Saya bulak balik ditantang untuk
datang ke acara Zakir Naik, supaya dapat pencerahan katanya. Saya malah bingung, apa
keuntungannya buat saya ya? Sama sekali tidak ada. Zakir Naik hanya satu dari
sekian ribu orang yang mempelajari kitab suci dengan tafsiran terhadap ayat
yang berbeda.
Kalau dari segi keilmuan, okelah,
Zakir Naik emang top. Dia hapal begitu banyak kitab suci lintas agama yang
bahkan belum tentu mampu dihapal oleh para pemeluknya. Tapi dari segi pemahaman
terhadap isi kitab, nanti dulu.
Penafsiran Zakir Naik terhadap
kalimat-kalimat dalam kitab suci yang harus dipelajari kapan, dimana, kepada
siapa dan bagaimana ayat itu disampaikan, saya yakin tidak ada apa-apanya
dibandingkan Kyai-kyai NU.
Zakir Naik hanya melakukan
perbandingan antar ayat di kitab suci A dengan kitab suci B. Dan langsung
memberikan kesimpulan bahwa artinya itu begini. Padahal bisa jadi pemahamannya
berbeda, hanya karena redaksionalnya yang mirip-mirip langsung ditabrakkan
kedua-duanya dengan bahasa "Itu perintah Allah".
Namanya kitab suci ya jelas itu
perintah Tuhan. Masalahnya, benarkah maksud Tuhan sesuai maksud Zakir Naik?
Gak usah jauh-jauh ke Zakir Naik.
Contoh saja Mamah Dedeh.
Saya juga heran betapa beraninya
seorang Mamah Dedeh membuat sebuah penafsiran bahkan fatwa atau perintah, hanya
berdasarkan pemahamannya yang rendah terhadap ayat. Siapa Mamah Dedeh?
Pendidikan apa yang sudah dilaluinya hingga berani mengatas-namakan perintah
Allah berdasarkan tafsirannya?
Mungkin ketika Mamah Dedeh
tiba-tiba "berfatwa", "Ini haram !!" Malaikat langsung
mencibir, "Elu sapeee?".
Menafsirkan apa maksud Tuhan
dalam sebuah kitab suci bukan perkara mudah. Di kalangan ulama top saja banyak
perbedaan pendapat.
Di Iran ada jenjang untuk bisa
menafsirkan kalam Tuhan. 10-15 tahun, sebagai talabeh atau pelajar ilmu agama
dengan mempelajari seluruh kitab suci yang ada. Kalau sudah lulus dari sana,
tambah lagi sekolah 5-10 tahun untuk menjadi hujjatul Islam. Hujjatul Islam
bisa memberikan penafsiran, tapi belum boleh berfatwa. Mereka harus sekolah
5-10 tahun lagi dan jika lulus menjadi Ayatullah - atau para fakih yang bisa
mengeluarkan fatwa.
Jadi bayangkan, untuk
mengeluarkan sebuah fatwa saja, perjalanan mereka panjang sekali. Bisa usia
70-80 tahun baru disana disebut ulama. Begitu juga di Mesir, kurang lebih sama.
Nah, bandingkan dengan Zakir Naik
-apalagi Mamah Dedeh- yang mendadak jadi rujukan banyak orang. Ulama itu
tanggung-jawabnya sangat berat karena dia rujukan umat, sebab fatwa ibarat
pedang runcing nan tajam yang bisa menggorok leher mereka sendiri.
Tapi pasar memang berbeda. Fatwa
menjadi industri baru yang harus diproduksi sebagai sebuah barang siap makan.
Komersialisasi ulama menjadikan banyak penceramah instan yang disukai orang
yang beragama dengan instan juga. Ada penceramah rasa kari ayam, ada yang ayam
bawang, malah ada yang rasa rendang.
Dan si pencari agama juga memilih
sesuai selera. Ada yang suka karena si penceramah tampan, ada yang suka model
yang memaki-maki dan ada yang suka karena "pokoknya dia terkenal, sering
masuk tipi..".
Mereka bahkan tidak mau
sulit-sulit melakukan identifikasi, siapa yang memasukkan ilmu ke otak mereka?
Jangan-jangan tukang tambal ban yang hapal satu dua ayat doang, trus ganti
profesi karena jadi ustad lebih bergengsi..
Begitulah kenapa nama Zakir Naik
melejit, karena ia menggunakan youtube sebagai promosinya. Ditambah judul yang bombastis,
"Zakir Naik membuat seribu orang Hindu masuk Islam..". Makin
heroiklah dia di kalangan bumi datar yang memimpikan seorang superhero dengan
cawat di dalam.
Jadi, untuk apa saya menjadikan
Zakir Naik sebagai rujukan kebenaran dan kesalahan?.
KOMENTAR