WartaNTT.com, LEMBATA –
Perkara Perdata gugatan tanah milik Pemkab Lembata oleh masyarakat kembali bergulir
di Pengadilan Negeri Lembata.
Tanah
yang terletak diantara gedung baru RSUD Lewoleba dan bangunan obalkes Dinkes
Lembata digugat Thomas Tuan Tukan. 2 unit bangunan ATM milik Bank NTT dan Bank
BRI yang berada dalam areal tersebut juga terkena imbas.
Sidang
yang dipimpin
Ngurah Suradatta Dharmaputra, SH.,MH selaku hakim Ketua, Selasa (18/02/2020) dihadiri Thomas
Tuan Tukan selaku Penggugat, Blasius Dogel Lejap, SH selaku Kuasa hukum Penggugat, Kabag Hukum dan
HAM Setda, Yohanes
Don Bosco bersama tim kuasa hukum Pemerintah,
Pimpinan Bank NTT Cab. Lewoleba, serta kuasa
Hukum ATR/BPN Lembata selaku para
Tergugat.
Sidang
yang berlangsung tersebut dinyatakan hakim ditunda pekan depan akibat belum
lengkapnya surat kuasa dari para Tergugat khususnya yang dikeluarkan Bank NTT
dan Bank BRI (Persero) Tbk.
Kuasa
Hukum Penggugat, Blasius Dogel Lejab kepada WartaNTT usai sidang mengatakan
“Tanah yang menjadi objek sengketa terletak diantara bangunan RSUD Lewoleba dan
bangunan Dinas Kesehatan, dengan panjang dari pinggir jalan
as 100m dan ke arah belakang (selatan) 50m atau seluas 5.000m2”.
“Ada 5 pihak yang
menjadi Tergugat yakni Rafael Rae (T1), Bupati
Lembata (T2), Kepala ATR/BPN Kab. Lembata (T3), Pimpinan PT. Bank NTT Cabang Lewoleba (T4), dan Pimpinan PT. Bank
BRI (Persero) Tbk., Cabang
Pembantu Lewoleba (T5) ujarnya”.
Ditanya terkait kronologis penguasaan tanah, Blasius
menjelaskan “Klien kami peroleh
tanah tersebut, bermula dari adanya tindakan asusila yang dilakukan oleh adik
dari Tergugat 1, kemudian menurut adat orang di wilayah Ile Ape menuntut ganti
rugi denda berupa gading berukuran 3 kain sarung, karena gading tidak ada maka
diganti dengan tanah berukuran 100mx50m atau 5.000m2 yang terletak
di objek sengketa saat ini.
“Karena disepakati
kedua belah pihak, lalu dibuatkan Berita Acara serah terimanya pada 31 Agustus
1997 di Kantor Desa Laranwutun dihadiri Kades Laranwutun dan kedua belah pihak”.
“Penggugat kemudian
mengolah tanah tersebut dari tahun 1997 s/d 2002, semua orang yang lewati tanah
tersebut tahu bahwa Penggugat menguasai tanah tersebut dengan riwayat perolehan
seperti yang disebutkan tadi”.
Dirinya melanjutkan
“Saat kejadian tuntutan atas perbuatan asusila, Tergugat 1 (Rafael Rae) sedang
berada di Malaysia, kemudian dikomunikasikan via HP terkait persoalan yang
menimpa adiknya serta tuntutan dari keluarga korban, kemudian Tergugat 1
menyetujui syarat denda pengganti yang disepakati”.
“Saat Tergugat 1
pulang dari Malaysia, Penggugat menemuinya dan Tergugat 1 katakan silahkan
kelola tanah tersebut. Ada bukti penyerahan secara tertulis”.
“Di Tahun 2002 terjadi
proses jual beli atas objek sengketa tersebut antara Tergugat 1 dan Tergugat 2
tanpa sepengetahuan Penggugat” ujarnya.
Ditanya lanjut
terkait tuntutan yang diajukan kliennya, Blasius mengatakan “Kami mendaftarkan
perkara ke Pengadilan Negeri Lembata atas perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian bagi Penggugat,
dalam tuntutan agar tanah dikembalikann kepada Penggugat atau membayar ganti
rugi dengan harga Rp. 1,5 Juta per meter persegi dikalikan luas seluruhnya
5.000 m2 sehingga totalnya Rp. 7,5 Milyar secara tanggung renteng oleh T1, T2, T4 dan T5, dan membayar kerugian
materil lainnya Rp.55 Juta, serta kerugian immateril Rp.51 Juta dan uang paksa
Rp. 5 Juta perhari” ujarnya.
Sementara itu
Thomas Tuan Tukan selaku Penggugat kepada WartaNTT mengungkapkan kekesalannya
karena Pemkab Lembata seolah mendiamkan persoalan tersebut.
“Sejak tahun 2002 dimasa
Bupati Pak Ande Manuk (Drs. Andreas Duli Manuk, red) dilakukan pematokan oleh
Pemerintah, saya sudah sampaikan keluhan ini namun pihak Pemerintah termasuk
Bupati hanya menjanjikan untuk diselesaikan namun tidak pernah terealisasi”.
“Terakhir tanggal 7
Januari 2019 saya bertemu Bupati Lembata Pak Yentji Sunur di Kuma Resort,
dimana Bupati sampaikan akan pelajari dokumen yang saya bawa dan serahkan,
namun sampai dengan saat ini belum ada respon dari Pemerintah”.
Dirinya menambahkan
“Tahun 2019 juga sudah saya sampaikan persoalan ini kepada Wakil Bupati, kepada
Pak Sius Amuntoda yang saat itu menjadi Pj. Sekda, dan kepada Pak Petrus Gero
yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPRD belum sebagai Ketua DPRD”.
“Karena pertimbangan
tuntutan yang disampaikan kepada Pemerintah sudah sangat lama dan tidak ada
realisasi, maka saya ambil keputusan untuk ajukan gugatan ke Pengadilan. Saya
sudah percayakan kepada kuasa hukum, dengan tuntutan tanah diambil kembali atau
Pemerintah bayar ganti rugi”.
“Saya merasa sudah
disiksa selama 18 tahun karena tidak kerja kebun dan ekonomi keluarga terancam
terus, saya merasa dirugikan apalagi pohon-pohon yang telah ditanam dihancurkan
semua”.
“Saya sudah sangat
dirugikan begini lama, saya sekarang anggap tanah saya digarap oleh Pemerintah.
Tanah masih milik saya” ujarnya dengan nada ketus.
Sementara itu ketua
tim kuasa hukum Pemerintah, Yohanes Don Bosco, SH yang juga menjabat Kabag Hukum dan HAM
Setda kepada WartaNTT mengatakan
kesiapan Pemkab menghadapi gugatan yang sedang berproses.
“Pemerintah pada
prinsipnya selalu siap menghadapi gugatan. Barusan selesai digelar sidang
perkara perdata atas tanah dan bangunan kantor Bupati yang digugat keluarga
Nillan. Tinggal menunggu jadwal sidang putusan Pengadilan” ujarnya. (Kris Kris)
KOMENTAR