Dalam banyak dialog tentang terorisme dan perkembangannya, ada
segelintir pengamat yang mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia gagal
mencegah aktivitas terorisme di Indonesia. Alasan yang paling sering
dikemukakan adalah karena masih terjadi peledakan bom dan masih maraknya
penangkapan oleh aparat. Ada juga pengamat yang mengatakan bahwa
deradikalisasi, rehabilitasi, dan re-edukasi tidak efektif. Banyak lagi
alasan lain yang sepertinya menafikan upaya-upaya yang dilakukan secara
masif oleh otoritas negara.
Masih ada pengamat yang memosisikan diri seperti penonton sepak bola, yang mengomentari arah tendangan, penjagaan sudut gawang, serta refleks dan respons penjaga gawang yang keliru—padahal sang penonton sebetulnya tidaklah pandai bermain bola. Pengamat sebetulnya adalah orang yang melakukan pengamatan, mengamat-amati, melihat dengan cermat atas suatu aktivitas akan kegiatan. Seorang pengamat biasanya menggunakan nalar-nalar akademis berbasis research—walaupun terkadang minim menggunakan nalar-nalar praktis oleh pihak yang terlibat atau pernah terlibat.
Akibatnya, untuk membahas masalah terorisme, pengamat menggunakan data penelitian dari sumber-sumber acak, terpilih atau data lain. Padahal, untuk melakukan dialog dan wawancara mendalam (khususnya dengan teroris) biasanya sulit dilakukan.
Penulis sudah melakukan pertemuan dan dialog mendalam sejak 2007 hingga saat ini dengan hampir semua tokoh prominen inti dari sel teroris, baik yang ada dalam penjara maupun yang sudah bebas. Hampir semua mengatakan tidak pernah bertemu dengan pengamat a, b, dan c.
Dari semua yang pernah penulis hubungi, tidak satu pun dari mereka yang mau dijadikan responden atas sebuah penelitian akademis. Penulis sangat memahami sikap itu karena mereka bukanlah orang-orang selebritas yang mau diekspos. Sungguhpun mereka sudah menjadi kelompok yang ”bertobat” tidak berarti mereka mau diekspos. Hanya sebagian kecil yang kemudian mau tampil di media.
Ukuran pencegahan terorisme
Bagaimana mengukur gagal dan berhasilnya otoritas Indonesia mencegah terorisme?
Ibarat kita bertemu orang yang kurus, tentu tidak serta-merta kita akan mengatakan, ”Oh, bapak kurang sehat. Bapak kekurangan nutrisi. Bapak kurang olahraga dan bla-bla-bla.” Bisa jadi orang kurus karena keturunan keluarganya memang keluarga yang rata-rata kurus. Bisa jadi dia senantiasa mempertahankan penampilannya agar senantiasa kurus karena dia menghindari obesitas.
Akan tetapi, untuk seorang sahabat yang sudah bertahun-tahun atau bahkan dari kecil sudah dekat keseharian sama si kurus itu, dialah yang paling tahu kenapa dia sangat kurus. Dalam konteks teroris juga sama kacamata pengamat (khususnya pengamat domestik) terkadang salah analisis.
Penulis dalam berbagai pertemuan tingkat regional dan internasional sudah bertemu dengan pengamat-pengamat terorisme dunia. Terakhir pada saat counter–terrorism conference di India pada Maret 2017. Pendapat mereka pun beragam. Hampir dipastikan pengamat-pengamat dunia akan berbeda pendapat dengan sebagian pengamat domestik Indonesia.
Pengamat dunia hampir semua mengatakan, Indonesia sukses mencegah berkembangnya terorisme, deradikalisasi yang dilakukan sangat efektif, penegakan hukum di Indonesia berjalan baik, dan patut dijadikan contoh.
Dalam pertemuan tersebut, misalnya, pengamat dari Rajaratnam Singapura, Prof Bilveer Singh, mengatakan, Indonesia sukses besar melakukan pencegahan dan deradikalisasi.
Sekadar menyimak pendapat ahli tersebut, sebetulnya apa yang menjadi tolok ukur pengamat dunia tentang kisah sukses tersebut?
Penulis mencoba menyimpulkan. Pertama, satu-satunya negara di dunia yang mampu mengidentifikasi, menelisik jaringan, dan menangkap semua elemen inti teroris adalah Indonesia. Gerakan terorisme mulai dari DI, TII, NII sampai Al Jamaah Al islamiyah yang berafiliasi dengan Al Qaeda, generasi ke-1 sampai generasi ke-4, semua bisa diungkap. Tokoh-tokoh sentral semua bisa ditangkap dan 90 persen pelaku masuk dalam sentuhan program deradikalisasi dan rehabilitasi.
