wartantt.com, OPINI -- Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih untuk periode 2019-2024, 30 Juni 2019 lalu, selesailah sudah tahapan Pilpres yang gegap gempita itu. Melalui perjalanan panjang, tahapan-tahapan Pilpres/Pemilu 2019, telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Dunia internasional pun mengapresiasinya. Betapa tidak! Pilpres yang berbarengan dengan Pemilu di Indonesia 17 April 2019 lalu, termasuk rumit. Bahkan konon “Pemilu” di negara kita itu terumit yang perNah ada di dunia. Dahsyatnya, tingkat partisipasi rakyat dalam Pilpres/Pemilu tersebut mencapai 80%. Itu luar biasa, sesuatu yang jarang sekali terjadi di dunia.
Kita tidak menutup mata, memang ada friksi, benturan, dan silat lidah selama perjalanan panjang tahapan-tahapan Pilpres/Pemilu tersebut. Termasuk gugatan di Mahkamah Konstitusi dari pasangan calon 02 (Prabowo–Sandi) yang tidak mengakui kemenangan pasangan 01 (Jokowi-Makruf). Kita tahu akhirnya MK memutuskan gugatan tersebut tidak bisa diterima Majlis Hakim secara keseluruhan. Dan alhamdulillah, paslon 02 pun akhirnya menerima keputusan Mahkamah Konstitusi dengan besar hati. Ini sebuah pertanda bahwa bangsa Indonesia telah makin dewasa dalam berpolitik. Rakyat telah menyadari dan memahami bahwa dalam kompetisi politik pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Dan hal itu biasa saja. Nature politik memang seperti itu. Dan itu hukum alam.
Dengan adanya keputusan MK, kemudian penetapan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, bangsa Indonesia sudah merasa plong. Hari-hari penuh perdebatan dan hari-hari panas politik berakhir sudah. Keputusan MK yang final harus kita jadikan momentum untuk kembali merajut persatuan bangsa dan kesatuan negara Republik Indonesia. Kenapa? Karena masa-masa kritis dan krisis politik sudah selesai. Saatnya, bangsa Indonesia bersatu kembali untuk membangun dan meningkatkan kualitas hidup rakyat semua.
Banyak sekali tantangan yang dihadapi presiden-wapres terpilih, Jokowi-Ma’ruf. Yang paling dekat, misalnya, masalah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Saat ini, misalnya, sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, sedang dilanda kekeringan. Ini baru bulan Juli. Bulan Agustus sampai Oktober, kekeringan biasanya akan makin parah. Saat itu, akibat kekeringan yang parah, sering terjadi kebakaran hutan. Asap dari kebakaran hutan kadang tidak hanya mengganggu langit Indonesia, tapi juga langit Singapura dan Malaysia. Jakarta akan mendapat protes dari negara-negara tetangga. Hal-hal seperti itu, yang biasanya terjadi di musim kemarau, harus segera diantisipasi dari sekarang. Pemerintah, kini saatnya menyiapkan semua kemampuan hardware maupun software untuk mengatasi kekeringan tersebut.
Di negeri dua musim, bulan-bulan kering tiada hujan adalah niscaya. Sama halnya dengan bulan-bulan penuh hujan, niscaya pula. Jika pada yang pertama pemerintah harus mampu mengembangkan teknologi untuk mengatasi kekeringan, pada yang kedua pemerintah harus mampu mengembangkan teknologi untuk mengatasi banjir.
Berikutnya, kita harus berpikir kenapa terjadi kekeringan yang dahsyat? Dan kenapa pula terjadi kebanjiran yang dahsyat? Kedua hal tersebut menunjukkan ada sesuatu yang rusak di alam ini. Karena alam berhubungan satu sama lain, maka kerusakan alam itu menimpa pula Indonesia. Salah satu “penyebab” kerusakan alam yang jadi perbincangan dunia adalah kenaikan suhu bumi (global warming) akibat makin tingginya kadar gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. GRK ini berasal dari (terutama) pembakaran minyak bumi dan batubara. Dua sumber energi fosil ini menjadi tumpuan energi (tenaga) semua negara di dunia untuk menggerakkan ekonominya. Padahal, bila sumber energi fosil itu diganti dengan sumber energi matahari, angin, dan air niscaya kadar GRK di bumi berkurang. Kenaikan suhu bumi pun bisa dicegah.
