Sudah menjadi rahasia umum sekaligus
menjadi kekhawatiran kita bersama bahwa sekolah saat ini sudah menjadi
ladang propaganda oleh kelompok radikal. Buktinya sudah banyak. Beberapa
penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penelitian di
sekolah-sekolah menengah di Indonesia, setidaknya menyebutkan kesimpulan
yang sama, yakni bahwa paham radikalisme sudah merasuki dunia
kesiswaan.
Tidak hanya sudah merambah dalam tataran
pemikiran saja, lebih dari sekedar itu, riset yang dilakukan oleh Balai
Penelitian dan Pengembangan Kota Makassar misalnya, mengungkapkan bahwa
terdapat ada siswa-siswa yang menyatakan kesiapannya untuk melakukan
‘Jihad’ bom bunuh diri.
Adanya anak yang memiliki paham radikal,
dan bahkan siap melakukan “jihad” bom bunuh diri bukanlah terjadi
tiba-tiba. Tetapi memang karena sebelumnya ia telah dimasuki dengan
pemikiran-pemikiran tertentu. Hal ini dikarenakan bahwa, sebagaimana
hasil beberapa penelitian yang mengemuka yang mengisyaratkan pesan
secara sangat gamblang, bahwa penyebaran radikalisme di sekolah sudah
begitu masif.
Dan dalam kerangka penyebarannya, bahan
buku ajar merupakan salah satu media penopang utama yang strategis dalam
menyebarkan benih-benih radikalisme. Benih-benih itu mulai dari adanya
statemen yang dapat mendorong siswa membenci atau anti terhadap agama
dan bangsa lain.
Dan dari sekian banyak bahan buku ajar
siswa, yang seringkali dijadikan ladang untuk menanamkan benih-benih
radikalisme adalah bahan buku ajar pendidikan agama, khususnya
pendidikan agama Islam. Adanya benih-benih radikalisme dalam buku
pendidikan agama ini prenah diamini oleh pihak kementerian pendidikan.
Pada tahun 2015 lalu misalnya, Kepala Pusat
Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), Ramon Mohandas, mengakui bahwa pihaknya pernah
kecolongan, karena lolosnya muatan radikalisme dalam buku Pelajaran
Agama Islam untuk kelas XI. Muatan tersebut ialah adanya salah satu
pemikiran Muhammad Abdul Wahab, seorang tokoh yang dikenal ekstrem, yang
dikutip penulis tanpa melihat konteksnya. Dan itu kemudian melahirkan
polemik di masyarakat.
Juga pada awal 2016 lalu, muatan
radikalisme juga ditemukan di buku paket pelajaran pra-sekolah dasar.
Ialah buku “Aku Islam Suka Membaca” jilid 1, 2, 3, 4, dan 5, yang isinya
sangat membahayakan. Diketahui, dalam buku tersebut anak pra dasar
sudah diperkenalkan dengan bom, jihad, sahid, munafik, dan sejenisnya.
Tidak hanya itu, penelitian yang lebih
mutakhir juga menghasilkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda. Ialah
bahwa bahan buku ajar masih saja berisi hal-hal yang sarat paham
radikalisme. Tesis Hasniati (2017) berjudul “Analisis Muatan Radikalisme
dalam Buku Teks PAI SMA”, yang mengambil objek buku teks PAI SMA
terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Erlangga, dan Yudistira, misalnya. Dengan menggunakan metode analisis
isi dan analisis wacana dalam penelitiannya itu, Hasniati menemukan
bahwa ketiga buku teks mengandung pesan yang berlawanan.
Di satu sisi, buku teks itu mengandung
stigma negatif terhadap kelompok agama yang berbeda, seperti:
membid’ahkan pandangan yang berbeda dan mengklaim diri paling benar,
mengusung khilafah Islamiyah, menolak demokrasi, dan memiliki stigma
negatif terhadap Barat.