Kedua; secara kuantitatif, terorisme menurun drastis. Tahun 2016 dan 2017, hanya terjadi lima kasus terorisme, jauh menurun dibandingkan pada tahun 2015, 2014, sampai tahun 2000. Sebaliknya sel-sel pendukung yang bisa dijerat pidana, ditangkap.
Ketiga, secara kualitatif dari aspek pelaku, kita bisa melihat pelaku kasus pada tahun 2016 dan 2017 untuk lima kasus terakhir. Rata-rata, pelaku memiliki keraguan untuk melakukan bunuh diri. Kasus Samarinda dan Cicendo adalah contoh betapa kematian bukanlah tujuan sebagaimana jaringan teroris JI dahulu, di mana mati saat eksekusi, saat konfrontasi, dan saat aksi merupakan tujuan.
Bom-bom yang dibuat teroris pada tahun 2017 rata-rata berdaya ledak rendah dengan shattering dan pushing effect rendah memakai black powder. Pelaku rata-rata melempar bom dan kemudian menyelamatkan diri. Bandingkan dengan tiga pelaku Bom Bali yang ingin diledakkan bersamaan dengan bahan peledak berdaya ledak tinggi plus amunium nitrat 1,2 ton, di mana Asmar Latin Sani, sang pelaku, memang menyiapkan untuk mati saat eksekusi.
Begitu pun bom Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta, dengan mobil boks berdaya ledak tinggi di mana Hery Gulun, sang pelaku, berniat bersama dengan meledaknya bom tersebut.
Terorisme pada zaman Orde Baru juga tidak kalah hebatnya. Hanya pada era Orde Baru terjadi pembajakan pesawat (pada 28 Maret 1981) yang meniru pembajakan JAL di Dakha pada tahun 1977. Pada era Orde Baru juga terjadi penyerangan empat kantor perwakilan asing secara bersamaan dengan roket oleh Tsutomo Shirosaki pada 14 Mei 1986, dan pelakunya tidak pernah tertangkap oleh otoritas Indonesia.
Terorisme pada era Orde Lama juga lebih parah. Presiden Soekarno sebanyak 23 kali direncanakan untuk dibunuh dan 6 kali di antaranya nyaris mencederai Presiden Soekarno.
Pada tahun 1957, terjadi penyerangan di Cikini. Pada 9 November 1960, terjadi serangan dengan pesawat Mig 17. Pada 1962, Presiden Soekarno diserang di Stadiun Matoangin dan Masjid Baiturachman di UjungPandang.
Melihat berbagai peristiwa pada era Orde Lama dan Orde Baru ini, dan sejak Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, apakah ada kedutaan besar di Jakarta diserang? Apakah ada pembajakan pesawat? Apakah ada pimpinan negara diserang?
Keempat, sebagian tokoh teroris senior generasi ke-1 sampai generasi ke-4 menyadari kekeliruan mereka, bahkan ikut membantu program pemerintah. Bandingkan pada masa lalu dengan Undang-Undang PNPS Nomor 11 Tahun 1963, tidak ada pendekatan soft seperti yang sekarang dilakukan. Negara mana yang bisa memosisikan tokoh senior sebagai mitra negara? Mungkin ini hanya terjadi di Indonesia.
Kelima, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengoordinasikan 31 kementerian dan lembaga secara bersama-sama melakukan program pencegahan (soft aproach). Apakah ada negara lain yang melakukan hal seperti ini? Apakah ada negara yang melakukan pendekatan kearifan lokal seperti di Indonesia? Bukankah di negara-negara maju para napi teroris ditempatkan di tempat khusus dengan pengawasan 1 x 24 jam dalam super maximum detention.
Apa kendala Indonesia saat ini?
Persoalan deradikalisasi dan pencegahan terorisme saat ini efektif. Saat tujuh negara di dunia ditargetkan teroris untuk diserang sukses diserang, justru di Indonesia mampu digagalkan oleh aparat.
Saat negara lain melakukan program pencegahan dengan hard approach, Indonesia mengedepankan pendekatan kearifan lokal dan budaya. Pelanggaran hak asasi manusia hampir tidak terjadi. Semua tersangka bermuara pada penegakan hukum. Penangkapan dilakukan dalam rangka penegakan hukum untuk pencegahan (preventive justice).
