Bisnis migas Indonesia mengalami kemajuan
semenjak Pertamina dipegang oleh Ibnu Sutowo, buktinya Petronas pada
tahun 70-an belajar dari bisnis Pertamina. Kalau sekarang berbalik 180
derajat malah Pertamina tidak ada apa-apanya dibanding Petronas.
Sampai akhir 2016 skema kontrak kerja di bisnis ini menggunakan sistem Production Sharing Cost (PSC) cost recovery. Seiring berjalannya waktu skema cost recovery
(pengembalian biaya produksi) berubah menjadi tidak efisien dan timbul
kecurangan, pengelembungan biaya, biaya siluman hingga korupsi. Ingat
kasus korupsi Rudi Rubiandini Kepala SKK Migas, padahal baru menjabat 7
bulan saja. Lahannya memang begitu basah bung.
Kecurangan atau potensi kerugian negara adalah saat perhitungan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (kontraktor kontrak kerja sama), terlalu banyak variable dan banyak hal yang debatable.
Apalagi tipikal kita yang masih inginnya duduk di belakang meja tanpa
tahu realita lapangan. Disodori angka tidak ditelaah kebenarannya asal
ada tambahan di rekening atau voucher, langsung acc.
Potensi Kecurangan produksi migas
Lihatlah kemarahan atau siapakah yang bodoh selama ini, masak perhitungan produksi minyak bumi hanya berdasarkan laporan (reporting) dari server milik perusahaan KKKS. Tentunya data produksinya dapat dimanipulasi, dan akses ke server
mereka kan tidak semudah itu untuk dapat mengakses 100%. Bayangkan
sudah hampir 50 tahun lho ini berlangsung, ngapain saja mereka ini ?
Mengetahui potensi kecurangan data
produksi maka Arcandra langsung bergerak cepat, bayangkan bulan November
2016 beliau langsung menerbitkan Permen ESDM 39 Tahun 2016 Tentang
Sistem Monitoring Produksi Minyak Bumi Berbasis Online Real Time Pada Fasilitas Produksi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Artinya produksi migas akan termonitor secara real time, tidak berdasarkan laporan dari server KKKS ke SKK migas dan bulan Juni 2017 semuanya harus sudah terpasang.
Padahal tekniknya cuma setiap output produksi minyak dikasih flowmeter doang, itu lho meteran air di PDAM rumah kita. Apa gak nyesek, hal begini saja sudah dibiarkan sekian lama. Simple but it work, masuk akal, “anti colong” kecuali ada permainan lagi.
Cerdas bukan bung Arcandra, hal sederhana
ini sudah dibiarkan selama 50 tahun lebih ? Makanya tidak heran kalau
kita pernah mendengar bila kantor kepala SKK migas melebihi fasilitas
hotel bintang 5. Belum lagi para pengusaha atau orang parpol yang
menempel pada perusahaan migas, apa mereka tidak marah ternyata trik
sederhana ini dibongkar dan dibredeli oleh Arcandra.
Good Job Arcandra ! Dengan sedikit sentuhan engineeringmu
maka potensi kecurangan produksi minyak dapat dimatikan. Giliran para
benalu-benalu yang nangis Bombay, hilang sudah aliran emas hitamku.
Cost Recovery
Baik Jonan atau Arcandra jelas geram melihat data cost recovery, tahun 2015 negara harus mengembalikan biaya cost recovery
sebesar US$13,9 miliar, malah lebih gila lagi nilai uang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas tahun itu hanya sebesar US$12,86
miliar. Ini kan negara bukannya untung tapi buntung hampir US$1 miliar.
Selanjutnya budget tahun 2016 sebesar US$8,5 miliar tahun 2017 meningkat lagi menjadi US$10,4 miliar. Negosiasi atau validasi biaya cost recovery ini berada ditangan SKK migas.
Lebih marah lagi saat menemukan beberapa
komponen biaya yang operasi yang dianggapnya memiliki kalimat berbunga
dan masuk ke dalam tagihan cost recovery.
“Belakangan saya melihat dengan
kalimat yang sangat berbunga, komponen apa ini? Ada juga poin yang
disebut pembinaan. Ini apa sebenarnya? Tapi memang perlu dilihat case by case,” terangnya. cnnindonesia.com
Kok redaksinya sudah seperti birokrat banget, pakai kata-kata “pembinaan”,
memangnya ini satuan kerja kementerian atau dinas. Kalau orang waras
tentu akan heran dan terbengong, kok masih ada yang mau atau bisa
dibodohi dengan laporan semacam ini. Tapi yang jelas kalau didebat saat
ini hanya akan menghabiskan waktu dan energi malah tidak kerja-kerja.