Sedang di sisi lain, ketiga buku teks
tersebut juga menekankan kedamaian, mengutamakan persatuan,
mengedepankan sikap saling menghargai dan saling menghormati,
mengutamakan musyawarah, menekankan kebebasan berpendapat dan beragama.
Dalam pada itu, Hasniati pun menyatakan pernyataan yang cukup
menghawatirkan. Yakni, bahwa buku teks terbitan Erlangga mengandung
banyak muatan toleransi dan demokrasi. Sedangkan buku teks terbitan
pemerintah mengandung banyak muatan radikalisme.
Dengan temuannya itu, Hastiati selanjutnya
mengukuhkan riset-riset sebelumnya tentang muatan radikalisme yang ada
di bahan buku ajar siswa, seperti penelitian Abu Rokhmad dan juga Riset
PPIM tahun 2016, bahwa memang masih terdapat muatan-muatan radikal di
bahan buku ajar siswa khususnya buku PAI. Dan, jika yang terjadi memang
demikian, maka sementara ini bisa ditarik kesimpulan bahwa lembaga
pendidikan bisa jadi berpeluang besar menjadi penyebar benih
radikalisme.
Tanpa perlu diperdebatkan, radikalisme
adalah suatu hal yang sangat merugikan. Ia wajid ditolak, karena sangat
berbahaya bagi kita semua. Karena itu, jangan sampai ia diberi ruang
gerak sedikit pun. Apalagi dapat berkembang biak bebas dan tumbuh subur.
Sebab jika ia dibiarkan, ia akan jadi bom waktu yang siap meledak kapan
saja. Besar kemungkinan banyak bermunculan teroris-teroris baru.
Walhasil, terorisme pun terus mengakar kuat di negara kita.
Oleh sebab itu, sudah sepatutnya geliat
radikalisme ditumpas sampai keakar-akarnya. Termasuk di antaranya yang
benih-benihnya sudah mulai bertebaran di sekolahan. Jangan sampai muatan
radikal itu kembali lagi menyusupi kurikulum pendidikan kita.
Karenanya, deradekalisasi ini pun medesak dilakukan bersamaan dengan
menyeruaknya muatan-muatan radikal di bahan buku ajar siswa.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan,
di antaranya adalah, pertama, uji keterbacaan. Uji keterbacaan ini
sangat penting dilakukan, untuk meminimalisir muatan-muatan radikalisme
yang, secara sengaja atau tidak sengaja disematkan oleh pihak-pihak
tertentu dalam bahan buku ajar siswa. Tentunya, pihak berwenang harus
mendesain tim khusus yang qualified untuk melakukannya, bukan asal
sembarangan.
Ini dimaksudkan agar pemangku kepentingan
memiliki mekanisme pengawasan, guna melihat progres sekaligus mencegah
terjadinya penyimpangan kurikulum. Dengan demikian, diharapkan kita
tidak akan jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya, seperti
kecolongan dan sejenisnya.
Kedua, penataran guru agama. Hal ini
penting dilakukan, agar guru lebih humanis dan peka terhadap
muatan-muata radikal. Bagaimanapun juga, gurulah yang mengajarkan bahan
buku ajar kepada siswa. Meskipun bahan buku ajar sudah didesain
sedekimian rupa apiknya, yang katakanlah sudah tidak ada muatan radikal
di dalamnya. Namun, guru bisa saja memiliki sekaligus mengajarkan
penafsirannya sendiri. Alhasil, radikalisme masih bisa merasuki
pemikiran siswa.
Sebagaimana yang diungkapkan Maskur Hasan,
Koordinator Divisi Advokasi The Asian Moslem Action Network (AMAN)
Indonesia, bahwa radikalisme di sekolah tidak hanya menyusup lewat buku
pelajaran, tetapi juga melalui para guru yang menafsirkan kurikulumnya.
Untuk itu, menurutnya, juga penting melibatkan masyarakat dalam
pengawasan radikalisme, bukan hanya terkait konten buku, melainkan juga
kurikulum dan program-program untuk guru. Wallahu’alam
by:Kumarudin
KOMENTAR