Yang diperlukan Indonesia adalah regulasi yang tepat dan efektif, dan dukungan masyarakat, termasuk pengamat yang kredibel, serta peran keluarga dalam mencegah radikalisasi melalui lingkungan keterpengaruhan dan dunia maya.
Brigadir Jenderal Polisi Hamidin adalah Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Masih ada pengamat yang memosisikan diri seperti penonton sepak bola, yang mengomentari arah tendangan, penjagaan sudut gawang, serta refleks dan respons penjaga gawang yang keliru—padahal sang penonton sebetulnya tidaklah pandai bermain bola. Pengamat sebetulnya adalah orang yang melakukan pengamatan, mengamat-amati, melihat dengan cermat atas suatu aktivitas akan kegiatan. Seorang pengamat biasanya menggunakan nalar-nalar akademis berbasis research—walaupun terkadang minim menggunakan nalar-nalar praktis oleh pihak yang terlibat atau pernah terlibat.
Akibatnya, untuk membahas masalah terorisme, pengamat menggunakan data penelitian dari sumber-sumber acak, terpilih atau data lain. Padahal, untuk melakukan dialog dan wawancara mendalam (khususnya dengan teroris) biasanya sulit dilakukan.
Penulis sudah melakukan pertemuan dan dialog mendalam sejak 2007 hingga saat ini dengan hampir semua tokoh prominen inti dari sel teroris, baik yang ada dalam penjara maupun yang sudah bebas. Hampir semua mengatakan tidak pernah bertemu dengan pengamat a, b, dan c.
Dari semua yang pernah penulis hubungi, tidak satu pun dari mereka yang mau dijadikan responden atas sebuah penelitian akademis. Penulis sangat memahami sikap itu karena mereka bukanlah orang-orang selebritas yang mau diekspos. Sungguhpun mereka sudah menjadi kelompok yang ”bertobat” tidak berarti mereka mau diekspos. Hanya sebagian kecil yang kemudian mau tampil di media.
Ukuran pencegahan terorisme
Bagaimana mengukur gagal dan berhasilnya otoritas Indonesia mencegah terorisme?
Ibarat kita bertemu orang yang kurus, tentu tidak serta-merta kita akan mengatakan, ”Oh, bapak kurang sehat. Bapak kekurangan nutrisi. Bapak kurang olahraga dan bla-bla-bla.” Bisa jadi orang kurus karena keturunan keluarganya memang keluarga yang rata-rata kurus. Bisa jadi dia senantiasa mempertahankan penampilannya agar senantiasa kurus karena dia menghindari obesitas.
Akan tetapi, untuk seorang sahabat yang sudah bertahun-tahun atau bahkan dari kecil sudah dekat keseharian sama si kurus itu, dialah yang paling tahu kenapa dia sangat kurus. Dalam konteks teroris juga sama kacamata pengamat (khususnya pengamat domestik) terkadang salah analisis.
Penulis dalam berbagai pertemuan tingkat regional dan internasional sudah bertemu dengan pengamat-pengamat terorisme dunia. Terakhir pada saat counter–terrorism conference di India pada Maret 2017. Pendapat mereka pun beragam. Hampir dipastikan pengamat-pengamat dunia akan berbeda pendapat dengan sebagian pengamat domestik Indonesia.
Pengamat dunia hampir semua mengatakan, Indonesia sukses mencegah berkembangnya terorisme, deradikalisasi yang dilakukan sangat efektif, penegakan hukum di Indonesia berjalan baik, dan patut dijadikan contoh.
Dalam pertemuan tersebut, misalnya, pengamat dari Rajaratnam Singapura, Prof Bilveer Singh, mengatakan, Indonesia sukses besar melakukan pencegahan dan deradikalisasi.
Sekadar menyimak pendapat ahli tersebut, sebetulnya apa yang menjadi tolok ukur pengamat dunia tentang kisah sukses tersebut?
Penulis mencoba menyimpulkan. Pertama, satu-satunya negara di dunia yang mampu mengidentifikasi, menelisik jaringan, dan menangkap semua elemen inti teroris adalah Indonesia. Gerakan terorisme mulai dari DI, TII, NII sampai Al Jamaah Al islamiyah yang berafiliasi dengan Al Qaeda, generasi ke-1 sampai generasi ke-4, semua bisa diungkap. Tokoh-tokoh sentral semua bisa ditangkap dan 90 persen pelaku masuk dalam sentuhan program deradikalisasi dan rehabilitasi.
