuti ideologi lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan jati diri bangsa yang majemuk.
Jangankan mahasiswa yang secara emosional masih labil dan belum mencapai kematangan, apalagi kedewasaan. Bahkan, mantan jenderal dan mantan menteri sekalipun bisa tergoda bujukan khilafah. Belakangan, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, juga menjadi sorotan media sosial karena pernyataannya dianggap mendukung sistem khilafah. Namun, Adhyaksa Dault mengatakan kehadirannya dalam acara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya sebagai undangan. Dia juga menegaskan tidak pernah menjadi anggota HTI. Adhyaksa mengaku karena video yang menampilkan dirinya hadir dalam acara HTI tersebut, banyak pihak yang menyangkanya sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI. Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka itu membantah keras tuduhan tersebut.
Masyarakat yang mencintai NKRI dan Pancasila pasti sedih serta prihatin melihat kenyataan berkembangnya HTI sebagai motor utama pendukung khilafah. Bahkan, dalam muktamar khilafah 2 Juni 2013, hadir 100 ribu pendukung khilafah di Gelora Bung Karno. Padahal pada 1 Juni, bangsa memperingati Hari Lahir Pancasila, yang mulai 2017 dinyatakan sebagai hari libur nasional. Tak bisa dipungkiri, Pancasila semakin dilupakan sebagian anak bangsa. Pernah ada survei yang menyebut 80 persen mahasiswa lima perguruan tinggi negri Jawa sudah tidak menghayati Pancasila sebagai dasar dan falsafah hiudp berbangsa (2006). Mereka lebih tertarik syariat Islam atau sosialisme sebagai dasar dan falsafah negara.
Mungkin saja, kaum muda seperti mahasiswa punya andil dalam melupakan atau mengabaikan Pancasila. Tapi, bukan tidak mungkin bahwa pemerintah sendirilah sebenarnya sebagai pihak yang paling punya andil dan bertanggung jawab. Lihat saja era Orba (1965–1998), Pancasila paling disalahgunakan rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan indoktrinasi model P-4, publik merasa “muak,” skeptik, dan sinis setiap memperbincangkan Pancasila.
Terbesar
Penyalahgunaan terbesar Pancasila bisa dicermati ketika Soeharto mengatakan yang menyerangnya sama saja menyerang Pancasila. Ini mengingatkan pada perkataan Raja Prancis Louis XIV, “l’etat c’est moi” (sayalah negara). Karena itu, publik yang “muak,” skeptik, atau sinis terhadap Pancasila, sebenarnya hanya korban kebijakan Orba yang telah memelintir Pancasila demi melanggengkan kekuasaan.
Pengabaikan Pancasila juga bisa terjadi pada kebijakan ekonomi yang lebih bercorak neoliberal daripada kerakyatan dan keadilan sosial. Padahal, andai ekonomi Pancasila yang diterapkan, keadilan sosial mungkin saja terwujud. Kesenjangan sosial diatasi serta orang miskin terentaskan. Menurut Bung Karno, yang mencetuskan ide Pancasila pada sebagai dasar negara pada 1 Juni 1945, selama ada banyak orang miskin, menjadi pertanda bahwa pemerintah sebenarnya telah gagal menjalankan amanat Pancasila.
