wartantt.com -- Tak diliriknya Indonesia
sebagai negara tujuan investasi oleh 33 perusahaan yang cabut dari Tiongkok
beberapa waktu terakhir sepertinya sangat memukul Presiden Joko
"Jokowi" Widodo.
Sebelumnya, Presiden ke-7 RI
itu telah memberi keleluasaan pada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), Thomas Trikasih Lembong, untuk memarahi menteri yang menghambat
investasi. Kini Jokowi berencana membabat 72 Undang-Undang (UU) yang dianggap
tak ramah kepada investasi.
Puluhan UU itu, nantinya akan
digantikan dalam satu Rancangan Undang-undang (RUU) yang berbentuk omnibus
law. Istilah yang disebut terakhir itu adalah suatu RUU yang mencakup lebih
dari satu aspek dan kemudian digabung menjadi satu UU.
Dan, untuk merealisasikan
rencana tersebut, Jokowi memiliki target ambisius. RUU tersebut harus kelar
hanya dalam kurun waktu sebulan.
"Presiden sudah
perintahkan ke kami bahwa dalam satu bulan ini omnibus law harus
digunakan untuk tadi," ucap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut
Binsar Pandjaitan di Djakarta Theatre, Kamis (12/9/2019).
Sebanyak 72 UU tersebut, kata
Luhut, sebagian merupakan produk yang dibuat zaman kolonial. Oleh karena itu,
beleid tersebut sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan demi menarik investor
pada zaman sekarang.
"UU itu tidak cocok lagi,
tapi sekarang masih ada. Sekarang dengan omnibus law itu kita mau
selesaikan. Sekarang sedang dikerjakan oleh kantor Sekretaris Kabinet dengan
kantor Menko Perekonomian," katanya.
Akan tetapi Luhut tidak
menjabarkan lebih lanjut UU mana saja yang akan dibabat dan dijadikan omnimbus
law. Yang pasti, menurut Luhut, UU tersebut membuat investor malas untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Senada dengan ucapan Luhut,
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa UU yang akan digabung
dalam omnibus law tersebut menjadi salah satu penyebab utama mengapa
para investor malas menanamkan cuan-nya di Indonesia.
"Ada yang harus
diperbaiki, termasuk peraturan perundang-undangan. Banyak peraturan UU yang
pada 1980 atau zaman penjajahan Belanda masih ada. UU ini belum sepenuhnya di-update,
bahkan harusnya saudah di-remove," kata Sri Mulyani, dikutip Medcom.id.
Keputusan ini seperti menjawab
masukan dari berbagai kepala daerah. Pasalnya, menurut mereka, soal investasi,
mayoritas urusan izinnya berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan
pemerintah daerah, tinggal "terima bersih".
Hal ini, misalnya, diungkapkan
oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail. "Investor itu biasanya izinnya semua
dari pusat pak, kita orang Maluku sudah tinggal terima bersih saja. Gubernur
soal ini tidak banyak urus-urus," kata Murad.
Tidak jauh berbeda dari Murad,
Wakil Gubernur Papua Mohamad Lakotani menyatakan permasalahan izin lebih banyak
di pusat. Dia menilai ada beberapa beleid, salah satunya peraturan menteri,
justru menghambat ruang gerak investor.
Tumpukan masalah
Sedangkan menurut ekonom dari
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus,
soal UU hanya satu dari tumpukan masalah yang membuat Indonesia tidak menarik
di mata investor asing.
Lainnya terkait kepastian
hukum dan kemudahan regulasi, seperti lahan yang murah dan mudah dalam jangka
waktu panjang; infrastruktur memadai seperti listrik yang merata di berbagai
daerah; aturan ketenagaan kerjaan seperti upah buruh dan produktivitas; hingga
insentif fiskal.
"Itu yang mungkin membuat
kita kalah dari Vietnam dan Malaysia, sehingga tidak tertarik ke
Indonesia," ucap Firdaus dalam Antaranews.com.
Sebelumnya, menurut laporan
Bank Dunia, 23 dari 33 perusahaan yang cabut dari Tiongkok tadi, lari ke
Vietnam. Sedangkan 10 sisanya dibagi antara Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Menurut Bank Dunia, Vietnam
dan Malaysia memang sangat ramah terhadap investasi asing. Hal ini dibuktikan
dengan apiknya angka Ease of Doing Business (kemudahan berbisnis) di
dua negara itu bila dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Indeks kemudahan berbisnis
atau Ease of Doing Business (EoDB) dari total 190 negara
Malaysia: 15
Vietnam: 69
Indonesia: 73
Kamboja: 138
Indeks memulai bisnis (Starting
a business)
Vietnam: 104
Malaysia: 122
Indonesia: 134
Kamboja: 185
Jumlah prosedur perizinan
Vietnam: 8
Malaysia: 9,5
Kamboja: 9
Indonesia: 10
Waktu untuk menyelesaikan
prosedur perizinan
Malaysia: 13,5 hari
Vietnam: 17 hari
Indonesia: 19,6 hari
Kamboja: 99 hari
Biaya yang dikeluarkan untuk
berinvestasi (persen dari income per capita)
Vietnam: 5,9 persen
Indonesia: 6,1 persen
Malaysia: 11,6 persen
Kamboja: 47,4 persen
KOMENTAR