Wartantt.com--SBD; 13 Desember 2018,
dua ratusan siswa kelas awal (kelas satu, dua dan tiga) SD Inpres Pogolede,
berpawai. Pawai yang dilakukan tergolong unik. Para siswa berpawai sambil
membawa tulisan berisi cita-cita dan keinginan mereka agar bersekolah dengan
baik. Bunyi tulisan tersebut antara lain ; “Papa Mama, Beri kami Sarapan
sebelum sekolah”; “Papa Mama, antarkan kami ke sekolah.” Hal ini menceritakan
kondisi sebenarnya dari aktifitas harian mereka.
Dibelakang para
siswa berpawai, para orang tua berjalan mengikuti. Mereka merasa bangga dan
istimewa. Karena hari itu, mereka melakukan salah satu kegiatan rintisan
INOVASI (Inovasi untuk anak sekolah
Indonesia, kemitraan Indonesia-Australia), yakni; Community Engagement.
Kegiatan community
engagement di SBD dilakukan di di desa Watu Kawula, kecamatan Tambolaka, Sumba
Barat Daya. Dari empat SD yang ada di desa Watu Kawula, tiga sekolah menjadi
mitra INOVASI. Sementara satu SD lainnya, menjadi sekolah mitra program literasi
dinas pendidikan SBD yang memodifikasi program literasi dasar menggunakan APBD
2018. Dari tiga SD yang ada di desa Watu Kawula, SDI Pogolede menjadi SD
rintisan bagi upaya INOVASI Sumba melakukan community engagement.
Tujuan community
engagement ini agar para orang tua siswa di sekolah mitra memberikan dukungan
bagi kegiatan pelatihan literasi yang diselenggarakan INOVASI di SBD. Community
engagement yang dilakukan tergolong unik, karena melibatkan anak-anak sebagai
pengungkit kesadaran orang tua tentang pentingnya peran mereka dalam mendukung
kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Community
engagement SBD dibungkus dengan tajuk Festival Literasi Anak. Ada tiga kegiatan
utama yang dilaksanakan; pawai literasi, Focus Discussion Group dengan tema
“Mencari Solusi Masalah Rendahnya Kemampuan Baca Siswa Kelas Awal di SDI
Pogolede.”, dan diskusi pemangku kepentingan tingkat desa.
Pawai Literasi
dimulai dari Gereja Omba Tana Rara menuju kantor desa Watu Kawula; kira kira 800
meter jaraknya. Sesampai di Kantor desa, para orang tua dipersilahkan masuk ke
aula desa untuk mengikuti kegiatan FGD, sementara siswa peserta pawai, bersiap
mengikuti beragam permainan literasi dengan dipandu tim INOVASI. Ruangan aula
desa Watu Kawula yang berukuran 15 x 7 meter terasa sesak. Kurang lebih 250
orang tua siswa, wakil pemuka adat, sekolah, pemuka agama hadir mengikuti
FGD.
Sebelum berdiskusi,
Sekretaris Desa Watu Kawula; Stephanus D. Goro menyampaikan pesan sekaligus
membuka acara Festival Literasi. “Pendidikan dasar itu dimulai dari orang tua,
bukan dari guru. Orang tua yang hadir saat ini diharapkan berbagi informasi
tentang kondisi-kondisi anak mereka saat dirumah, dan bagaimana anak-anak
tersebut berkeluh kesah tentang sekolah dan kegiatan belajar mengajar yang
dihadapinya.”
Kegiatan FGD
berlangsung cukup lama. Dibuka dengan memaparkan hasil test siswa dan baseline
di sekolah mitra INOVASI (termasuk didalamnya SDI Pogolede). Orang tua siswa
disuguhi fakta mengejutkan bahwa kurang dari 20% hasil test siswa kelas awal di
Sumba Barat Daya menunjukkan siswa belum mampu membaca kata dan kalimat. Dari
hasil paparan ini mulailah diskusi berkembang. Problem anak yang tidak takut
pada orang tua tetapi lebih takut pada guru, kesibukan mereka mencukupi
kebutuhan sehari-hari hingga tak ada waktu untuk membimbing anak, dan adanya
kegiatan-kegiatan sosial, adat serta hari pasar dimana mereka kerap mengajak
anaknya ikut serta, diungkapkan. Ada pula yang mengungkapkan tentang terlalu
paginya anak-anak sekolah sehingga mereka tidak pernah bisa memberi sarapan
kepada anak-anak mereka sebelum berangkat sekolah. Salah satu orang tua siswa
yang nampak kritis juga mengungkapkan tentang bagaimana metode pengajaran yang
dilakukan oleh sekolah yang juga menjadi penyebab mereka malas mendampingi
anak-anak mengerjakan PR.