Kedua; secara kuantitatif, terorisme menurun drastis. Tahun 2016 dan 2017, hanya terjadi lima kasus terorisme, jauh menurun dibandingkan pada tahun 2015, 2014, sampai tahun 2000. Sebaliknya sel-sel pendukung yang bisa dijerat pidana, ditangkap.
Ketiga, secara kualitatif dari aspek pelaku, kita bisa melihat pelaku kasus pada tahun 2016 dan 2017 untuk lima kasus terakhir. Rata-rata, pelaku memiliki keraguan untuk melakukan bunuh diri. Kasus Samarinda dan Cicendo adalah contoh betapa kematian bukanlah tujuan sebagaimana jaringan teroris JI dahulu, di mana mati saat eksekusi, saat konfrontasi, dan saat aksi merupakan tujuan.
Bom-bom yang dibuat teroris pada tahun 2017 rata-rata berdaya ledak rendah dengan shattering dan pushing effect rendah memakai black powder. Pelaku rata-rata melempar bom dan kemudian menyelamatkan diri. Bandingkan dengan tiga pelaku Bom Bali yang ingin diledakkan bersamaan dengan bahan peledak berdaya ledak tinggi plus amunium nitrat 1,2 ton, di mana Asmar Latin Sani, sang pelaku, memang menyiapkan untuk mati saat eksekusi.
Begitu pun bom Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta, dengan mobil boks berdaya ledak tinggi di mana Hery Gulun, sang pelaku, berniat bersama dengan meledaknya bom tersebut.
Terorisme pada zaman Orde Baru juga tidak kalah hebatnya. Hanya pada era Orde Baru terjadi pembajakan pesawat (pada 28 Maret 1981) yang meniru pembajakan JAL di Dakha pada tahun 1977. Pada era Orde Baru juga terjadi penyerangan empat kantor perwakilan asing secara bersamaan dengan roket oleh Tsutomo Shirosaki pada 14 Mei 1986, dan pelakunya tidak pernah tertangkap oleh otoritas Indonesia.
Terorisme pada era Orde Lama juga lebih parah. Presiden Soekarno sebanyak 23 kali direncanakan untuk dibunuh dan 6 kali di antaranya nyaris mencederai Presiden Soekarno.
Pada tahun 1957, terjadi penyerangan di Cikini. Pada 9 November 1960, terjadi serangan dengan pesawat Mig 17. Pada 1962, Presiden Soekarno diserang di Stadiun Matoangin dan Masjid Baiturachman di UjungPandang.
Melihat berbagai peristiwa pada era Orde Lama dan Orde Baru ini, dan sejak Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, apakah ada kedutaan besar di Jakarta diserang? Apakah ada pembajakan pesawat? Apakah ada pimpinan negara diserang?
Keempat, sebagian tokoh teroris senior generasi ke-1 sampai generasi ke-4 menyadari kekeliruan mereka, bahkan ikut membantu program pemerintah. Bandingkan pada masa lalu dengan Undang-Undang PNPS Nomor 11 Tahun 1963, tidak ada pendekatan soft seperti yang sekarang dilakukan. Negara mana yang bisa memosisikan tokoh senior sebagai mitra negara? Mungkin ini hanya terjadi di Indonesia.
Kelima, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengoordinasikan 31 kementerian dan lembaga secara bersama-sama melakukan program pencegahan (soft aproach). Apakah ada negara lain yang melakukan hal seperti ini? Apakah ada negara yang melakukan pendekatan kearifan lokal seperti di Indonesia? Bukankah di negara-negara maju para napi teroris ditempatkan di tempat khusus dengan pengawasan 1 x 24 jam dalam super maximum detention.
Apa kendala Indonesia saat ini?
Persoalan deradikalisasi dan pencegahan terorisme saat ini efektif. Saat tujuh negara di dunia ditargetkan teroris untuk diserang sukses diserang, justru di Indonesia mampu digagalkan oleh aparat.
Saat negara lain melakukan program pencegahan dengan hard approach, Indonesia mengedepankan pendekatan kearifan lokal dan budaya. Pelanggaran hak asasi manusia hampir tidak terjadi. Semua tersangka bermuara pada penegakan hukum. Penangkapan dilakukan dalam rangka penegakan hukum untuk pencegahan (preventive justice).
Yang diperlukan Indonesia adalah regulasi yang tepat dan efektif, dan dukungan masyarakat, termasuk pengamat yang kredibel, serta peran keluarga dalam mencegah radikalisasi melalui lingkungan keterpengaruhan dan dunia maya.
Brigadir Jenderal Polisi Hamidin adalah Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
KOMENTAR