wartantt.com –
Ada beberapa golongan yang keukeuh bahwa Indonesia harus menjadi negara
yang bersyariat atau berideologi Islam secara total. Sebut saja
orang-orang dari kalangan HTI dan sekutunya. Mereka mengatakan bahwa
hukum di negara Indonesia adalah hukum thagut. Tetapi yang aneh dan
terasa bodoh, walaupun mereka orang-orang yang berpendidikan adalah,
kalaulah Indonesia berhukum kepada thagut mengapa mereka masih
menggunakan jasa bank, menggunakan mesin ATM untuk mengambil uang, masih
menggunakan jasa para pengacara, masih senang menonton televisi dan
konser-konser musik dangdut atau musik rock, dan hal lainnya ?
Mereka menggunakan tafsiran Barat dalam
mengartikan kata “Nasionalisme“ itu, padahal kalau mereka cerdas sudah
barangtentu tidak perlu menggunakan penafsiran kaum Barat yang notabene
produk kafir. Ambil saja penafsiran berdasarkan al-Quran dan al-Hadits
yang selama ini mereka jargonkan, atau mungkin saja para ulama mereka
belum mendapat- kan ayat dan haditsnya ? Yang lebih menariknya, produk
yang mereka (HTI) bawa adalah produk yang gagal di Jazirah Arab sana.
Jadi apa dalilnya wajib membawa produk gagal ke bumi Indonesia ? Apa Kata Kyai NU Tentang Nasionalisme dan Wahabisme
Nabi Saw itu diperintahkan oleh Allah untuk menyeru dan mengajak manusia masuk ke dalam agama Islam, bukan untuk mendirikan negara Islam. Jadi bagaimana mungkin mendirikan negara Islam bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh HTI sedangkan Allah dan Nabi-Nya sendiri tidak mewajibkan bagi seluruh umatnya ?
Tidak ada gagasan yang lebih Khilaf
selain mengusung gagasan penegakan Khilafah, ada 2 kubu pegiat Khilafah,
yaitu Hizbut Tahrir dan ISIS dan semuanya berafiliasi ke madzhab Wahabi
Saudi. Kepanjangan tangan Hizbut Tahrir di Indonesia yaitu HTI.
Bedanya, Khilafah versi Hizbut Tahrir
belum berdiri, sedangkan ISIS sudah mendeklarasikan Khilafah yang ber
ibukota di Raqqah Suriah dan kemudian dikenal dengan IS (Islamic State).
Tapi keduanya baik HTI ataupun IS sama-sama berpandangan bahwa
pemerintahan Turki Utsmani yang runtuh pada tahun 1924 adalah sebuah
Kekhalifahan, padahal jelas-jelas itu adalah Kerajaan. Kalaupun Turki
Utsmani itu sebuah Khilafah, justru itu adalah bukti sejarah betapa
Khilafah itu rapuh dan punah.
Sungguh konyol ada yang berusaha
menghidupkan Kembali “sistem” pemerintahan yang telah terbukti gagal
itu. Mereka ngotot bahwa Khilafah adalah satu-satunya sistem atau bentuk
pemerintahan yang Islami. Selainnya itu Kufur.
Mereka berpandangan akibat sistem
sekuler negara bangsa, umat Islam terpecah belah dan terpisah karena
batas-batas negara. Intinya mereka bercita-cita menyatukan semua umat
Islam di seluruh dunia dalam satu naungan yang namanya Khilafah dan
dipimpin oleh seorang yang disebut Khalifah, konsekuensinya adalah
menghapus negara bangsa seperti Indonesia, Malaysia, Mesir dan
seterusnya.
Mereka terbius oleh doktrin “Islam
adalah agama sekaligus negara”. Sejatinya Khilafah adalah produk ijtihad
politik yang terjadi di masa lalu, masa ‘Khulafaur Rasyidin’ ;
Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib, (plus Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib yg menjabat
singkat). Dan dunia Islam juga tahu bahwa para Khalifah itu pun akhirnya
terbunuh secara mengenaskan, Umar bin Khattab ditikam, Utsman bin Affan
disembelih, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibacok, sedangkan Sayyidina
Hasan (sekalipun sudah tidak menjabat Khalifah) beliau meninggal karena
diracun.
