wartantt.com- Chairman The Lead Institute Universitas
Paramadina, Suratno, menilai bahwa fenomena politisasi agama untuk
meraih kekuasaan yang berkembang belakangan ini, khususnya di DKI
Jakarta, bukanlah hal baru.
Dia mengatakan kalau fenomena semacam itu sudah pernah terjadi sebelumnya, persisnya di Pilpres 2014 lalu. Tetapi, apa yang terjadi di DKI beberapa waktu terakhir ini, sudah semakin menguat.
Sebagaimana diketahui, fenomena ini memang bukan isapan jempol belaka. Sebab, kalau melihat dari kasus-kasus yang terjadi, mulai dari kemunculan spanduk-spanduk provokatif agar tidak memilih pemimpin non-muslim; spanduk ancaman tidak akan menyalati jenazah pendukung calon gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan seterusnya, menjadi bukti nyata menguatnya fenomena itu.
“Politisasi agama bukan barang baru. Pilpres 2014 juga kentara tentang hal itu. Cuma Pilkada DKI makin menguat politisasinya,” terang Suratno, ditulis Senin (3/4/2017).
Suratno yang juga dosen di Universitas Paramadina ini menyatakan bahwa penyebab utama dari kemunculan politisasi agama itu karena faktor identitas Ahok yang selama ini memang dikenal sebagai non-muslim, dan ditambah lagi yang bersangkutan terkena kasus dugaan penodaan agama.
“Salah satunya karena satu paslon non-muslim yakni Pak Ahok. Di Pilpres 2014 kan nggak gitu,” sambung Suratno.
Selain penyebab utama itu, Suratno memandang bahwa memang ada dua faktor penting lain yang turut memperkuat fenomena politisasi agama tersebut, yakni para politisi yang dengan sengaja memainkan isu itu untuk meraih kekuasaan dan karena faktor rendahnya literasi media dari sebagian masyarakat.
“Fenomenanya dua hal. Satu, ada politisi-politisi busuk yang memainkan isu ini utuk meraup suara atau keuntungan politik. Mereka berselingkuh dengan provokator termasuk ulama, dai, khatib, cyber army, media cetak dan lain-lain. Kedua, memang ada sebagian masyarakat kita yang literasi medianya belum bagus; ghiroh agama dalam arti simbolik sedang tinggi-tingginya, dan lain-lain. Jadi mereka gampang ‘kemakan’ isu agama,” terang Suratno.
Dua faktor itu (politisi yang mempolitisir agama dan rendahnya literasi media), kata Suratno, menemukan momentumnya di Pilkada DKI. Sehingga ketika isu politisasi agama ini dimainkan oleh para politisi tersebut, maka sebagian masyarakat yang notabene tak memiliki literasi media yang cukup, akan gampang terseret ke pusaran isu itu.
“Jadi, pihak kesatu dan kedua ketemu momentum di Pilkada, dan ibarat sumbu ketemu tutup,” katanya mengibaratkan.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan mempannya isu politisasi agama di tengah-tengah masyarakat DKI Jakarta yang sebagian besar bisa dibilang sudah menjadi pemilih rasional (rational voter), Suratno mengatakan ada dua kemungkinan, dalam arti kata bisa mempan atau bisa tidak sama sekali.
“Bisa iya bisa tidak. Tidak semua rational voter dan preferensi politik itu multy factors. Jadi tergantung bagaimana pihak-pihak yang konsern dengan politisasi agama, dari pemerintah, media, ormas, sekolah, keluarga dalam mengcounter isu itu,” terangnya.
“So far, saya kira responnya cukup baik apalagi ini DKI. Sehingga untuk kasus DKI sih, saya kira nggak mempan. Kalaupun mempan, karena ada faktor eksternal,” katanya.
Walaupun begitu, dia menilai bahwa politisasi agama ini sangat berbahaya bagi budaya demokrasi yang ada di negeri ini. “Tapi memang apapun itu, politisasi agama berbahaya bagi demokrasi kita,” sambungnya.
Siapa Penikmat dan Korbannya?
Ketika ditanya mengenai siapa yang menikmati dan menjadi korban dalam kasus fenomena politisasi agama ini, tidak tanggung-tanggung Suratno menyebut bahwa penikmatnya adalah pasangan Anies-Sandi dan korban paling nyata dari isu itu adalah pasangan Ahok-Djarot.