Sebab, kemiskinan bagian dari kekufuran. Dalam kondisi miskin, orang akan lebih mudah tergoda seperti untuk bergabung sistem khilafah. Mereka berasumsidia akan memberi solusi. Ini mirip orang miskin zaman dulu yang tergoda komunisme karena utopia sama rasa sama rata. Jangan lupa pula saat ini, para pendukung khilafah gencar bergerilya ke kampus, masjid, dan berbagai tempat lainnya untuk menawarkan sistem dan merekrut anggota baru. Biasanya, mereka suka menanyakan, “Pilih Syariat Islam (khilafah) atau Pancasila?” Mereka membenturkan seolah Syariat Islam bertentangan dengan Pancasila. Padahal, bagi arus utama NU atau Muhammadiyah, Pancasila tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
Menurut Profesor Sumanto Al Qurthuby, pengajar National University of Singapore dan King Fahd University of Petroeum and Mineral, Arab Saudi, pendukung khilafah hanya tukang mimpi karena tertipu. Ormas Hizbut Tahrir didirikan di Yerusalem 1953 oleh Taqiuddin al-Nabhani (1909–1977), bekas hakim Yerusalem. Dialah arsitek ideologi, platform, konstitusi, dan pernik-pernik lain yang berkaitan dengan ormas Hizbut Tahrir serta konsep atau desain “negara khilafah.” Konsep bahwa khilafah dari Tuhan, menurut Sumanto, hanyalah tipu muslihat. Apalagi sistem khilafah bukanlah kehendak oleh Nabi Muhammad. Sebab sistem itu lahir dalam sejarah pergolakan politik umat Islam sendiri. Tidak heran, di banyak negara Islam, termasuk Arab Saudi, Hizbut Tahrir dilarang.
Maka, kita menyambut baik rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian hendak membubarkan HTI secara permanen agar semakin banyak anak banga tidak tertipu. Jangan sampai kemerdekaan NKRI yang dicapai dengan berdarah-darah dan Pancasila yang sudah disepakai bersama sebagai dasar negara, dibuat mainan para pendukung khilafah. Sementara itu, kita perlu menyegarkan kembali atau merevitalisasi pemahaman akan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Dalam video itu, ribuan mahasiswa bersumpah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia di bawah naungan negara khilafah. Mereka berpendapat NKI merupakan solusi tuntas terhadap problematika masyarakat Indonesia. Sumpah mahasiswa tersebut diikrarkan di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Maret 2016 yang diikuti 1.500 peserta dari 242 perguruan tinggi/lembaga.
Menanggapi video tersebut, Rektor IPB, Prof Herry Suhardiyanto, hanya menjawab bahwa acara tersebut kegiatan Simposium Nasional Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus 25–27 Maret 2016 yang kebetulan diadakan di IPB. Sementara itu, Humas IPB melalui keterangan tertulisnya mengatakan video diambil ketika Badan Kerohanian Islam Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BKIM IPB) menjadi tuan rumah.
Banyak komentar dan keprihatinan terkait video tersebut, antara lain para mahasiswa kuliah di Pergutuan Tinggi Negeri yang disubsidi negara. Padahal negara ini tetaplah NKRI berdasar Pancasila. Sayangnya, justru dirongrong sendiri oleh para mahasiswa yang nasionalismenya sudah mati. Mereka lebih tergoda mengikuti ideologi lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan jati diri bangsa yang majemuk.
Jangankan mahasiswa yang secara emosional masih labil dan belum mencapai kematangan, apalagi kedewasaan. Bahkan, mantan jenderal dan mantan menteri sekalipun bisa tergoda bujukan khilafah. Belakangan, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, juga menjadi sorotan media sosial karena pernyataannya dianggap mendukung sistem khilafah. Namun, Adhyaksa Dault mengatakan kehadirannya dalam acara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya sebagai undangan. Dia juga menegaskan tidak pernah menjadi anggota HTI. Adhyaksa mengaku karena video yang menampilkan dirinya hadir dalam acara HTI tersebut, banyak pihak yang menyangkanya sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI. Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka itu membantah keras tuduhan tersebut.
Masyarakat yang mencintai NKRI dan Pancasila pasti sedih serta prihatin melihat kenyataan berkembangnya HTI sebagai motor utama pendukung khilafah. Bahkan, dalam muktamar khilafah 2 Juni 2013, hadir 100 ribu pendukung khilafah di Gelora Bung Karno. Padahal pada 1 Juni, bangsa memperingati Hari Lahir Pancasila, yang mulai 2017 dinyatakan sebagai hari libur nasional. Tak bisa dipungkiri, Pancasila semakin dilupakan sebagian anak bangsa. Pernah ada survei yang menyebut 80 persen mahasiswa lima perguruan tinggi negri Jawa sudah tidak menghayati Pancasila sebagai dasar dan falsafah hiudp berbangsa (2006). Mereka lebih tertarik syariat Islam atau sosialisme sebagai dasar dan falsafah negara.
