WartaNTT.com, Sumba Tengah – Persoalan penolakan penerbitan sertifikat proyek
operasi nasional agraria (Prona) tahun 2015 diatas 350 bidang tanah oleh warga
desa Watu Asa, Kecamatan Mamboro, Kab. Sumba Tengah, hingga kini belum juga
tuntas.
Meski sudah 6 tahun berjalan dan 3 bulan kedepan akan berakhir
tahun 2022, persoalan ini belum juga terselesaikan dengan baik oleh pemerintah
daerah, bersama DPRD dan ATR/BPN.
Dilansir dari Sumbavoice.com (26/9/2022), Komisi III DPRD
Sumba Tengah gelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama warga desa Watu Asa atas
kepemilikan lahan Prona, Jumat (23/9).
Dalam RDP tersebut membahas aduan masyarakat Watu Asa
terkait dugaan 259 bidang tanah Prona desa Watu Asa yang terbit sertifikatnya
atas nama masyarakat diluar Watu Asa.
“Akan dikomunikasikan kembali tindaklanjut RDP hari ini
kepada masyarakat Watu Asa” ungkap Agustinus Umbu Sorung.
Senada dengan Umbu Sorung, anggota DPRD asal dapil III
Mamboro dari PDIP, Bakar Jerimani., juga mengapresi kehadiran ATR/BPN.
“Harapan kita agar persoalan ini ada jalan keluar dari
aduan masyarakat. Agar ada solusi terbaik dan clear bagi warga Watu Asa”
ucapnya.
Menurutnya pula pertemuan saat itu tidak dalam memberikan rekomendasi melainkan peroleh keterangan lebih lanjut untuk disampaikan kepada pemerintah lewat laporan tertulis hasil RDP bersama BPN dan warga Watu Asa.
Kepala ATR/BPN Sumba Tengah yang hendak ditemui WartaNTT, Rabu (28/9) sedang melaksanakan dinas luar.
“Bapak masih tugas luar daerah sampai dengan hari Jumat “ujar
seorang staf kepada WartaNTT di kantor ATR/BPN Sumba Tengah, kompleks makatul.
“Usahakan besok (29/9) ketemu pimpinan DPRD, karena laporan
tertulis sudah diserahkan kepada ketua DPRD” ujar Umbu Sorung via Whatsapp yang
dihubungi dalam perjalanannya ke desa Bolu Bokat.
Dikonfirmasi terpisah, Rabu (28/9), salah seorang warga desa Watu Asa yang ditemui WartaNTT sampaikan kronologi penolakan sejak tahun 2015. Meski tak ingin namanya disebutkan, dirinya memastikan sebagai bagian dari keluarga besar suku Karoku di desa Watu Asa.
Menurutnya persoalan tahun 2015 terjadi akibat diterbitkan
sertifikat atas 350 bidang tanah dimana 100 bidang berlokasi di Kapulit dan 250
bidang berada di Tamma, wilayah desa Watu Asa. Dari nama-nama yang diterbitkan
sertifikat justru mayoritas bukan merupakan nama-nama yang disepakati bersama
sejak awal.
“Yang nama warga di Watu Asa sendiri hanya sekitar 90an
saja, selebihnya bukan dan tidak sesuai dengan nama-nama awal yang disepakati”
ujarnya diawal pembicaraan.
Menurutnya lagi sejak September-Oktober 2015, telah
menyurati pihak-pihak terkait perihal penolakan pembagian sertifikat tanah
tersebut. Meskipun di bulan Januari 2016 sempat ada titik terang akibat
penghibah membuat surat pernyataan, namun hal itu (isi pernyataan) belum juga
direalisasikan hingga muncul surat pernyataan baru yang dianggap sepihak diterbitkan
Mei 2019 dimana meminta BPN lakukan pembagian sertifikat kepada masing-masing
pemilik.
“Kemudian bulan Januari 2020 kami bersurat lagi ke BPN tentang penolakan penerbitan dan pembagian sertifikat. Karena tidak mendapat respon, sehingga Januari 2022 kami kembali bersurat yang direspon dengan pertemuan bulan Februari” ujarnya.
Dilanjutkannya lagi “Terakhir awal September 2022 kami
kembali surati DPRD dan dijawab minggu kemarin hari Jumat (23/9) dengan
menggelar RDP. Disana yang hadir perwakilan warga Watu Asa bersama kepala BPN Sumba
Tengah, sedangkan mereka yang menandatangani surat pernyataan bulan Mei tahun
2019 tidak ada yang hadir” tutupnya. (Rcd)
KOMENTAR