Kupang. Maraknya gerakan radikal dan terorisme yang kian meresahkan
masyarakat, harus dihentikan. Untuk itu, moderasi dalam beragama dan
kehidupan berbangsa harus secara sistematis terus disuarakan, sebagai
jalan tengah dan solusi yang sempurna dalam mengatasi dua masalah
tersebut.
Demikian pandangan Rais Syuriah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin. Menurutnya,
kasih sayang, persaudaraan, dan aksi damai, adalah moderasi yang tepat
melawan radikalisme dan terorisme, yang kerap mengumbar kekerasan
mengatasnamakan agama.
"Semua tindakan kekerasan atas nama agama pada hakikatnya
bertentangan dengan agama dan nalar yang sehat. Nalar kekerasan berikut
turunannya tidak boleh tidak harus dihentikan dan kemudian diganti
dengan nalar kelemahlembutan, kasih sayang, persaudaraan dan aksi-aksi
damai agar agama lebih bermanfaat bagi kemanusiaan," ujar Ishomuddin
Berikut uraian lengkap Ishomuddin yang disampaikan lewat akun Facebooknya.
Beragama untuk Kemanusiaan
Entah sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat kekerasan atas
nama agama di negara kita. Terrorisme dan radikalisme yang sudah
terbukti berbahaya dan tidak ada manfaatnya bagi kemanusiaan wajib
segera dihentikan dan disudahi.
Tidak ada satu dalil pembenar dalam agama apa pun, lebih-lebih agama
Islam, yang meligitimasi tindakan berlebihan yang sesat, menyesatkan,
dan menimbulkan mafsadat itu. Semua tindakan kekerasan atas nama agama
pada hakikatnya bertentangan dengan agama dan nalar yang sehat.
Nalar kekerasan berikut turunannya tidak boleh tidak harus dihentikan
dan kemudian diganti dengan nalar kelemahlembutan, kasih sayang,
persaudaraan dan aksi-aksi damai agar agama lebih bermanfaat bagi
kemanusiaan.
Moderasi (al-wasathiyyah) dalam beragama dan kehidupan berbangsa
harus secara sistematis terus disuarakan, karena moderasi menjadi jalan
tengah dan solusi yang sempurna. Dalam segala hal berlebih-lebihan atau
terlalu kekurangan/gampangan tidak akan membawa kepada kebaikan baik
terhadap kehidupan individu maupun terhadap orang banyak. Tanpa
wasathiyyah (moderasi) dari para penganutnya, maka ajaran agama tidak
bermanfaat bagi kemanusiaan dan berarti agama telah kehilangan
esensinya.
Stigma negatif seperti pengkafiran (takfir), penyesatan, pembid'ahan
(tabdi'), dan sebagainya yang disematkan oleh sebagian kecil kaum
muslim radikal itu kepada mayoritas muslim, non muslim, hingga kepada
pemerintahan yang berkuasa tidaklah berpijak pada metode pemahaman agama
dan dalil keagamaan yang benar dan jauh dari hakikat kebenaran yang
diungkapkan oleh para ulama yang arif dan kompeten.
Stigma negatif itu pasti muncul karena dorongan hawa nafsu yang
diliputi oleh buruk sangka, kebencian, dan amarah. Padahal setiap muslim
bahkan setiap orang dilarang berkata dan berbuat apa saja yang tidak
bermanfaat dan berujung kepada kerusakan. Setiap sebab menuju bahaya
harus dicegah dan ditiadakan.
Pintu takfir (pengkafiran) terhadap manusia beragama harus segera
ditutup rapat agar tidak dimasuki oleh seorangpun dari warga bangsa
kita. Karena pengkafiran itu adalah pintu masuk yang lebar bagi setiap
tindakan terror dan saling menumpahkan darah. Perlawanan dan bom bunuh
diri dari para teroris itu jelas berawal dari doktrin yang diawali
dengan pengkafiran terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengan ide dan
cita-cita mereka.
Bahkan boleh jadi terjadi saling mengkafirkan antara sesama muslim
hanya karena persoalan-persoalan furu' (fiqh) yang dipenuhi oleh
perbedaan pendapat para ulama mujtahid (al-khilafiyyat). Pengkafiran
semacam itu jelas merupakan bid'ah dan ketersesatan dalam praktik
beragama dan merupakan hal yang sangat berbahaya bagi persatuan bangsa.
Radikalisme dan terrorisme selain disebabkan oleh faktor kedangkalan
dalam memahami maksud agama, juga disebabkan oleh fanatisme yang
berlebihan terhadap kelompoknya. Untuk memahami agama dengan benar
memerlukan seperangkat metodologi dan syarat-syarat ilmiah serta syarat
kepribadian yang tidak setiap orang mampu meraihnya, selain tentu saja
ilmu-ilmu itu diperoleh secara sah dari para ahli agama sesuai
spesialisasinya dengan silsilah (matarantai keilmuan) yang tidak
terputus dan jelas.
Adapun fanatisme buta ini menyulitkan mereka untuk melihat dan mau
mendengar kebenaran dari pihak lain, bahkan karenanya berani menolak
kebenaran pendapat ulama yang otoritatif.
Entah sudah berapa banyak ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang mereka
tafsirkan secara harfiyah, tanpa melihat konteksnya dan tidak
ditempatkan pada tempatnya demi untuk memuluskan tujuan-tujuan keji
mereka. Barangkali di antara mereka merasa telah setara dengan para imam
madzhab (mujtahid muthlaq mustaqil). Padahal perasaan sedemikian itu
sungguhlah merupakan kesesatan dan tentu jauh panggang dari api.
Sikap ekstrim dan radikal dalam beragama juga disebabkan oleh karena
menghayalkan hal-hal yang tidak realistis, sulit atau bahkan mustahil
diwujudkan dalam dunia nyata. Ilusi yang terhunjam dalam pikiran tidak
cerdas itu berdasarkan pengetahuan agama yang minim itu mendorong mereka
untuk merombak struktur sosial dalam segala aspeknya yang telah sangat
mapan dengan cara memaksakan kehendak.
Kelompok radikal dan terroris ini tidak lagi berpikir untung rugi dan
tidak ada istilah takut mati dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang
menjadi ilusinya, karena mereka yakin benar "berjihad" dan percaya akan
"mati syahid" serta beriman akan hidup berbahagia bersama para bidadari
di surga. Bukan saja tidak realistis menghadapi kenyataan, mereka juga
lemah dalam upaya memetik pelajaran dari peristiwa-peristiwa bersejarah
sebagai sebuah sunnatullah.
Padahal sudah pasti, perubahan struktur sosial tidak mungkin
dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi melalui proses-proses yang tepat
dan butuh waktu yang cukup.
KOMENTAR