Mungkin saja, kaum muda seperti mahasiswa punya andil dalam melupakan atau mengabaikan Pancasila. Tapi, bukan tidak mungkin bahwa pemerintah sendirilah sebenarnya sebagai pihak yang paling punya andil dan bertanggung jawab. Lihat saja era Orba (1965–1998), Pancasila paling disalahgunakan rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan indoktrinasi model P-4, publik merasa “muak,” skeptik, dan sinis setiap memperbincangkan Pancasila.
Terbesar
Penyalahgunaan terbesar Pancasila bisa dicermati ketika Soeharto mengatakan yang menyerangnya sama saja menyerang Pancasila. Ini mengingatkan pada perkataan Raja Prancis Louis XIV, “l’etat c’est moi” (sayalah negara). Karena itu, publik yang “muak,” skeptik, atau sinis terhadap Pancasila, sebenarnya hanya korban kebijakan Orba yang telah memelintir Pancasila demi melanggengkan kekuasaan.
Pengabaikan Pancasila juga bisa terjadi pada kebijakan ekonomi yang lebih bercorak neoliberal daripada kerakyatan dan keadilan sosial. Padahal, andai ekonomi Pancasila yang diterapkan, keadilan sosial mungkin saja terwujud. Kesenjangan sosial diatasi serta orang miskin terentaskan. Menurut Bung Karno, yang mencetuskan ide Pancasila pada sebagai dasar negara pada 1 Juni 1945, selama ada banyak orang miskin, menjadi pertanda bahwa pemerintah sebenarnya telah gagal menjalankan amanat Pancasila.
Sebab, kemiskinan bagian dari kekufuran. Dalam kondisi miskin, orang akan lebih mudah tergoda seperti untuk bergabung sistem khilafah. Mereka berasumsidia akan memberi solusi. Ini mirip orang miskin zaman dulu yang tergoda komunisme karena utopia sama rasa sama rata. Jangan lupa pula saat ini, para pendukung khilafah gencar bergerilya ke kampus, masjid, dan berbagai tempat lainnya untuk menawarkan sistem dan merekrut anggota baru. Biasanya, mereka suka menanyakan, “Pilih Syariat Islam (khilafah) atau Pancasila?” Mereka membenturkan seolah Syariat Islam bertentangan dengan Pancasila. Padahal, bagi arus utama NU atau Muhammadiyah, Pancasila tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
Menurut Profesor Sumanto Al Qurthuby, pengajar National University of Singapore dan King Fahd University of Petroeum and Mineral, Arab Saudi, pendukung khilafah hanya tukang mimpi karena tertipu. Ormas Hizbut Tahrir didirikan di Yerusalem 1953 oleh Taqiuddin al-Nabhani (1909–1977), bekas hakim Yerusalem. Dialah arsitek ideologi, platform, konstitusi, dan pernik-pernik lain yang berkaitan dengan ormas Hizbut Tahrir serta konsep atau desain “negara khilafah.” Konsep bahwa khilafah dari Tuhan, menurut Sumanto, hanyalah tipu muslihat. Apalagi sistem khilafah bukanlah kehendak oleh Nabi Muhammad. Sebab sistem itu lahir dalam sejarah pergolakan politik umat Islam sendiri. Tidak heran, di banyak negara Islam, termasuk Arab Saudi, Hizbut Tahrir dilarang.
Maka, kita menyambut baik rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian hendak membubarkan HTI secara permanen agar semakin banyak anak banga tidak tertipu. Jangan sampai kemerdekaan NKRI yang dicapai dengan berdarah-darah dan Pancasila yang sudah disepakai bersama sebagai dasar negara, dibuat mainan para pendukung khilafah. Sementara itu, kita perlu menyegarkan kembali atau merevitalisasi pemahaman akan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
KOMENTAR