wartantt.com, NASIONAL - Ketua Setara Institute Hendardi menyatakan, rencana reuni aksi 212
tergolong sebagai gerakan politik yang akan terus dibangkitkan sejalan
dengan agenda politik formal, terutama menjelang pemilihan presiden
(Pilpres) 2019.
Dalam pernyataan persnya, Jumat (30/11), Hendardi mengatakan, sebagai gerakan politik, maka keberlanjutan dari gerakan itu menjadi arena politik baru bagi sejumlah elite tertentu. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan daya tawar politik ketika berhadapan dengan para pemburu kekuasaan atau dengan pemerintah yang berkuasa.
Hendardi menilai meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks perwujudan cita-cita nasional, namun selamanya gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
Ia juga menyesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan instrumen agama Islam, yang mana sejauh ini menurut tokoh-tokoh Islam umumnya justru dapat memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.
Dikatakan Hendardi bahwa populisme agama telah menghilangkan rasionalitas masyarakat dalam beragama dan berpolitik. Kendati demikian, dia melihat jika dua tahun belakangan ini gerakan 212 tampak mulai kehilangan dukungan.
Masyarakat tampak mulai sadar untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama yang terkadang digunakan untuk mendapatkan dukungan politik atau menundukkan lawan politik. Ia juga menilai masyarakat semakin sadar dan pandai melihat gerakan semacam ini mengancam kohesi sosial bangsa Indonesia yang majemuk.
Oleh sebab itu, selain hanya ditujukan untuk kepentingan elite, ia berpendapat jika gerakan 212 tak ada relevansinya untuk menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan.
Pernyataan Pers lengkap Hendardi, Ketua SETARA Institute:
1. Rencana reuni aksi 212 pada 2/12/2018 mendatang telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang awalnya digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 dan kemudian di repetisi pada 2/12/2017 adalah gerakan politik. Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019.
2. Menguasai ruang publik (public space) adalah target para elit 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah. Bagi mereka public space adalah politik. Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
3. Disesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.
4. Namun demikian, dua tahun hampir berlalu gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita.
Dalam pernyataan persnya, Jumat (30/11), Hendardi mengatakan, sebagai gerakan politik, maka keberlanjutan dari gerakan itu menjadi arena politik baru bagi sejumlah elite tertentu. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan daya tawar politik ketika berhadapan dengan para pemburu kekuasaan atau dengan pemerintah yang berkuasa.
Hendardi menilai meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks perwujudan cita-cita nasional, namun selamanya gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
Ia juga menyesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan instrumen agama Islam, yang mana sejauh ini menurut tokoh-tokoh Islam umumnya justru dapat memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.
Dikatakan Hendardi bahwa populisme agama telah menghilangkan rasionalitas masyarakat dalam beragama dan berpolitik. Kendati demikian, dia melihat jika dua tahun belakangan ini gerakan 212 tampak mulai kehilangan dukungan.
Masyarakat tampak mulai sadar untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama yang terkadang digunakan untuk mendapatkan dukungan politik atau menundukkan lawan politik. Ia juga menilai masyarakat semakin sadar dan pandai melihat gerakan semacam ini mengancam kohesi sosial bangsa Indonesia yang majemuk.
Oleh sebab itu, selain hanya ditujukan untuk kepentingan elite, ia berpendapat jika gerakan 212 tak ada relevansinya untuk menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan.
Pernyataan Pers lengkap Hendardi, Ketua SETARA Institute:
1. Rencana reuni aksi 212 pada 2/12/2018 mendatang telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang awalnya digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 dan kemudian di repetisi pada 2/12/2017 adalah gerakan politik. Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019.
2. Menguasai ruang publik (public space) adalah target para elit 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah. Bagi mereka public space adalah politik. Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
3. Disesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.
4. Namun demikian, dua tahun hampir berlalu gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita.
KOMENTAR