Tapi apa yang terjadi? Alih-alih menghentikan, atau paling tidak mengurangi pemakaian sumber energi fosil itu, yang terjadi malah sebaliknya. Kebutuhan dunia terhadap sumber energi fosil tiap tahun bertambah. Melihat fenomena itu, pemerintah Indonesia sekuat tenaga mulai mencari sumber energi alternatif seperti angin dan matahari.
Alhamdulillah di era pemerintahan Jokowi upaya tersebut dilakukan dengan serius. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, misalnya sudah dibangun kincir-kincir angin raksasa untuk memanen energi bayu yang potensinya sangat besar. Kini puluhan ribu rumah di Sidrap bisa memakai listrik dari sumber energi angin. Kita berharap di masa datang, pembangunan pusat listrik sumber tenaga angin makin diperluas. Itu tantangan seius yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam rangka menyelamatkan bumi dari global warming.
Kemudian masalah pangan. Jika bangsa Indonesia tidak melakukan diversifikasi pangan atau mencari bahan pangan nonberas – niscaya sampai kapan pun, Indonesia akan terus terancam krisis pangan. Padahal, Indonesia adalah negara yang amat kaya bahan pangan, khususnya sumber karbohidrat. Kita tahu, tanaman pengganti beras di Indonesia jumlah jenisnya sangat banyak. Ada ubi, singkong, sorgun, gembili, garut, sagu, ganyong, dan banyak macam lagi. Jumlahnya mencapai hampir 100 macam. Jika tanaman-tanaman tersebut dikembangkan sebagai pengganti beras, niscaya Indonesia akan makmur dan tak pernah terancam krisis pangan.
Bangsa Indonesia, jika ingin suvive di masa depan, harus berani merubah pola makan dan mendiversifikasi sumber karbohidrat yang berasal dari nonberas. Semua itu tantangan bangsa ke depan. Pemerintah dan rakyat harus bersatu untuk mewujudkan swasembada pangan dengan pendekatan alami, bukan pendekatan ekonomi (impor) semata.
Masalah berikutnya yang dihadapi bangsa Indonesia adalah terorisme. Fenomena berkembangnya terorisme di dunia, termasuk di Indonesia, harusnya mendapat perhatian serius pemerintah. Dari berbagai survei terhadap terorisme – mulai dari survei LaKIP, Setara, LSI, Paramadina, Wahid Institute, dan lain-lain, diketahui Indonesia sudah berada di posisi yang rentan terhadap bahaya terorisme.
Jika 21 % guru dan 25% siswa sekolah negeri (SMP dan SMA) se-Jabodetabek menyatakan Pancasila tidak relevan lagi sebagai dasar negara dan mereka memilih Indonesia sebagai negara syariah seperti Suriah dan Arab Saudi (penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian LaKIP, Jakarta, 2010) – bagaimana kebhinekaan Indonesia? Jelas akan terancam. Para pendiri Republik Indonesia sudah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum agar persatuan dan kesatuan NKRI terjaga.
Sejauh ini Pancasila sudah teruji kekuatannya sebagai ideologi negara. Peristiwa G30S PKI, September 1965, misalnya menjadi bukti bahwa rayat Indonesia sebetulnya mendukung Pancasila. Bukan ideologi yang lain. Apalagi terorisme. Ini karena Pancasila bisa mengadopsi seluruh pikiran dan ide tentang bentuk dan masa depan keindonesiaan. Itulah sebabnya Pancasila sebagai ideologi negara sudah final. Kita berharap pemerintahan Jokowi mampu melasanakan nilai-nilai Pancasila dengan baik dan konsisten.
Di samping itu, Indonesia juga telah menjadi target penjualan narkoba di dunia. Bandar-bandar dan pabrik narkoba sepertinya telah melakukan konspirasi untuk menghancurkan Indonesia. Saat ini penyebaran narkoba sudah demikian dahsyat, mulai dari tingkat mahasiswa sampai SD. Kondisiya juga sudah sangat gawat. Itu tantangan kita semua. Dalam pemberantasan pemakaian narkoba ini, semua pihak harus kerjasama dengan pemerintah untuk mengatasinya.
Itulah sebagian permasalahan besar yang dihadapi Indonesia ke depan. Akhirnya, mari kita bekerjasama membangun Indonesia. Kini tak ada lagi pendukung paslon 01 dan paslon 02. Yang ada adalah pendukung pemerintah untuk membangun Indonesia secara bersama.
Oleh: KH. Dr. Amidhan Shaberah [Ketua MUI (1995-2015), Komnas HAM (2002-2007)
KOMENTAR