Manggarai Timur, WartaNTT.com - Sebagaimana dilansir dari media berita harian Timor Express, kondisi ruas jalan provinsi di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) semakin buruk dan belum ditangani, warga melakukan gerakan peduli arus lalu lintas. Gerakan ini dengan perbaikan secara darurat.
Untuk mendukung gerakan itu, penginisiatif bersama warga meminta dukungan dana dari sejumlah pemilik kendaraan dan juga donatur lainnya. Dana itu untuk membiayai pengadaan material. Hasilnya, banyak pihak yang merespon. Untuk tidak disalah tafsir, warga telah membuka rekening di bank. Sehingga, siapa saja yang peduli, bisa sumbang melalui rekening yang ada.
Pantauan Timor Express, Selasa (15/11), tiga dari 20-an titik jalan yang rusak berat, khususnya dari Mbata Kecamatan Kota Komba hingga Wukir Kecamatan Elar Selatan, sudah mulai dibenahi secara darurat oleh warga dari Desa Rana Mbata dan Watu Pari. Dibenahi galian dan bangunan telford pada titik yang dianggap rusak berat dan rawan macet kendaraan.
Sementara pada titik yang tingkat kerusakan ringan dan sedang, diantisipasi dengan dedak. Bahkan sebelumnya, warga pernah membuat proposal kepada pemerintah untuk bantuan dedak.
Kegiatan bakti ini dilakukan warga, setelah Gubernur NTT, Frans Lebu Raya melaksanakan kunjungan di Mamba Kecamatan Elar Selatanm bulan Oktober 2016 lalu.
Inisiator gerakan sekaligus Ketua BPD Rana Mbata, David Jamin yang ditemui Timor Express di lokasi jalan rusak Mbata-Wukir, Selasa (15/11) mengatakan, gerakan yang dilakukan masyarakat itu atas dasar keprihatinan dengan kondisi jalan provinsi yang semakin buruk tingkat kerusakannya. Warga tidak dibayar, tapi pengadaan material yang membutuh dukungan dana.
Selaku insiator gerakan, bersama empat orang lainnya, yakni Kepala Desa (Kades) Gising, Damianus Ndalu, Kepala SMPN 4, Stef dan Kades Rana Mbata, Mikhael Agung, kata David, pengadaan material seperti batu untuk bangun telford, berasal dari sumbangan wajib dari semua pemilik kendaraan yang ada di wilayah itu.
Sesuai kesepakatan, dipatok sumbangan sebesar Rp 200 ribu per pemilik kendaraan. Di mana, total kendaraan yang ada di wilayah sepanjang ruas jalan provinsi Mbata-Wukir dan sekitarnya sebanyak 25 unit. Baik truk dan bus kayu. Ada juga sumbangan pribadi dari donatur. Serta bantuan satu alat berat louder dari Pemkab Matim untuk bantu gusur.
“Ini bukan palak atau pajak, tapi awalnya kami buat tawaran. Ternyata mereka dari pemilik kendaraan respon baik. Ada juga donatur atau sumbangan dari pihak luar. Ada kirim satu alat berat louder dari Pemkab Matim dan dua truk, tapi mereka hanya beroperasi dua hari. Setelah itu pulang. Kami tidak tahu kenapa pulang,” kata David.
Dikatakan, kehadiran alat berat dan truk dari pemkab sangat membantu kegiatan peduli masyarakat tersebut. Seperti truk untuk angkut material batu. Alat berat louder untuk mengusur medan yang dinilai rusak berat dan rawan macet kendaraan.
Apalagi dari tiga titik rusak parah dan rawan yang sudah mulai dibenahi, tersisa 20-an titik lainnya hingga Wukir yang belum mulai dibenahi.
Bantuan uang dari sejumlah pihak yang ada, bukan untuk membayar upah warga yang kerja, tapi untuk pengadaan material dan belanja rokok. Sebab, warga kerja suka rela karena peduli. Selain itu, warga juga tidak dipaksa untuk kerja bakti. Tergantung ketersedian waktu luang masing-masing. Tapi yang telah terjadi, saat jadwal kerja bakti, hampir semua warga ikut kerja.