Dalam kaidah ushul fiqh lainnya dikatakan “ al-Ijtihadu laa yunqadhu bil ijtihadi “ yang berarti : “ Ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain “. Perumusan Pancasila dan UUD 1945 adalah hasil ijtihad dari para pendiri bangsa dan para ulama. Dan juga harus dipahami bahwa “Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbeda“. Begitu pula dengan hasil ijtihad para ulama NU dan para pendiri bangsa ini sesuai dengan ruang dan waktunya, sedangkan ijtihad para ulama HTI tidak sesuai dengan ruang dan waktunya untuk Indonesia pada saat ini. Bisa saja ijtihad para ulama HTI ini sesuai dengan ruang dan waktunya bagi Indonesia apakah itu 10.000 atau 20.000 tahun lagi, kita lihat saja nanti.
Menurut NU Ormas tak berasaskan
pancasila dan ingin mengganti NKRI menjadi khilafah, layak di bubarkan.
Saat ini makin marak ormas yang terang-terangan mengajarkan khilafah dan
tidak mengakui Pancasila karena menganggap Pancasila tidat tegas dalam
menyikapi masalah yang bermunculan. NU Minta Ormas yang Sebarkan Khilafah Dibubarkan
Seharusnya HTI, ISIS, dan Wahabi ini
harus segera disikapi serius oleh pemerintah, Gus Solah pun angkat
bicara masalah HTI ini, beliau menyesalkan gerakan dakwah Islam itu
menuntut pendirian negara Islam. Menurut dia, hal tersebut sangat
bertentangan dengan Pancasila.
“Saya ingin melihat, sejauh mana mereka
buat khilafah Islamiyah. Enggak mungkin juga (terbentuk). Nanti yang
jadi khalifahnya, siapa? Pancasila sudah baik,” ujar dia.
Mungkin ini bisa jadi rujukan pemikiran tentang sejumlah cacat pikir sistem Khilafah yang ditawarkan HT.
Pertama, HT memutlakkan
konsep Khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan dalam Islam.
Dalam konsep ini, HT tidak percaya bahwa Indonesia boleh berdiri
independen sebagai sebuah negara bangsa. HT percaya bahwa kaum muslim
Indonesia harus tunduk pada pemerintahan Khilafah dunia Islam di bawah
seorang Khalifah yang mungkin saja berada di negara lain (misalnya di
Arab Saudi atau di Iraq atau di tempat lain). Pemimpin pemerintahan di
Indonesia harus tunduk pada Khalifah itu.
Kedua, sebagai
konsekuensi dari pandangan pertama, HT tidak percaya pada konsep Negara
Kesatuan RI yang berdaulat. Indonesia adalah bagian dari Khilafah Islam.
Indonesia adalah semacam ‘negara bagian’ dari Khilafah. Bila Indonesia
menolak keputusan Khalifah, pemimpin di Indonesia bisa diganti. Lebih
buruk lagi, bila Indonesia tetap menolak setelah ada ancaman sanksi oleh
Khalifah, Indonesia bisa diperangi.
Ketiga, HT tidak
percaya pada Pancasila, pada UUD 45 dan segenap rujukan konstitusi
negara Indonesia. HT tidak percaya pada demokrasi, tidak percaya pada
pemilu. Bila saat ini HT menerimanya, itu hanya untuk sementara. Dalam
bayangan HT, suatu saat nanti Indonesia harus diubah menjadi menjadi
bagian dari Khilafah Islam.
