(Seword) - Keragaman merupakan keniscayaan, pun
dengan perbedaan, dari segi apapun itu. Bayangkan, seandainya semua
ciptaan Allah semua sama, misal manusia semua, tidak ada pohon, binatang
langit dan bumi. Maka, itu hanya akan menyeret pemahaman kita bahwa
Allah tidaklah adil dan bijaksana. Namun, kenyataannya Dia menciptakan
segala sesuatu di dunia ini secara beragam dan berbeda antara satu sama
lain, dengan tujuan agar saling lengkap-melengkapi.
Begitu pun berbeda dalam hal keyakinan dan
agama, itu merupakan keniscayaan yang tak bisa kita ingkari dan
hindari. Sebab, seandainya semua keyakinan sama, misal semua agama
Islam, bukan Kristen, Budha, Hindu dan lain-lain, niscaya banyak soal
yang mempertanyakan di manakah keadilan Allah. Tetapi, nyatanya Dia
menghendaki banyak agama, tidak hanya terpaut pada satu agama. Dia pun
mempersilakan setiap hambanya untuk memilih agama apapun yang
dikehendaknya. Di situlah Allah letak demokrasi Allah.
Letak demokrasi-Nya yang harus kita renungkan ialah saat Dia berfirman dalam kitab-Nya pada (QS. Al-Baqarah: 256) laa ikraha fi ddin (tak
ada paksaan dalam beragama). Itu menunjukkan, bahwa Allah sepenuhnya
menyerahkan hak beragama pada kita, sebab sejatinya beragama merupakan
hak prerogatif setiap individu. Sebab naluri beragama itu muncul dari
ikhtiar manusia, bukan buah paksaan dari-Nya.
Memandang lebih jauh, sedikit demi sedikit
namun pasti, bermunculan sekelompok orang di tengah kita yang
mendakwakan dirinya sebagai pembela Tuhan. Mereka membasmi siapa saja
yang sekiranya berbeda dengannya, dengan dalih membela Tuhan. Lagi-lagi caption
membela Tuhan memang sangat viral dan beredar luas di kalangan umat
beramaga, terlebih umat Muslim. Mereka berupaya membela Tuhan dengan
cara memerangi yang bersebarangan pendapat dengannya. Apakah demikian
cara kita membela Tuhan?
Seperti yang saya utarakan di awal
tulisan, bahwa berbeda pendapat dan pemikiran itu merupakan keniscayaan.
Tak ada alasan seseorang tidak mau bersatu hanya karena berbeda paham
dan keyakinan. Di era pembentukan mazhab-mazhab fikih, Kita bisa
mencotoh para ulama terdahulu, semisal Imam Syafi’i yang berbda
pandangan dengan Imam Maliki. Meski berbeda mereka tetap mengedepankan
adab dan akhlak juga tasamuh.
Bagi mereka, berbeda pandangan bukan
alasan untuk saling menjatuhkan dan bermusuhan. Bahkan keduanya, saling
bertukar pikiran dan belajar bersama. Kehidupan mereka itulah yang
mestinya kita renungkan dan amalkan. Sebab, secara tersirat mereka
menunjukkan akan kedemokrasian dalam beragama, sebagaimana Allah juga
begitu. Adapun mereka yang jumud dalam beragama, yang tidak mencerminkan
nilai demokrasi hanya akan menyeret pada kita akan sebuah pemahaman
Islam yang keras dan beringas.
Jika saja al-Quran dengan gamblang menyatakan (QS. Al-Kaafiruun: 6) lakum dinukum waliyadin
(bagimu agamamu bagiku agamaku), lantas mengapa kita masih
menghalang-halangi manusia yang hendak memeluk agama tertentu. Siapa
kita yang berani mengahalangi orang lain untuk beragama dan berkeyakinan
berdasarkan kemantapan hatinya. Siapa kita yang berani membatasi
pergerakan seseroang untuk menuju Tuhannya. Kita di mata-Nya bukan
siapa-siapa, jadi tak pantas bagi kita memaksa manusia untuk mengikuti
apa yang kita yakini, sebab Allah tidaklah begitu, Allah itu Maha
Demokratis.
Puncak dari sikap Allah yang demokratis
itu bertujuan agar kita sebagai hamba-Nya tidak mudah terpecah-belah,
hanya karena provokasi sebagian orang yang mencoba untuk menggoyangkan
keyakinan kita. Tetaplah berdiri di atas kekayikinan kita, sebab
perbedaan itu bukanlah aib, tetapi sebuah rahmah (kasih
sayang). Dan ketidakmauan Allah kalau hambanya terbecah-belah itu
tertuang dalam al-Quran, “Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang
terpecah belah dan berpisah-pisah.” (QS. Ali Imran: 105).
KOMENTAR