Dalam realitasnya, pengabdian dari seorang guru ternyata tidak hanya diperuntukan bagi para siswa, melainkan juga terhadap berbagai macam tuntutan administrasi.
Kisah seorang guru adalah kisah
tentang pengabdian yang bernada kesabaran, demikian ungakapan sahabat saya
dalam sebuah statusnya di BBM. Bagi saya ungkapan ini cukup relevan dan amat
sesuai dengan apa yang dialami oleh seorang guru saat ini.
Penilaian secara subyektif atas
uangkapan di atas tentu saja lahir dari suatu pengalaman yang bernuansa
reflektif selama kurang lebih beberapa bulan saya menjabat sebagai seorang
guru. Tulisan ini sebenarnya hanya bermaksud untuk melukiskan sekaligus
menceritakan satu dari sekian banyak pengalaman yang terjadi saat berada di
dalam ruangan kelas bersama dengan para siswa.
Cukup beralasan bagi saya untuk
membuat judul di atas sebagai bentuk gambaran yang terjadi ketika saya berjumpa
bersama dengan para siswa di dalam ruangan kelas. Status sebagai guru tentu
saja memiliki peran yang sangat besar yaitu mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Seorang guru harus mampu mendidik
para siswa baik secara akademik maupun non akademik. Tuntutan kurikulum 2013
yang menekankan pada aspek perilaku melalui konsep pendidikan karakter menjadi
sesuatu yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh seorang guru.
Dalam realitasnya, pengabdian dari
seorang guru ternyata tidak hanya diperuntukan bagi para siswa, melainkan juga
terhadap berbagai macam tuntutan administrasi. Hampir setiap minggu selalu
disuguhkan dengan berbagai macam lembaran yang menuntut diri harus bekerja
lebih ekstra.
Saat ini, di tengah meluasnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tuntutan untuk menyelesaikan
semua administrasi harus berbasis online. Bahkan urusan raport para
siswa pun harus diselesaikan secara online dengan sebutan raport online.
Secara kasat mata nampak bahwa
pekerjaan berbasis online terkesan mudah. Tetapi dalam praktik
sesungguhnya menguras banyak tenaga dan pikiran. Belum lagi ketika bersentuhan
dengan persoalan teknis seperti masalah jaringan internet.
Bagi saya, sesungguhnya kisah pengabdian
yang berlangsung di dalam ruangan kelas akan memunculkan berbagai macam bentuk
ekspresi perasaan. Terkadang harus meneteskan air mata sebagai bentuk respon
melihat tingkah dari para siswa yang terlampau nakal. Terkadang juga merasa
bangga dan sedikit bahagia ketika ada satu atau dua orang yang sangat aktif.
Tetapi pola interaksi yang terjadi
selama ini di dalam ruangan kelas sebenarnya menceritakan tentang proses
monolog. Hal ini lebih dikarenakan oleh apa yang ditanyakan guru kepada para
siswa seringkali tidak direspon sehingga seorang guru harus menjawab
pertanyaannya sendiri.
Sikap pasif di dalam ruangan kelas
menjadi suatu trend yang dipertontonkan oleh kebanyakan para siswa saat
ini. Ketika seorang guru memberikan atau mengajukan pertanyaan, seringkali
suasana di dalam ruangan menjadi hening dan anehnya lagi hampir semua tertunduk
dan takut untuk menatap guru.
Berkembangnya perilaku seperti ini
dalam pemahaman saya sekurang-kurangnya disebabkan oleh beberapa hal penting: Pertama
anggapan yang sudah lama terkontaminasi dalam diri seorang siswa bahwa guru
adalah segalanya. Artinya guru di sini tahu segalanya. Hal inilah yang membuat
seorang siswa takut untuk memberikan jawaban ketika seorang guru bertanya.
Kedua berkembangnya sikap pasif lebih
dikarenakan oleh sikap ketidakingintahuan dalam diri seorang siswa. Ketiga dikarenakan
oleh adanya suatu pengalaman traumatik yang dialami oleh para siswa.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan dan jawabannya salah lalu gurunya
memberikan sanksi atau hukuman. Peristiwa-peristiwa seperti inilah yang
kemudian membuat para siswa menjadi takut.
Sedikit menyedihkan ketika suasana
yang terjadi di dalam kelas tidak bersifat partisipatif. Sesungguhnya
pengalaman semacam ini dalam pemahaman saya menjadi suatu refleksi yang membutuhkan
waktu panjang, tidak hanya untuk seorang siswa melainkan juga bagi para guru.
Mengakhiri tulisan ini pun, saya
hendak menyampaikan beberapa hal penting tentang strategi menciptakan suasana
ruangan yang partisipatif. Pertama guru dan siswa dipandang sebagai
teman. Anggapan seperti ini tentu saja akan menciptakan pola dialog yang sangat
interaktif dan tidak kaku. Tetapi di sini seorang guru juga tetap
mempertahankan image.
Kedua pemberian respon terhadap siswa.
Memberikan mereka pernyataan sebagai orang yang bodoh dan pintar sesungguhnya
akan berdampak secara psikologis. Sebagaimana yang dikatakan oleh Albert
Einstein bahwa di dunia ini tidak ada orang yang pintar dan yang bodoh, yang
ada hanyalah orang yang lebih dahulu tahu dan yang kemudian tahu.
Oleh: Yulita Hety Sujaya (Guru
Sejarah di SMAK Setia Bakti Ruteng).
KOMENTAR