Keempat, HT
menomorduakan warga non-Islam. Dengan kata lain, HT diskriminatif. Dalam
konsep Khilafah Islam yang dibayangkan HT, kaum, non-Islam adalah warga
kelas dua. Melalui jargon izzul Islam wal muslimin (kejayaan
Islam dan orang-orang Islam), HT menganakemaskan kelompok Muslim seraya
menganaktirikan kelompok yang lain. Ini tidak berarti warga non-Islam
tidak mendapat pelayanan pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Tapi kaum non-muslim tidak memiliki hak politik yang sama, misalnya
dalam hal memilih pemimpin.
Kelima, dalam Khilafah
yang dibayangkan HT, kalaulah ada partai politik, maka partai politik
itu haruslah berupa partai politik Islam. Kalaulah ada pemilu, pemilu
tersebut hanya boleh diikuti umat Islam.
Keenam, pemilu pada
dasarnya hanyalah pilihan terakhir. Yang ideal dalam pola pemilihan
pemimpin adalah pemilihan melalui keputusan organisasi semacam majelis
alim-ulama yang mempersatukan para ulama dan cerdik pandai. Dalam hal
ini setiap negara yang menjadi bagian dari Khilafah (misalnya saja
Indonesia, Malaysia, Brunei. Iraq dan seterusnya) akan mengajukan nama
para calonnya yang akan ditetapkan semacam Majelis Sentral Alim Ulama di
pusat Khilafah.
Ketujuh, HT tidak
percaya pada parlemen yang mengendalikan Khalifah dan pemerintah. Dalam
konsep HT, begitu seorang pemimpin terpilih dan dibaiat (disumpah),
seluruh rakyat dalam Khilafah harus tunduk dan percaya padanya. Si
pemimpin kemudian harus menjalankan kepemimpinan dengan senantiasa
merujuk pada Syariah. Ia lah yang menunjuk para pembantunya, termasuk
menunjuk pemimpin di setiap daerah yang menjadi bagian dari Khilafah.
Kedelapan, dalam konsep
ini seorang Khalifah tidak memiliki batas waktu kepemimpinan. Dia baru
diganti kalau wafat, tidak lagi melandaskan kepemimpinannya pada Syariah
atau memimpin dengan cara yang zalim. Bila ia melanggar Syariah, ia
boleh ditumbangkan dengan kekerasan.
Kesembilan, selama ia
masih memimpin berdasarkan Syariah, keputusan Khalifah tidak boleh tidak
dituruti. Rakyat dan para alim ulama, kaum cerdik pandai, bisa saja
memberi masukan, namun keputusan terakhir da di tangan Khalifah. Mereka
yang berani tidak taat akan dianggap sebagai melakukan pembangkangan.
Dan mereka yang membangkang bisa dihukum mati.
Kesepuluh, HT
anti-keragaman hukum. HT menganggap tidak perlu ada UU yang dibuat oleh
para wakil rakyat. HT percaya Syariah saja sudah cukup. Namun bila
memang ada kebutuhan untuk mengeluarkan peraturan, Khalifah dan
pembantu-pembantunya dapat saja membuat peraturan yang mengikat seluruh
warga. Itulah setidaknya sepuluh persoalan serius dalam tawaran konsep
Khilafah menurut HT yang jelas-jelas bertentangan dengan gagasan NKRI
dan demokrasi. Masih ada yang tertarik?
Mari kita pahami sekali lagi, bahwa
gerakan yang mengatasnakan dakwah Islam dan kembali kepada al-Quran dan
as-Sunnah atau yang mengajak untuk kembali kepada ke-khilafahan
merupakan sebuah usaha pengelabuan terhadap kaum muslimin yang awam
untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Sehingga
gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama ini (Wahabi Takfiri dan
Wahabi Khawarij) serta gerakan politik dengan mengerahkan massa seperti
HTI ataupun PKS dan bentukannya yang berusaha menguasai lembaga tinggi
negara dan keagamaan seperti MUI, hadir sebagai gerakan politik yang
ingin mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan Indonesia serta
menghacurkan tradisi dan budaya keagamaan ala NU.
KOMENTAR