Suratno menyatakan demikian bukan tanpa alasan, sebab menurutnya pasangan Anies-Sandi selama ini mendapat sokongan dan dukungan dari ormas-ormas Islam tertentu untuk menekan pasangan Ahok-Djarot.
“Ya paslon yang dibacking kelompok islamis yakni Anies-sandi, dan yang dirugikan Ahok-Djarot dan pendukungnya. Bahkan sampai disebut munafik. Harus tahan sabar kalau jumatan/pengajian, gak disholati jenazahnya, dan lain-lain,” tegas Suratno.
Selanjutnya, dari fenomena politisasi agama itu, Suratno menilai bahwa masyarakat bisa mengambil dua hikmah penting.
“Pertama, public education khususnya media literacy. Karena politisasi agama juga memanfaatkan hoax dan fitnah. Kedua, tantangan penyebaran Islam moderat, toleran, menjunjung tinggi kebhinekaan masih menghadang,” sebutnya.
Tidak hanya itu saja, Suratno juga menganggap bahwa di dalam kasus ini, pasangan Ahok-Djarot, sekalipun menjadi korban, pada akhirnya juga diuntungkan. Karena politisasi agama itu menjadi bumerang bagi para pasangan Anies-Sandi dan tim suksesnya.
“Ya itu blunder bagi kelompok jahat. Karma dan berkah bagi yang didzalimi. Klo disebut dramaturgi nggak juga. Kan faktual dan memang real kasus-kasus politisasinya. Jadi gak ada urusan sama politik pencitraan (seolah-olah). Kurang repot apa? Pak Ahok sampai harus sidang gara-gara kasus politis. Belum fitnah-fitnah lainnya. Didemo berjilid-jilid, dan lain-lain. Termasuk sari roti kena getahnya,” katanya sambil tertawa.
Suratno melihat bahwa implikasi paling nyata dari isu politisasi agama ini, terutama bagi demokrasi dan bangsa ini, adalah pembodohan kepada masyarakat luas dan tentu saja akan merusak nilai-nilai kebhinekaan yang selama ini terajut dengan baik.
“Pembodohan publik dan merobek tenun kebangsaan,” terangnya.
Terakhir, Suratno berpesan kepada kedua pasang calon agar senantiasa menjadi negarawan dan bukan politisi rendahan.
“Ya harus jadi negarawan. Jangan jadi politisi rendahan yang menghalalkan segala cara karena ambisi berkuasa. Bahaya dan gak berkah, tandasnya.
Dia mengatakan kalau fenomena semacam itu sudah pernah terjadi sebelumnya, persisnya di Pilpres 2014 lalu. Tetapi, apa yang terjadi di DKI beberapa waktu terakhir ini, sudah semakin menguat.
Sebagaimana diketahui, fenomena ini memang bukan isapan jempol belaka. Sebab, kalau melihat dari kasus-kasus yang terjadi, mulai dari kemunculan spanduk-spanduk provokatif agar tidak memilih pemimpin non-muslim; spanduk ancaman tidak akan menyalati jenazah pendukung calon gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan seterusnya, menjadi bukti nyata menguatnya fenomena itu.
“Politisasi agama bukan barang baru. Pilpres 2014 juga kentara tentang hal itu. Cuma Pilkada DKI makin menguat politisasinya,” terang Suratno, ditulis Senin (3/4/2017).
Suratno yang juga dosen di Universitas Paramadina ini menyatakan bahwa penyebab utama dari kemunculan politisasi agama itu karena faktor identitas Ahok yang selama ini memang dikenal sebagai non-muslim, dan ditambah lagi yang bersangkutan terkena kasus dugaan penodaan agama.
“Salah satunya karena satu paslon non-muslim yakni Pak Ahok. Di Pilpres 2014 kan nggak gitu,” sambung Suratno.
Selain penyebab utama itu, Suratno memandang bahwa memang ada dua faktor penting lain yang turut memperkuat fenomena politisasi agama tersebut, yakni para politisi yang dengan sengaja memainkan isu itu untuk meraih kekuasaan dan karena faktor rendahnya literasi media dari sebagian masyarakat.
“Fenomenanya dua hal. Satu, ada politisi-politisi busuk yang memainkan isu ini utuk meraup suara atau keuntungan politik. Mereka berselingkuh dengan provokator termasuk ulama, dai, khatib, cyber army, media cetak dan lain-lain. Kedua, memang ada sebagian masyarakat kita yang literasi medianya belum bagus; ghiroh agama dalam arti simbolik sedang tinggi-tingginya, dan lain-lain. Jadi mereka gampang ‘kemakan’ isu agama,” terang Suratno.
