wartantt.com, EKONOMI - DIREKTORAT Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyebutkan utang jatuh tempo sebesar Rp 409 triliun tahun depan berasal dari pengadaan utang sebelum 2015 atau sebelum pemerintahan Joko Widodo menjabat.
Porsinya mencapai lebih dari 50% total utang yang akan jatuh tempo.
"Untuk 2019, dari jumlah Rp 409 triliun utang yang jatuh tempo, 57% merupakan jatuh tempo dari pengadaan utang sebelum 2015," kata Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Schneider Siahaan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (21/8).
Adapun kontribusi jatuh tempo yang diadakan dalam periode 2015 sampai dengan 2017 mencapai 32,5% atau Rp51,2 triliun merupakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Ritel.
Pengadaan utang di 2018 yang jatuh tempo di 2019 sebesar 10,5% merupakan penerbitan instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan SPN Syariah (SPNS).
Sementara itu, utang pemerintah yang jatuh tempo 2018 sebesar Rp 396 triliun merupakan akumulasi pengadaan utang dari tahun-tahun sebelumnya. Sebanyak 44 persen dari jumlah tersebut adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 atau sebelum Presiden Jokowi menjabat.
Jumlah utang yang diadakan selama periode 2015 hingga 2016 sebesar Rp 98 triliun, terbesar adalah pengadaan SBN Ritel ORI dan Sukuk Ritel sebesar Rp 49,4 triliun.
SBN Ritel diterbitkan untuk memperluas basis investor dalam negeri dan mengurangi risiko kurs utang pemerintah serta untuk memperkuat pasar keuangan domestik dan mendukung penguatan keuangan inklusif.
Dari pengadaan utang 2017 yang bertenor di bawah satu tahun dan jatuh tempo pada 2018 sebesar 31,5% merupakan penerbitan SPN/SPNS yang bertujuan untuk pemenuhan cash mismatch pemerintah dalam rangka cash management dan pengembangan pasar SBN domestik.
“Jadi, makanya kalau kita bicara seolah-olah utang jatuh tempo segini jadi beban administrasi sekarang, itu tidak fair. Itu dari semua pemerintahan sebelumnya begitu dan secara konstitusi sudah disahkan melalui Undang-Undang APBN. Jadi, apa yang ada sekarang itu taken for granted, diterima sama-sama untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera,”
Fokus pada pemerintahan Joko Widodo adalah membangun infrastruktur, kesehatan, dan sumber daya manusia. Maka kemudian dihitung kebutuhan dana untuk mencapai itu, dari berapa belanjanya, dan penerimaannya.
Ketika dilihat masih ada yang kurang , pilihannya mengurangi dan menyesuaikan dengan penerimaannya atau belanjanya dipotong disesuaikan dengan penerimaan atau bisa juga belanja tetap fokus untuk yang penting. Namun karena penerimaan hanya bisa memenuhi sebagian belanja, sisanya dipenuhi dari utang.
“Pertimbangan itu yang dilakukan selama budget masih defisit. Poinnya adalah, untuk membiayai belanja . Logikanya kalau belanja tidak ada, utang tidak ada. Adapun utang sekarang efek dari belanja tadi. Belanja terjadi karena kebutuhan, kebutuhan untuk membangun Indonesia,”
Namun beruntung, kata dia, karena bentuk utang dalam lebih banyak dalam rupiah. Sehingga tidak terlalu pengaruhnya depresiasi.
“Porsi FX (valas) terhadap total utang sudah 40 persen, jadi lebih banyak rupiahnya. Itu dibangun dari zaman dulu pinjaman masih dollar semua. Sekarang sekitar 60 % dalam rupiah, sudah besar. Perkiraan kita porsi rupiahnya 60 persen sampai akhir tahun,”
Pengelolaan utang itu , kata Schneider, pemerintah mengatur jatuh temponya, supaya jangan sampai jatuh tempo semua dalam satu tahun.
“Sekarang kan (utang) ada Rp 4.000 triliun ya, kami atur supaya rata-rata tenornya hampir 9 tahun. Jadi, tidak ada jatuh tempo dalam setahun besar-besar. Itupun rata-rata, mungkin jatuh tempo tahun depan lebih rendah lagi. Bagaimana melihat itu wajar atau tidak, lihat penerimaan kita. Penerimaan perpajakan, pajak dan bea cukai, serta PNBP berapa. Skenario terburuknya, kalau tidak bisa dapat pembiayaan dari market, kita harus bayar dari pajak. Pajak kita Rp 2.000 triliun lebih tahun 2018, utang kita sekitar 2019 Rp 400 triliun. Kalau kita tidak bisa refinance utang kita, terpaksa kurangi belanja dari pajak tadi. Mampukah kita? Mampu, karena pajak kita lebih tinggi,” tukas Schneider.
KOMENTAR