
MARAKNYA berita bohong dan menjurus fitnah di media sosial dan situs media daring menyita perhatian Presiden Joko Widodo. Untuk pertama kalinya dalam masa pemerintahannya, Presiden menggelar rapat khusus terkait hal ini di kantor presiden hari Kamis, 29 Desember 2016 (Kompas, 30/12/2016). Presiden meminta adanya evaluasi dan tindakan tegas terhadap media online yang menyebarkan berita bohong untuk melindungi tatanan sosial masyarakat, norma dan nilai yang dianut oleh negara serta sekaligus menjaga agar negara berjalan dalam suasana yang kondusif. Selain itu, Presiden juga mendorong perlu adanya gerakan masif untuk melakukan edukasi dan literasi agar pengguna internet dapat berkomunikasi dengan baik, beretika, positif dan produktif serta menjaga peradaban warga dalam berinternet.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menunjukkan pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132,7 juta orang (Kompas, 29/12/2016). Dari semua jenis konten internet, media sosial (Facebook, Instagram, Ask.fm, Path, Snapchat, Line atau Twitter) adalah konten yang paling banyak diakses, yaitu 129,2 juta orang (97,4%). Sebagian besar dari pengguna internet adalah mahasiswa (89,7%), pelajar (69,8%), dan pekerja (58,4%). Media sosial digandrungi oleh kaum muda karena generasi milenial inilah yang paling mudah berinteraksi dengan dunia maya dalam penyebaran akses informasi, hiburan, dan tempat berkespresi di ruang publik. Generasi yang berasal dari masyarakat yang heterogen ini dengan mudah dan cepat me-retweet, forward, shared atau broadcast suatu berita di media sosial dan bangga menjadi terdepan mengabarkan berita sensasional yang isinya bersifat universal dan belum tentu benar (hoax). Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya penyaring pesan (gatekeeper) bagi setiap orang yang mengakses, menyebarkan dan menerima informasi. Akibatnya, berita bohong ini telanjur tersebar dan disebarluaskan sehingga berdampak bukan hanya menyebabkan seseorang salah menerima informasi, tetapi lebih luas lagi akan menimbulkan keresahan, kepanikan, rasa takut dan sikap antipati terhadap institusi atau figur tertentu.
Swa Filtering
Pemerintah saat ini telah melaksanakan proteksi dan penyaringan aplikasi dan konten negatif yang digunakan untuk akses internet melalui penyaringan terstruktur (filtering by design) yang diyakini dapat berjalan efektif untuk secara instan melindungi para pengguna yang awam, pengguna baru dan anak-anak terutama terhadap praktek penyesatan yang dilakukan oleh penyedia konten negatif. Misalnya menggunakan teknik deteksi kata kunci (keyword), pengenalan artifisial (regex) dan daftar putih (whitelist). Semua ini dikombinasikan pula dengan sistem dan teknologi anti virus, anti malware dan personal firewall yang terintegrasi di dalam sistem operasi. Dalam konsep ini, seluruh pemangku kepentingan dan semua inisiatif diadopsi, difasilitasi dan didorong oleh pemerintah untuk bekerja sama membangun suatu layanan penyaringan konten negatif yang terintegrasi dan komprehensif sesuai dengan kewenangan pemerintah (regulasi, birokrasi, dan represi). Namun pada prakteknya filtering ini sangatlah terbatas dan tidak mampu menjangkau seluruh populasi pengguna internet yang terus tumbuh dan berkembang dengan pesat. Sehingga kondisi pada umumnya yang terjadi adalah lebih banyak pengguna internet yang tidak terlindungi dan menimbulkan aneka kerawanan. Maka alternatif baru yang disarankan adalah proteksi preventif dan reaktif dengan menggugah kesadaran dan memberi keterampilan serta solusi (perangkat, tools, layanan) sehingga para pengguna mampu melindungi dirinya sendiri secara mandiri. Konsep swa filtering ini diyakini dapat berjalan efektif dan secara strategis lebih mendidik dalam jangka panjang karena turut menyiapkan kesiapan mental pengguna internet, sekaligus meminimalisir intervensi, arogansi dan penyalahgunaan kewenangan pemerintah di dalam melakukan represi ranah internet dimana hal tersebut dapat berpotensi mencederai hak kebebasan berbicara dan berekspresi.
Pendidikan Literasi Media
Konsep swa filtering mengasumsikan bahwa di era teknologi informasi ini masyarakat kita bukan hanya sebatas menjadi pengguna (user) media sosial. Masyarakat harus mengerti dan faham bahwa media sosial tersebut bukanlah ruang hampa, atau sekadar program algoritma, dan imajinatif. Dalam media sosial, pengguna menjalin relasi dengan manusia hidup dan sungguhan yang memiliki tingkat emosional dan berada di balik akun. Lewat jejaring, seseorang mampu membuat akun pribadi yang bisa diakses oleh siapa saja yang dia inginkan, bicara dan berbagi informasi apa saja dan dari mana saja, kapanpun mereka mau, tanpa harus menunggu jam tayang atau waktu terbit. Oleh karena itu, swa filtering haruslah didukung dengan pendidikan kemampuan literasi media sosial baik dalam pendidikan formal maupun informal agar pengguna bisa mendapatkan edukasi dan pendampingan secara berkelanjutan dan konstan. Dari sinilah, terbentuknya sikap kritis dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan isi pesan di dunia yang sesak-media dan tidak berbatas (borderless).
Secara konseptual, edukasi literasi diimplementasikan dengan membangun satu perangkat perspektif dimana netizen secara aktif memberdayakan diri mereka sendiri dalam menafsirkan, mengantisipasi pesan-pesan yang diterima dan kritis sekaligus kreatif terhadap media. Perangkat ini berisikan rambu-rambu dan code of conduct berinternet yang dapat membantu pengguna internet nantinya tidak hanya menjadi orang yang selektif dan analitik terhadap media dan substansinya, tetapi juga produktif dalam mengembangkan ide-ide yang mereka tangkap dari media. Dengan perangkat ini, pengguna dapat dituntun untuk membaca berbagai sumber atau referensi, meresepsi dan menganalisa realita, menginterpretasi dinamika yang ada, dan berpartisipasi di media yang mendatangkan manfaat bagi orang banyak dalam konteks kepekaan wacana sosial dan kemasyarakatan. Tentunya, literasi media sosial ini dapat berjalan dengan maksimal jika masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan bisa diajak secara partisipatif menuju suatu kesepahaman dan kesamaan persepsi sehingga internet Indonesia semakin maju, aman dan nyaman terbebas dari gangguan konten negatif dan berganti dengan tumbuhnya konten positif yang bermanfaat, memajukan dan mensejahterakan.*
KOMENTAR