Arcandra kembali geleng-geleng kepala saat
melihat data bahwa dari 48 KKKS punya biaya produksi lebih besar dari
20 KKKS lainnya. Faktanya 48 KKKS tersebut hanya memproduksi sekitar 10%
dengan biaya produksi sekitar US$ 23 per barel, bandingkan dengan
20KKKS yang memproduksi 90% biaya produksinya hanya sekitar US$ 19,27
per barel.
Bukannya uncerestimate dengan para orang pintar di SKK migas tetapi nyatanya dalam menghitung biaya produksi dan cost recovery-nya
belum bisa memberikan kebaikan dan keuntungan yang maksimal bagi bangsa
ini. Pantas saja pakde Jokowi, Sri Mulyani, Jonan, Arcandra
mangut-mangut, kemana saja para pengambil keputusan selama ini, kok
negara diperkosa sedemikian terstruktur dan masif.
Gross Split
Adalah peran Jonan selaku Menteri ESDM mulai akhir tahun 2016 gerilya ke DPR untuk memperkenalkan konsep baru yaitu Gross Split. Kenapa harus ke DPR karena dalam cost recovery
itu termasuk dalam komponen APBN jadi memang harus disosialisasikan
supaya mereka ngeh dan paham. Mungkin saja saat mendengar konsep baru
ini sudah langsung telepon kroninya,”Bro si Jonan mau bikin gara-gara
nih.”
Gambaran sederhana beda antara cost recovery dan gross split seperti ini kompas.com :
Misalkan Pemerintah punya sawah maka KKKS
adalah penggarapnya, setelah digarap hasilnya ada 10 karung. Jika
menggunakan skema PSC cost recovery, semua biaya operasi beli bibit, perawatan, usir burung, dan lainnya habis biaya 5 karung, Jadi sisa akhir adalah 5 karung.
Dalam cost recovery pembagiannya 85% dari 5 karung milik pemilik sawah, maka KKKS mendapati 15%dari 5 karung dari pemilik lahan.
Jadi disini dapat dilihat kalau potensi
inefisiensi atau kecurangan dapat timbul dalam pemakaian biaya produksi
entah biaya digelembungkan atau di markup dari 5 karung semua komponen biaya. Mentang-mentang akan diganti bisa dibelanjakan sesukanya.
Bandingkan dengan skema PSC gross split,
sistem bagi hasil dipatok 57% untuk negara dan 43% untuk kontraktor,
sementara pembagian untuk gas bumi 52% untuk negara, 48% untuk
kontraktor.
Jadi kalau hasil 10 karung, mau si pekerja
sawahnya pakai pupuk apa, bibit seperti apa, pokoknya dari 10 karung
hasilnya, ya 5 karung milik negara, 5 lagi milik kontraktor dengan
catatan semua cost ditanggung sendiri. Mau cost 8 karung pokoknya 5 karung milik negara, mau cost-nya lebih rendah 3 karung misalnya, bagian negara tetap 5 karung.
Bagi Indonesia sistem gorss split
ini termasuk yang pertama di dunia, jelas memberikan kepastian jumlah
penerimaan negara dan mempersempit ruang gerak mafia migas dan pencuri
SDA negara. Apakah sistem ini terbaik didunia ? Hanya satu hal yang
dapat dikatakan perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia belum
bisa lepas tangan atau berkerja 100% profesional selama orang Indonesia
baik mafia migas atau orang parpol oportunis masih ikut nebeng sebagai
benalu.
Bagi KKKS jelas gak begitu suka karena tidak memainkan cost recovery
saat mereka tidak efisien, kalau ada kerugian tinggal mainkan narasi
buat ditagihkan ke pemerintah, yah dengan sedikit bualan tekniklah.
Siapa tahu berhasil, toh tidak banyak yang bisa ngitung secara pasti.
Mantap sekali kau Pakde Jokowi, lewat
Jonan dan Arcandra sekali lagi misi memberantas mafia migas di dalam
negeri pelan-pelan kau hapus ? Pilkada Jakarta ini peran para mafia
migas ini tentu ikut masuk sebagai pemodal karena mau suka atau tidak
suka pilkada ini merupakan rentetan ke Pilpres 2019. Pakde Jokowi tetap
harus dihambat kalau perlu dijatuhkan dari kursi Presiden.
Tenang saja Pakde Jokowi, kami tetap berdiri dibelakangmu dengan memberikan ulasan yang mewaraskan. (seword)
KOMENTAR