Dua faktor itu (politisi yang mempolitisir agama dan rendahnya literasi media), kata Suratno, menemukan momentumnya di Pilkada DKI. Sehingga ketika isu politisasi agama ini dimainkan oleh para politisi tersebut, maka sebagian masyarakat yang notabene tak memiliki literasi media yang cukup, akan gampang terseret ke pusaran isu itu.
“Jadi, pihak kesatu dan kedua ketemu momentum di Pilkada, dan ibarat sumbu ketemu tutup,” katanya mengibaratkan.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan mempannya isu politisasi agama di tengah-tengah masyarakat DKI Jakarta yang sebagian besar bisa dibilang sudah menjadi pemilih rasional (rational voter), Suratno mengatakan ada dua kemungkinan, dalam arti kata bisa mempan atau bisa tidak sama sekali.
“Bisa iya bisa tidak. Tidak semua rational voter dan preferensi politik itu multy factors. Jadi tergantung bagaimana pihak-pihak yang konsern dengan politisasi agama, dari pemerintah, media, ormas, sekolah, keluarga dalam mengcounter isu itu,” terangnya.
“So far, saya kira responnya cukup baik apalagi ini DKI. Sehingga untuk kasus DKI sih, saya kira nggak mempan. Kalaupun mempan, karena ada faktor eksternal,” katanya.
Walaupun begitu, dia menilai bahwa politisasi agama ini sangat berbahaya bagi budaya demokrasi yang ada di negeri ini. “Tapi memang apapun itu, politisasi agama berbahaya bagi demokrasi kita,” sambungnya.
Siapa Penikmat dan Korbannya?
Ketika ditanya mengenai siapa yang menikmati dan menjadi korban dalam kasus fenomena politisasi agama ini, tidak tanggung-tanggung Suratno menyebut bahwa penikmatnya adalah pasangan Anies-Sandi dan korban paling nyata dari isu itu adalah pasangan Ahok-Djarot.
Suratno menyatakan demikian bukan tanpa alasan, sebab menurutnya pasangan Anies-Sandi selama ini mendapat sokongan dan dukungan dari ormas-ormas Islam tertentu untuk menekan pasangan Ahok-Djarot.
“Ya paslon yang dibacking kelompok islamis yakni Anies-sandi, dan yang dirugikan Ahok-Djarot dan pendukungnya. Bahkan sampai disebut munafik. Harus tahan sabar kalau jumatan/pengajian, gak disholati jenazahnya, dan lain-lain,” tegas Suratno.
Selanjutnya, dari fenomena politisasi agama itu, Suratno menilai bahwa masyarakat bisa mengambil dua hikmah penting.
“Pertama, public education khususnya media literacy. Karena politisasi agama juga memanfaatkan hoax dan fitnah. Kedua, tantangan penyebaran Islam moderat, toleran, menjunjung tinggi kebhinekaan masih menghadang,” sebutnya.
Tidak hanya itu saja, Suratno juga menganggap bahwa di dalam kasus ini, pasangan Ahok-Djarot, sekalipun menjadi korban, pada akhirnya juga diuntungkan. Karena politisasi agama itu menjadi bumerang bagi para pasangan Anies-Sandi dan tim suksesnya.
“Ya itu blunder bagi kelompok jahat. Karma dan berkah bagi yang didzalimi. Klo disebut dramaturgi nggak juga. Kan faktual dan memang real kasus-kasus politisasinya. Jadi gak ada urusan sama politik pencitraan (seolah-olah). Kurang repot apa? Pak Ahok sampai harus sidang gara-gara kasus politis. Belum fitnah-fitnah lainnya. Didemo berjilid-jilid, dan lain-lain. Termasuk sari roti kena getahnya,” katanya sambil tertawa.
Suratno melihat bahwa implikasi paling nyata dari isu politisasi agama ini, terutama bagi demokrasi dan bangsa ini, adalah pembodohan kepada masyarakat luas dan tentu saja akan merusak nilai-nilai kebhinekaan yang selama ini terajut dengan baik.
“Pembodohan publik dan merobek tenun kebangsaan,” terangnya.
Terakhir, Suratno berpesan kepada kedua pasang calon agar senantiasa menjadi negarawan dan bukan politisi rendahan.
“Ya harus jadi negarawan. Jangan jadi politisi rendahan yang menghalalkan segala cara karena ambisi berkuasa. Bahaya dan gak berkah, tandasnya.
KOMENTAR