Apa yang
diungkapkan para orang tua siswa kelas awal SDI Pogolede ini ditanggapi oleh
Kepala Sekolah SDI Pogolede - Yosefina Talu, yang turut hadir dalam FGD
mengungkapkan bahwa perihal masalah keterlibatan anak di acara adat menjadi
salah satu faktor utama tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah. “Bagaimana mau
sekolah betul, jika kegiatan adat berlangsung, itu bisa 3-4 hari lamanya. Dan
terkadang bisa separuh kelas tidak hadir karena mereka ikut orang tuanya di
kegiatan adat.” Tuturnya.
Statemen dari
kepala sekolah sontak membuat suasana FGD berlangsung riuh. Frans M. Pare,
wakil tetua adat yang hadir, berdiri dan spontan berkata,”Jika karena adat anak
tidak bersekolah, ini berarti kami harus keluarkan larangan untuk ikutkan anak
di acara adat.” Tanpa dikomando, gemuruh tepuk tangan peserta FGD meriuhkan
suasana panas ruangan. Sekretaris desa tak mau kalah, “Kalau perlu, kami nanti
akan terbitkan perdes tentang larangan itu”. Kembali tepuk tangan
bergemuruh.
FGD ditutup dengan
pembacaan hasil FGD oleh Sekretaris Desa Watu Kawula.
Hasil FGD tersebut
juga disetujui forum dijadikan butir kesepakatan bersama Enam kesepakatan yang
muncul hasil FGD tersebut adalah;
1. Menyusun
Peraturan Desa yang memuat larangan bagi anak terlibat di acara adat pada
jam dan hari sekolah;
2. Tokoh Adat
membuat kebijakan larangan agar keterlibatan anak pada kegiatan pesta dan acara
adat -yang dilakukan di jam dan hari sekolah- dikurangi;
3. Diwajibkannya
jam belajar di rumah pukul 18.30 - 19.30;
4. Diwajibkannya
bagi orang tua untuk membangunkan anak di pagi hari, memastikan anak mandi,
memberi sarapan pagi dan mengantar anaknya sampai ke sekolah;
5. Dilakukannya
musyawarah yang dihadiri oleh Komite Sekolah dan Orang Tua siswa untuk menyusun
larangan bagi siswa terlibat dalam acara adat, hari pasar dan hari panen jika
kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di jam dan hari sekolah;
6. Dilakukannya
kunjungan oleh guru/komite sekolah/pengawas/kepala sekolah ke rumah siswa yang
tingkat ketidakhadirannya (absen) di sekolah tinggi.
Keenam butir
kesepakatan tersebut ditulis pada spanduk besar yang telah dipasang dan dinding
halaman luar ruang aula desa Watu Kawula. Para wakil pemangku kepentingan,
adat, pemuka gereja, hingga wakil siswa satu persatu menandatangani pernyataan
bersama tersebut. Sebelum acara ditutup, salah satu tetua adat maju dan
meneriakkan yel-yel khas Sumba tiga kali yang disambut secara riuh oleh
anak-anak serta peserta FGD. Yel-yel yang menandakan bahwa secara adat, apa
yang telah ditandatangani tersebut harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh
yang hadir hari itu.
Salah satu orang
tua siswa, Frederick terkesan dengan kegiatan diskusi ini. ”Kami tidak pernah
diajak diskusi seperti ini oleh desa, dinas bahkan sekolah. Dengan adanya
pertemuan ini, kami jadi mengerti apa kesalahan kami dan bagaimana juga
tanggapan sekolah. Apalagi tadi tetua adat dan pejabat desa hadir.” Ungkap
Frederick.
Kegiatan community
engagement di desa Watu Kawula, digagas INOVASI bersama-sama dengan perangkat
desa Watu Kawula serta Kepala Sekolah SDI Pogolede. INOVASI membantu
memfasilitasi jalannya FGD agar berlangsung baik, lancar dan menghasilkan
kesepakatan bersama. Jika hasil FGD konsisten dilaksanakan dan hasilnya memicu
sebuah perubahan perilaku orang tua dalam mendukung proses belajar di sekolah,
kegiatan ini akan diusulkan untuk direplikasi di seluruh Sumba sebagai kegiatan
yang mendukung program literasi dasar bagi kelas awal yang saat ini tengah
berjalan di Sumba.
KOMENTAR