“Hari ini belum banyak warga yang ikut kerja disini karena belum ada material batu. Sementara saat ini kami ada disini, mau cek apa sudah ada material batu atau belum. Kalau sudah ada, kita buat jadwal dan ajak warga untuk kerja tanam batu telford,” bilangnya.
David menambahkan, apa yang dilakukan inisiator dan warga masyarakat tentu tujuannya mulia. Yakni untuk keselamatan kendaraan dan lalu lintas di ruas jalan yang ada dan memperlancar arus perputaran ekonomi masyarakat. Ia mengharapkan ada donatur lain yang mau sumbang. Bahkan, pihak penginisiatif telah membuka rekening untuk dapat sumbangan donatur.
“Ini kami buat untuk tangan dan benah di titik yang rusak parah dan rawan macet. Kami sudah hitung ada 20-an titik. Dari setiap titik itu panjangnya sekira 100-300 meter. Kapan provinsi perbaik ini jalan, kami tidak tahu. Tapi saat ini yang kami lakukan untuk selamatkan kendaraan dari bahaya pada titik yang rawan dan rusak sangat parah ini,” rayarnya.
Warga Galon Desa Watu Pari, Yanto Egar dan Agustinus Abu mengatakan, gerakan peduli masyarakat dilakukan setelah kunjungan gubernur di Mamba. Kata mereka, sepatutnya sebagian warga Kota Komba dan seluruh warga Elar Selatan belum pas dibilang merdeka. Tentu itu karena kondisi jalan. Sudah puluhan tahun jalan rusak dan tidak pernah diperhatikan oleh DPRD dan pemerintah provinsi.
“Warga hanya merdeka karena perasaan. Kan kalau mulai naik kendaraan sudah pasti trauma. Apalagi kendaraan penumpang disini, hanya bus kayu. Kalau naik tidak trauma, berarti sudah merdeka. Jalan ini dibangun lapen atau aspal oleh Bupati Gaspar Ehok tahun 1986. Setelah itu status jalan ini jadi aset provinsi. Tahun 1992 jalan mulai rusak. Tahun 1993 seluruhnya rusak dan sampai sekarang belum diperbaiki,” ungkap Yanto.
Sementara, tokoh masyarakat dan wartawan senior, Frans Sarong, kepada Timor Express memberikan apresiasi kepada warga yang melakukan gerakan hati tersebut. Harapannya, direspon dari sejumlah pihak. Lahirnya kepedulian dan keprihatinan warga atas kondisi jalan yang ada, karena merasa penting pada ruas jalan itu harus mendapat perhatian serius. Sebab, sepanjang jalur itu merupakan kantong ekonomi.
Dijelaskan, alokasi anggaran selama ini dari pemerintah provinsi hanya sebesar Rp 3 miliar dan hanya untuk hotmix 1 km. Sementara, jalan provinsi di Matim yang belum pernah dibenah mencapai 40-an km. Itu artinya, butuh 40 tahun lagi ruas jalan bisa diatasi. Disini menurutnya, mesti perlu ada keluwesan kebijakan.
Pertama menurut Frans, dibuat kebijakan supaya ada peluang bagi Pemkab Matim untuk bisa atasi atau lakukan penanganan darurat biar tidak tabrak dengan aturan. Kedua, dari alokasi anggaran yang ada, diintervensi dengan lapen atau aspal biasa. Sebab, lapen untuk satu km menelayan biaya sebesar Rp 500 juta. Jika alokasinya Rp 3 miliar, maka satu tahun bisa atasi 6 km.
“Kalau lapen, itu pun kita bisa prioritas dulu di titik-titik yang kerusakannya sangat parah. Artinya terpencar. Tentu dengan demikian jalur ini bisa diatasi. Sehingga kita minta jangan terlalu kaku dengan standar yang ada dan perlu ada keluwesan kebijakan. Sebab, ini jalur sentral ekonomi. Kalau jalan sudah bagus, pasti segala hasil kebun itu jadi uang,” bilangnya. (krf3/ays)
KOMENTAR